BAB 3_SANDIWARA
Aku mondar-mandir di dalam ruangan kantorku. Kokom masuk.
"Gimana, Kom? Mereka kok belum konfirmasi. Katanya sudah deal," ujarku merasa kesal.
Aku sudah menunggu kedatangan mereka namun tak ada satupun yang muncul. Sebelumnya, empat hari yang lalu mereka sendiri yang meminta perusahaanku mengirim flyer proposal kerjasama. Lalu hari ini menjanjikan pertemuan untuk menanam modal. Sekarang malah menghilang begitu saja.
"Kalau belum rezki ya sabar, Big Boss. Tumben banget mukanya kesal begitu," tegur Kokom.
"Aku gak kesal karena mereka cancel, Kom. Cuma hari ini aku bela-belain gak temani istriku cek kandungan gara-gara mereka itu. Ini moment penting buat aku lo. Mana dari tadi ponsel istriku juga tak bisa dihubungi, ponsel ibu dan adikku juga off. Gimana aku tak was-was," hentakku kesal.
Kokom mendekatiku, dan menyomot minuman isotonic di atas mejaku.
"Otewe ngidam aja dah njelimet begini, apalagi nanti nich beneran hamil Mbak Luna, hihihihi," goda Kokom.
"Udah akh. Aku pulang ajalah. Ntar kalau mereka datang, bilang saja, kalau jadi ya kita proses, kalau gak jadi, ya aku gak peduli," omelku lalu berjalan menuju pintu.
Tiba-tiba ponselku berdering. Mama.
"Iya, Ma? Dari tadi aku hubungi kalian lo," ucapku tergesa-gesa.
"Mohon maaf, Pak Yudha. Kami dari kepolisian, mengabarkan bahwa mobil yang ibu Anda kendarai mengalami kecelakaan tunggal. Terjerembab ke dalam jurang. Tim sedang mengevakuasi korban."
.
.
.
Aku membatu. Suara serak laki-laki dewasa barusan semakin kencang diiringi sirine ambulance. Apa yang telah terjadi? Luna? Mama? Nindi. Ooh Tuhan ... lemas rasa lututku.
"Big Boss!" seru Kokom menangkap tubuhku yang seketika merosot, mencari sofa.
Kokom mengambil alih ponselku dengan segera.
"Mohon maaf. Saya asisten Pak Yudha, bagaimana ya?"
"Baik, Pak. Baik. Kami akan segera ke sana," lanjut Kokom.
Wanita gendut itu memberiku air mineral dan memijit tengkukku.
"Kau harus tenang, Sayudha," lirihnya.
Aku menarik nafasku kuat-kuat, terasa sesak dadaku.
"Kita ke rumah sakit sekarang, ibu dan adikmu sedang dirawat," ujarnya lagi.
"Luna ... istriku, bagaimana?!"
Ia hanya menggeleng.
Aku langsung bangkit, menatap nanar pada sahabatku itu.
"Aku harus pergi! " seruku meyeimbangkan tubuh. Wanita itu mengikutiku dengan cepat.
"Biar aku yang menyetir, " ujarnya meraih kunci mobil di tanganku. Aku pasrah.
Sepanjang jalan, aku terus meracau, meminta Kokom untuk memacu mobil lebih cepat.
"Tenanglah, Yudha! Aku tak bisa konsentrasi!" teriaknya yang membuatku diam. Aku tak ingin menambah masalahku.
Setibaku di rumah sakit, aku langsung berlari menuju kamar perawatan. Tampak Om Demian dan tante Carla yang ditemani 2 pria berseragam polisi.
"Om ... gimana Mama? Nindi? Istriku?!!!" pekikku menghampiri dengan nafas terengah-engah.
Melihatku, tante Carla langsung histeris, luruh di tubuhku. Aku semakin gemetar.
"Yudha ... ibumu, Nak. Ibumu meregang nyawa di dalam. Adikmu Nindi, masih koma. Ya Tuhan!" pekiknya memelukku. Sekarang aku yang harus menegakkan kakiku untuk menopang tubuh orang lain.
Aku ingin masuk, namun kedua laki-laki berseragam polisi itu mencegahku.
"Sebaiknya bapak membantu kami, mengidentifikasi mayat perempuan yang sudah tak bisa dikenali lagi. Dia ditemukan terperangkap di dalam mobil," ujar salah satu laki-laki itu.
Rasanya seperti ribuan kilat menyambar tubuhku. Kalau yang dirawat itu ibuku dan Nindi, berarti perempuan yang dimaksud adalah ....
Aku memucat. Dingin rasa seluruh tubuhku. Istriku. Lunaku. Tak mungkin. Ini pasti sebuah kesalahan. Aku tak bisa mempercayai begitu saja. Aku tahu betul, istri bercadarku memiliki kemampuan menyelamatkan diri dengan sangat baik. Jangan lupakan peristiwa pertarungan dahsyat itu. Aku sangat mengenalnya. Dia tahu apa yang harus dia lakukan saat menghadapi bahaya.
"Mari, Pak!"
Aku hanya melangkah tanpa keseimbangan. Kokom yang sedari tadi berada di belakangku, maju menahan tubuhku
"Tenanglah Yudha. Tak ada yang abadi," bisiknya pelan di telingaku.
Setelah sampai di ruang jenazah, aku diarahkan untuk mendekati sebuah tubuh yang tertutupi kain putih.
"Silahkan, Pak. Mungkin ada bentuk fisik atau tanda-tanda yang membenarkan, itu istri Anda," ucap salah satu polisi itu.
Gemetar tanganku ketika menyentuh kain itu. Kokom menopang tanganku. Perlahan kuturunkan hingga tampak wajah gosong, dengan dibalut kain hijab yang lengket, menyatu dengan wajahnya. Aku menggeleng keras, melihat ke arah sahabatku.
"Ini bukan istriku, Kom! Dia bukan Lunaku. Istriku sangat cantik bahkan ketika dia menangis dan marahpun, dia sangat cantik," isakku melepaskan kain itu.
Kokom tak mengindahkanku. Ia terus membimbing tanganku agar terus menurunkan kain itu hingga dada mayat itu. Kini tampak kedua tangannya yang menelungkup. Membeliak mataku melihat di salah satu jari mayat itu.
Siapapun ... tolong aku! Katakan padaku, ini hanyalah mimpi terburukku. Dan sebentar lagi aku akan bangun dengan belaian tangan halus istri bercadarku.
"Apa kau mengenal cincin ini?" tanya Kokom.
Aku menangis histeris. Runtuh rasa duniaku. Hancur sudah. Cincin itu adalah cincin pernikahanku. Tak pernah lepas dari jari manis istriku. Bagaimana bisa ada di jari mayat itu?! Istri bercadarku masih hidup! Seseorang, beritahu aku! Lunaku masih hidup!
"Jadi bagaimana, Pak? Benarkah jenazah ini istri bapak?"
Aku tak bisa berbicara. Aku membelakangi mayat menyeramkan itu. Polisi mencoba menarikku. Kokom menghentikannya.
"Kami butuh waktu sebentar saja, Pak. Wajar dia shock. Korban adalah istrinya."
Polisi itu mengangguk.
"Kami akan tutup kasus ini jika tidak ada laporan lanjutan dari keluarga korban. Kasus akan kami anggap kecelakaan tunggal. Tak ada korban selain mobil keluarga bapak dan juga tak ada saksi mata saat kejadian tersebut. Kalau begitu, kami pamit."
"Tunggu, Pak!" seru Kokom.
"Bagaimana ibu dan adik korban bisa selamat?" tanya sahabatku itu.
"Kami belum mendapatkan keterangan yang lengkap. Setelah kedua korban siuman, kami akan melakukan penyelidikan," jawabnya lalu pergi.
Kokom mengernyitkan dahi namun ia segera menutup jenazah Luna dan membawaku keluar.
"Karmila, dia bukan Luna. Istriku pasti masih hidup," lirihku sesegukan lemah dalam tumpuannya.
POV 3 (AUTHOR)
Setelah punggung Yudha dan karyawannya tak terlihat, Demian mendengkus kesal.
"Semoga saja rencana kita berhasil. Sial. Bagaimana bisa mereka seceroboh itu! Tak becus!" umpatnya.
"Tak usahlah hiraukan, Mas. Yang penting sudah ada solusi. Lagipula aku yakin, tak akan menimbulkan masalah."
Demian mengangguk.
"Pastilah Yudha sekarang sedang shock sekali. Aku yakin, dia takkan sempat menengok ibu dan adiknya," tambah Carla.
"Yah, pastikan saja dia tak masuk. Akan sangat aneh, jika dia tahu Mba Ratih dan Nindi hanya luka ringan. Aku percayakan, skenario selanjutnya padamu. Jangan sampai dia menjadi batu penghalang. Kalau soal polisi, biar aku yang urus," ujar Demian pada adiknya itu.
Carla mengangguk dan tersenyum.
"Jangan ajarkan ikan berenang, Mas," seringainya.