7. Senyuman Terakhir
7. Senyuman Terakhir
"Satu hal yang pasti. Jangan usik Karsa dengan menceritakan keluarga bahagia atau buruk. Dia paling benci sama hal itu."
-Andra
Februari 2018
Cahya mengetuk pintu ruang OSIS sekali lalu masuk ke dalam. Melihat Karsa sedang tidur dengan posisi duduk bukan hal yang aneh lagi buat Cahya. Dia melangkah mendekati Karsa.
"Ka, Ka Karsa ..." panggil Cahya pelan soalnya Karsa terlihat sangat lelap. "Ka Karsa?"
Mata Karsa tetap terpejam. Cewek itu mendesah, duduk di kursi samping Karsa lalu membuka naskah yang sudah dia buat untuk acara teater nanti. Dia sudah menyiapkan cerita sejak tahun kemarin saat mendengar bahwa acara perpisoahan tahun akan ada acara tambahan.
Cukup lama Cahya menunggu, bisa-bisa jam istirahatnya habis dipakai menunggu Karsa bangun.
"Kenapa kamu nggak bangunin saya?" Karsa bertanya pelan, matanya separuh terbuka. Masih mengantuk mungkin.
Cahya menatap Karsa. "Saya udah bangunin Ka Karsa, tapi kamunya malah tidur terus." Kepala Cahya meneleng. "Ka Karsa suka banget tidur, ya? Apa Ka Karsa begadang tiap malam?"
Kedua alis Karsa terangkat, wajahnya tetap datar. "Hem."
Jawaban yang ambigu sesungguhnya, namun Cahya tidak peduli. Dia memberikan naskah yang dia tulis pada Karsa untuk ditinjau.
"Ka Nosty sama Ka Andra udah setuju ceritanya. Kata Ka Andra suruh liatin dulu ke Ka Karsa biar semuanya jelas. Kalau Ka Karsa setuju, biar tim teater bisa langsung latihan, kebanyakan anggota teater kan kelas tiga, takutnya latihan nanti keganggu sama ujian."
Karsa hanya mengangguk, akhir-akhir ini cowok itu lebih banyak diam entah mengapa. Padahal biasanya Karsa selalu mengoceh hal tidak jelas. Meski ocehannya tidak lebih dari,
"Kenapa saya selalu mimpiin kamu sih, Cahya?"
Atau
"Meski saya penasaran sama kamu, jangan sering temui saya dong. Saya jadi gugup nih."
Bahkan
"Jangan deket-deket sama Andra. Dia playboy. Entar kamu jadi korbannya."
Dan sebagainya yang membuat Cahya melongo. Antara kesal dan aneh. Karsa memang aneh, hanya tercoveri oleh wajahnya yang ganteng dan sikap pemalasnya hingga semua orang menganggap kalau Karsa hanya cowok pemalas.
Karsa mengambil naskah dari tangan Cahya, baru juga membuka halaman pertama cowok itu menyerah untuk membacanya lalu menopang dagu seraya menatap Cahya.
"Kenapa?" Cahya menatap Karsa bingung.
Karsa menghela napas. "Males baca. Kamu ceritain aja."
Sesaat Cahya melongo, bagaimana bisa orang seperti Karsa jadi wakil ketua OSIS? Mungkin karena Karsa sahabat baik Andra? Tetapi, pastinya anggota OSIS lain pasti akan protes. Mungkin Karsa beneran pintar jika ingin.
Tapi, sayangnya Karsa lebih banyak malasnya daripada rajin.
"Tapi ..."
"Kenapa?"
"Gimana kalau Ka Karsa malah tidur pas saya cerita."
Karsa diam sesaat. "Meski saya mulai suka sama kamu, tapi suara kamu belum mampu menyaingi suaranya Celine Dion."
"Maksudnya suara saya jelek gitu? Makanya Ka Karsa nggak bakalan tidur?"
Karsa mengangkat bahu. "Kamu tau juga."
Pastikan lain kali agar Cahya memukul kepala Karsa. Cowok itu memujinya dan menghinanya dalam waktu bersamaan. Menarik napas banyak-banyak, Cahya menatap Karsa seraya tersenyum lebar, lebih kepada menahan emosi menghadapi sikap Karsa.
"Dengerin jangan sampai tidur!"
Karsa mengangguk seraya menguap lebar.
Tanpa memedulikan mata sayu Karsa, Cahya mulai bercerita. "Jadi ceritanya tentang saudara kembar. Namanya Raka dan Rafael."
Mata Karsa yang semula terpejam kembali terbuka. Menatap Cahya bingung. "Ceritanya cuma segitu? Bagus."
Cahya menghela napas panjang, memberi semangat pada dirinya sendiri agar sabar menghadapi sikap Karsa.
"Ya nggak lah. Masih panjang."
"Terus, kenapa berhenti? Kamu capek, ya?" Karsa bertanya dengan bodohnya.
"Nggak. Astaga." Cahya memutar bola mata, kalau begini kapan selesainya ini. "Pokoknya ini tentang saudara kembar yang nyari ibunya yang ninggalin mereka sewaktu kecil. Rafael maksain datang ke Jakarta yang katanya ibunya itu jadi violist terkenal dan tinggal di Jakarta bersama keluarga baru."
Karsa mengangguk.
Cahya merasa sedikit nyaman. "Terus Raka ikut datang ke Jakarta nyusul Rafael. Sikap Raka itu beda sama Rafael, dia lebih tertutup dan dingin. Raka juga nggak setuju Rafael datang ke Jakarta cuma buat ketemu sama ibu mereka."
Akhirnya Karsa memberi respon dengan bereskpresi bingung. "Terlalu panjang."
Cahya merengut. "Dengerin dulu dong, Kak. Saya belum selesai nih."
"Tapi cerita kamu kepanjangan. Kalau saya ngantuk gimana?"
"Tidur aja. Nanti baca naskahnya."
"Nggak mau. Tebel naskahnya."
Cahya gereget sendiri, bagaimana bisa ada orang macam Karsa di dunia ini. Dia menghela napas panjang lalu tersenyum.
"Saya lanjutin, Ka Karsa nggak bakalan tidur 'kan suara saya nggak sebagus IU apalagi Celine Dion."
Kening Karsa berkerut. "Siapa IU?"
Cahya mengibaskan tangan. "Abaikan. Pokoknya, Raka memutuskan buat tinggal di Indonesia demi Rafael."
Karsa menopang dagu, matanya tampak berat. Siap tidur. "Tujuan mereka datang ke Indo buat apa? Ketemu sama ibunya? Emang kenapa?"
Cahya diam sesaat. "Soalnya ibunya ninggalin mereka waktu kecil demi keluarga lain."
Kepala Karsa meneleng. "Jadi, ibunya itu selingkuh?"
Cahya mengangguk. "Secara nggak langsung. Pokoknya di cerita ini, Rafael berusaha memperbaiki hubungannya dengan Riana. Tapi Raka nggak. Soalnya dia punya kenangan buruk sekaligus manis dengan ibunya."
Sekilas Cahya melirik ekspresi Karsa. Cowok itu tampak tenang.
"Rafael berusaha keras mendekati Riana, tapi hasilnya selalu gagal. Riana menolak keberadaan Rafael hingga membuat Raka geram. Raka nggak terima saudaranya diperlakukan semena-mena sama Riana. Maka dari itu Raka ngedatengin Riana dan minta bersikap layaknya seorang ibu. Nggak papa Riana nggak peduli sama Raka, asalkan Riana mau nerima Rafael. Soalnya pertahanan Rafael dan Raka itu berbeda. Tapi sayangnya Riana masih tetep nggak mau."
Karsa mendesah, "Kenapa Riana jahat banget? Apa dia benar ibunya Raka sama Rafa?" Cowok itu menggelengkan kepala. "Sebenarnya bukan Riana yang kejam. Tapi kamu. Teganya menyakiti Raka dan Rafa."
Cahya merengut, Karsa memang sangat pintar mengejek orang. Andaikan Karsa bukan senior apalagi panitia, sudah Cahya getok kepala cowok itu.
"Terserah kamu saja. Dengerin sampe habis dong."
"Ceritain endingnya aja, deh."
Cahya merengut sesaat namun menuruti perkataan Karsa. "Habis itu, diliatin masa lalu Raka kayak gimana. Dia itu tersisihkan dari keluarga, sejak kecil Raka nggak pernah disukai sama keluarganya soalnya dia keliatan bodoh, cuma Riana orang yang sayang sama dia. Maka itu Raka sedih banget pas Riana pergi. Awalnya Raka bersikap sama kayak Rafael, nyariin Riana ke mana-mana, sampe akhirnya dia tahu kalau Riana pergi demi anak lain. Raka sedih apalagi waktu itu Riana ninggalin Raka gitu aja di jalan padahal lagi badai salju."
Sekilas Cahya melihat ekspresi sedih di wajah Karsa, seolah-olah dia juga mengalami hal yang sama. Masa iya?
"Makanya Raka benci sama Riana. Dia nggak mau Rafa bernasib sama kayak Raka. Dia juga nggak mau Rafa tahu kalau mereka itu anak diluar nikah. Tapi karena Rafa gigih banget, akhirnya Raka luluh juga. Dia ngebantu Rafa buat ketemu sama Riana dengan syarat Rafa harus kembali ke Jerman. Tapi sayangnya Riana masih nggak mau nerima mereka."
"Kenapa?"
"Karena Riana lebih bahagia dengan keluarga barunya. Dia takut keberadaan Raka dan Rafael membuat keluarganya hancur. Saat itu Raka bilang, yang diinginkan mereka bukan menghancurkan hidup Riana, tetapi pengakuan bahwa mereka adalah anak Riana, bahwa mereka juga mempunyai seorang ibu. Karena waktu itu Riana lagi marah besar, dia menyuruh Raka untuk pergi selamanya."
Wajah Karsa berubah muram.
"Dan Raka benar-benar pergi untuk selamanya. Hingga membuat Riana sedih. Sebelum menutup mata Raka tersenyum. Dan itu adalah senyuman terakhirnya."
Cahya menyelesaikan ceritanya kemudian menatap Karsa, cowok itu tampak melamunkan sesuatu hingga Cahya harus memanggil Karsa berulang kali.
"Ka Karsa, baik-baik aja? Ka Karsa kenapa?"
Karsa menoleh. "Saya hanya nggak suka sama endingnya."
Cowok itu mendesah lantas mengambil naskah cerita. "Oke. Kita pakai cerita ini. Nanti saya suruh Andra buat baca."
Kemudian Karsa pergi meninggalkan Cahya begitu saja.
***