BAB 2_SERANGAN
"Gimana rasanya tinggal di rumah mewah seperti istana?" tanya Ratih pada menantunya.
"Maksud Mama?"
"Yaah ... kan Mama tahu, kalian mafia lebih senang tinggal di tempat tersembunyi biar kejahatan kalian tak mudah diendus. Bisa di hutan, di bawah tanah," ujar Ratih memojokkan Luna.
"Dah kayak tikus dong, Ma," cerocos Nindi.
Wanita bercadar itu menarik nafasnya kuat-kuat. Ia terus berbicara dalam hati bahwa kedua wanita ini adalah ibu dan adik suaminya. Ia hanya perlu tetap sabar.
"MANTAN ya, Ma. Setiap orang punya kesempatan untuk berubah menjadi orang baik. Apalagi buat yang berumur, harus lebih banyak ingat Tuhan," sindir Luna.
Ratih diam seketika. Wanita itu mencebik membuang pandangan.
"Sebenarnya aku sedang memohon pada Allah supaya dikasih kesabaran. Menahan diri agar tak merobek mulut nyinyir siapapun yang memojokkanku. Cukup aku sudah meremukkan tangan seorang gadis yang sudah pernah menuangkanku racun," jawab Luna santai yang disambut tatapan sinis Nindi.
"Tentang rumah itu ya, Ma. Sebenarnya aku bisa beli rumah yang seperti itu bahkan lebih mewah lagi. Tapi sayang duitnya, mending aku sedekahkan buat anak yatim. Aku sudah biasa tinggal di rumah mewah seperti itu, kok. Mama aja yang baru beberapa tahun jadinya susah move on," lanjut Luna menghantam harga diri mertuanya.
Ratih menahan gejolak di hatinya. Dirogohnya ponsel mahalnya sedang Nindy membelokkan mobil ke arah jalur yang sangat jauh dari rumah sakit.
"Kita mau kemana?" tanya Luna heran.
"Kita pilih jalan keliling aja Mba. Biar gak kena macet. Lagian, aku sama Mama lagi pengen lihat yang hijau-hijau dengan pemandangan hutan dan ...."
"Jurang," sanggah Luna.
Nindi tersenyum.
"Biarkan aku yang menyetir. Jangan sampai kita menghadapi bahaya karena kau belum stabil menyetir. Meskipun cenderung sepi, jalan di sana cukup curam dengan tikungan tajam," ujar Luna sedikit was-was.
Ratih mencoba menengahi. Diletakkan ponselnya dengan senyum sumringah.
"Mama ini makin tua dianjurkan untuk banyak melihat pemandangan yang hijau-hijau. Sekalian kita refershing. Kamu jangan khawatir, Nindi sudah biasa kok."
Luna hanya diam saja. Jemarinya meremas pelan. Ada rasa gundah menyelimuti hatinya.
Jalanan tanjakan dengan tikungan yang meliuk-meliuk membuat Luna awas. Matanya menyapu sekeliling pemandangan yang sedang mereka lalui. Nampak kiri adalah bukit dan kanan jalan adalah hutan berjurang.
"Hati-hati, Nin," lirih Luna memegangi perutnya.
Nindi hanya tersenyum. Ratih meraih botol minuman Luna yang tersimpan di cup holder mobil.
"Boleh Mama minum?"
Luna mengangguk.
Wanita tua itu menyeringai senang. Nindi melajukan mobil dengan perlahan.
Tak lama, Luna mengambil botol minumannya lalu menegaknya begitu cepat. Rasa cemasnya membuatnya kehausan.
Baru seteguk ia langsung menyemburkan air yang sudah dimulutnya. Luna berusaha memuntahkan apa yang telah ia minum.
"Apa yang Mama campurkan dalam minumanku?!"
Wanita bercadar itu melepas cadarnya lalu terus menunduk mencongkel kerongkongannya.
Huuuweeekk!!!
Berkali-kali Luna mencoba namun tak bisa mengeluarkan seluruh air yang ia telah teguk. Sejurus tangannya sudah mengepal bersiap memukul perutnya, namun seperti terdengar kembali suara suaminya.
'Semoga kita diamanahi anak. Kalau perempuan pasti secantik kamu, kalau laki-laki pasti setampan aku, tak mungkin seperti babon'
Luna meringis menggigit bibirnya. Ada tetesan bening diujung matanya. Mengapa mertua dan iparnya tak bisa benar-benar berubah?
Ratih dan Nindi terlihat panik. Mereka tak menyangka, Luna bisa menyadari air itu telah dicampur. Seharusnya obat bius itu tak terasa, tak tercium sehingga Luna bisa meminum lebih banyak lagi.
"Gimana ini, Ma?!"
"Mama juga gak tahu!"
"Biadap! Kalian benar-benar tak bisa diampuni," geram Luna menatap Nindi.
"Berhenti! Turunkan aku di sini!" teriak Luna mengusap mulutnya.
Nindi terus memacu mobilnya dan kali ini lebih kencang.
"Berhenti kataku atau kupatahkan lagi tanganmu itu, Nindi!"
Ratih mengeluarkan botol bius dari tasnya lalu menyapukan pada tisu. Wanita tua itu lalu meraih kepala menantunya dari belakang dan menggosok-gosokkan pada wajah Luna.
"Emmmm!!! Lepaskan, Ma!"
Luna berusaha melepaskan tangan Ratih. Mau tak mau, ia melayangkan tinjunya pada leher mertuanya itu.
Buuughhh!!!
Ratih tersungkur ke belakang meringis kesakitan.
"Menantu busuk!"
Luna mengusap wajahnya dengan hijabnya. Jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, zat kimia itu sedang menggerogotinya secara perlahan.
"Daripada kita bertiga mati sia-sia, berhenti kataku!"
Nindi tak memperdulikan teriakan Luna. Tak ayal, tangan Luna menarik rambut Nindi hingga terjungkal dan membuat gadis itu tak terkontrol. Luna menginjak tubuh Nindi dan meraih stir. Ia harus menemukan sebuah tempat yang aman untuk berlindung. Ia tahu, sebentar lagi, dia tak sadarkan diri.
Luna melajukan mobil itu dengan sangat kencang. Masih sangat jauh sekedar untuk menemukan sebuah rumah atau warung. Luna merasakan kepalanya makin berat.
"Ya Allah, tolong aku ... tolong aku," lirihnya di tengah umpatan Nindi di bawah kakinya.
"Lepaskan kakimu, setan!" Nindi memukul kaki Luna. Ia meronta kesakitan sebab tubuhnya terjepit.
"Diam! Atau kita semua mati sekarang!"
"Kau saja yang harusnya mati! Kau tak layak jadi menantuku! Kau perusak! Ayahku bukan budakmu! Kami bukan pelayanmu!"
Ratih meremas-remas lehernya yang sangat sulit ia tegakkan. Sakit sekali jika ia mencoba menegakkannya.
"Aku tak pernah mempermasalahkan apapun padamu, Ma. Kau saja yang terlalu rakus. Apa salahnya jika aku lebih memiliki banyak harta darimu? Bukankah aku selalu berusaha membahagiakanmu. Aku pun tak pernah menganggapmu budakku! Mengapa sangat sulit untukmu menerima sebuah kenyataan?"
Luna merasakan air matanya jatuh. Rencana apa di pikiran mertua dan iparnya jika dia sudah tak sadarkan diri. Dingin rasa tubuhnya. Sesak terasa di dada. Bius itu mulai bekerja. Luna menarik nafasnya kuat-kuat.
"Ciiih ... biarkan saja dia, Ma. Sebentar lagi, hanya tinggal sebentar lagi, kita akan ketemu mobil paman dan bibi," ujar Nindi meringkuk di bawah kaki Luna.
"Aaaarrrghhhh!!!" pekik Nindi kesakitan.
Luna menginjak kepala gadis itu dengan keras.
"Rencana apa yang akan kalian lakukan? Kalian manusia iblis! Kali ini, tak akan pernah kumaafkan lagi!"
Nindi tertawa girang meskipun darah mengucur dari sudut mulutnya.
Kreeeeeeet!
Luna mengerem mobilnya tiba-tiba sebab sebuah mobil menghadangnya. Lalu disusul dengan sebuah mobil hitam yang semakin menutupi jalan. Tampak Demian dan Carla muncul dari mobil itu.
"Allah ...," desis Luna pasrah.
Sekelompok laki-laki muncul dan mendekati mobil yang disetir Luna.
Ratih membuka pintu.
"Bereskan dia!" perintahnya masih memijat pelan lehernya.
Luna siap memindahkan tuas transmisi, berniat menabrak kedua mobil di depannya. Namun seperti terkuras semua tenaganya. Pandangannya sudah kunang-kunang. Tubuhnya sudah lebih dulu ditarik keluar oleh dua laki-laki besar.
"Pastikan wanita Dajjal ini tak pernah kembali! "
Nindi mengusap darah yang tak berhenti dari bibirnya yang pecah.
"Lepaskan aku!"
Luna menyiapkan kuda-kuda. Dengan sisa tenaganya, wanita bercadar itu menangkis serangan.
Buuughh!!!
Salah satu laki-laki itu memegang dadanya yang dihantam oleh tinju Luna.
"Lumayan juga," desisnya lalu kembali menyerang lebih brutal.
Wanita bercadar itu memutar tubuhnya lalu melayangkan tendangan pada kedua laki-laki itu. Namun nihil. Tendanganya kosong. Luna terhimpit. Kepalanya luar biasa berat dan matanya susah sekali untuk dibuka.
"Hahahahaha!"
Suara gelak tawa Demian terdengar jelas di telinga saat kedua tangannya diikat. Sebelum matanya benar-benar tertutup, Luna merekam wajah-wajah itu. Tampak mertuanya berbinar senang, iparnya meludah dengan tatapan kebencian dan Carla merekah senyumnya lebar.
"Kalian ... tunggulah aku. Aku akan kembali! Kalian manusia serakah. Laknatullah!"
"Meracau dia. Lakukan secepatnya! Sekarang!" teriak Demian.
Wussssh!!!
Sebuah korek api sudah dipatikkan tepat di depan wajah Demian. Api itu menyala seperti matanya yang memancarkan kebencian.
"Susullah kedua orang tuamu ke negeri akhirat, sayang," desisnya yang disambut senyum seringai kedua saudara dan keponakannya.