6. Di Apartemen Karsa
6. Di Apartemen Karsa
"Jangan main-main sama Karsa. Apa pun alasannya."
-Cahya
"Kamu beneran sudah gila!" teriak Cahya, kesal setengah mati sekaligus terkejut dengan pernyataan tiba-tiba Karsa. Apa akal cowok itu sudah hilang? Bagaimana bisa Karsa bicara seperti itu? Jelas-jelas Karsa sudah punya pacar tapi malah gombal sana-sini.
Karsa mengangkat bahu acuh tak acuh. "Kalau kamu nggak percaya ya nggak papa." Dia melihat ke atas langit gelap, sebentar lagi hujan turun. Pengunjung taman pun mulai sepi.
"KARSA ANJIRR!!!"
Karsa dan Cahya menoleh bersamaan, menatap Andra. Cowok itu tengah berlari ke arah mereka dengan wajah kacau.
"Nama gue Karsa Benjamin, bukan Karsa Anjir." Karsa berkata ketika Andra sudah tiba di hadapannya dengan napas terengah.
"Gue nggak peduli!" Andra meneloyor kepala Karsa. "Anjir, gimana bisa lo ngendarai motor gue, hah?! Kalau motor gue kenapa-kenapa gimana?"
"Tinggal beli lagi."
Andra mendelik. "Mudah banget lo ngomong gitu! Gue bukan lo yang punya penghasilan gede." Andra mendekati motornya lalu memeluk motor tersebut dengan penuh haru. "Syukurlah Errosku baik-baik saja." Andra mengelus tank Erros dengan penuh sayang. "Kamu nggak diapa-apain sama Karsa, kan? Badan kamu nggak ada yang sakit, kan?"
"Lebay." Karsa berkata sinis.
Andra meneloyor Karsa gemas. "Awas aja kalau lo ngendarai motor gue tanpa ijin. Gue pites-pites tangan sama kaki lo sampai lo nggak bisa ngapa-ngapain."
Karsa mengangguk bego. "Nggak papa. Toh nanti juga lo yang bakalan jadi korbannya."
"Kampret!"
Cahya melongo melihat interaksi Andra dan Karsa. Apa dua cowok itu baik-baik saja? Andra tidak mungkin ikutan gila seperti Karsa, kan? Bisa gawat jika Andra—sang ketua OSIS yang sangat disegani di sekolah—ikutan gila.
"Kalau gue gegar otak. Lo yang tanggung jawab." Karsa mengusap kepala yang lagi-lagi diteloyor oleh Andra.
"Emang gue peduli?!" Andra menoleh ke belakang, mengedipkan mata terkejut saat melihat Cahya. "Oh ..." Pandangannya tertuju pada Karsa dan Cahya bergantian.
Karsa menunjuk Cahya. "Kalau motor lo kenapa-napa, minta tanggung jawabnya sama Cahya."
Alis Andra tertaut.
"Soalnya Cahya nyuruh gue make motor lo."
Andra tidak peduli lagi dengan motornya, dia penasaran bagaimana bisa Karsa dan Cahya saling mengenal?
"Kalian saling kenal?"
Cahya tersenyum canggung. "Ngg, nggak juga sih. Gue nggak tau kalau tukang ojeg itu Karsa."
Andra mengangguk paham. "Maafin tuh anak, ya. Dia emang agak aneh. Untung nggak masuk rumah sakit jiwa juga."
Sekilas Cahya melirik Karsa, cowok itu datar-datar saja meski Andra mengatainya gila. "Nggak papa. Gue yang harusnya minta maaf."
Hujan mulai turun, Cahya melihat ke sekeliling, mencari tempat teduh. Karsa hanya diam saja, tidak peduli jika pakaiannya basah, dia terlalu mengantuk sekarang. Andra menepuk bahu Karsa agar tidak tidur.
"Elahh, Sa, Sa. Jangan tidur mulu. Hujan nih."
"Emang kenapa?"
"Astaga." Pandangan Andra tertuju pada Cahya yang bersiap pergi. "Hujannya bakal deres. Mending lo ikut kita aja."
Cahya menatap Andra ragu.
"Tenang. Kita cowok baik-baik, kok." Andra segera menambahkan.
Mau tidak mau Cahya menerima ajakan Andra, dia sedang tidak ingin sakit sekarang. Saat ini dia butuh tenaga ekstra untuk tugas barunya, maka dari itu dia berlari mengikuti Andra menuju gedung apartemen yang tadi jadi tema pembicaraan Karsa dan Cahya. Apa Andra tinggal di sini? Pikir Cahya bingung melihat gelagat santai Andra.
"Ngapain kita masuk ke apartemen ini?" Karsa mewakili Cahya bertanya pada Andra. "Lo pindah rumah, Ndra?"
Andra cengo sesaat, seolah pertanyaan Karsa sangat mengejutkan. "Lo bodoh atau pikun beneran."
Sebelah alis Karsa terangkat.
Andra memutar bola mata, mengambil dompet dari dalam saku jins Karsa lantas mengambil sebuah kartu.
"Ya ampuun, Karsa, masa lo lupa sama gedung apartemen lo sendiri. Lo tinggal di sini kalau lo tau." Andra menggelengkan kepala, mengajak Cahya masuk ke dalam lift lalu menekan tombol sembilan.
Karsa mengerjap bingung, pantas saja dia tidak merasa asing dengan gedung ini. Rupanya dia tinggal di apartemen ini.
"Jangan sungkan. Masuk aja. Jangan heran kalau isi apartemenya diluar dugaan."
Dengan ragu Cahya masuk ke dalam apartemen Karsa, tanpa dikomandan kedua matanya melihat ke sekeliling seolah merasa ada yang aneh. Ini beneran apartemen, kan? Kenapa tidak ada barang-barang yang cukup, misalnya meja atau ranjang misalnya, melihat apartemen ini tipe studio. Hanya ada dua sofa berukuran besar, tidak ada tivi, hanya lemari, laptop dan komputer ukuran besar yang terletak di atas meja depan jendela. Kemudian di bawah meja tersebut terdapat banyak buku tanpa disusun, di sudut apartemen juga. Beruntungnya tidak ada pakaian apa pun yang berserakan di sekeliling apartemen.
Bagaimana bisa Karsa tinggal di tempat seperti ini? Ah, tentu saja ini 'kan apartemen mewah, tapi tetap saja meski mewah kalau tidak ada barang-barang rasanya aneh.
Apartemen ini benar-benar aneh, seaneh orangnya yang sekarang lagi berbenah untuk tidur. Astaga, Cahya heran bagaimana bisa Karsa hidup sampai sekarang dengan kelakuannya yang seperti itu.
"Elahh, Karsaaa. Kan udah gue bilang beli rak buku jangan ditumpuk di sana. Kalau Narend liat gimana?!" seru Andra saat melihat tumpukan buku di sudut ruangan.
Karsa tidak langsung merespon, matanya terpejam erat. "Entar gue beli raknya."
Andra mendengus keras-keras lalu mengambil paksa dompet Karsa. "Nomor pin lo nggak diubah, kan?"
"00009. Mama tau, makanya gue ganti."
Andra memutar bola mata. "Pin lo sebelumnya 00008. Kalau mau ngubah itu yang rumitan dikit, kek."
"Repot."
Ingin rasanya Andra memukul kepala Karsa andaikan Cahya sedang tidak memperhatikannya. Setelah sibuk membayar rak buku yang dia beli lewat situs online akhirnya perhatian Andra terfokus pada Cahya yang sedari tadi diam memperhatikan dengan wajah bingung. Andra tersenyum sangat lebar, memohon maaf atas kelakuan Karsa lewat tatapan mata.
"Sori banget, si Karsa sih bisanya ngerepotin mulu." Andra melempar ponsel dan dompet milik Karsa pada pemiliknya. "Mau minum apa?"
Cahya tersenyum. "Nggak usah repot-repot."
Andra berjalan menuju kulkas. "Nggak ada orang yang lebih ngerepotin dari Karsa. Jadi tenang aja." Cowok itu berdiri melongo saat melihat isi kulkas Karsa, hanya ada air mineral dan mie instan. Terpaksa Andra mengambil air mineral lalu menuangkannya ke dalam gelas.
"Cuma ada air mineral, Karsa pasti lupa belanja. Tuh anak emang nyebelin banget."
Cahya tersenyum canggung. "Nggak papa, kok."
Andra mengangguk seraya meneguk habis air mineral lalu menurunkan kaki Karsa dari atas sofa dan duduk dengan nyaman, Karsa hanya melenguh lalu kembali tidur. Andra berdecak, dengan kekuatan penuh dia menggeplak punggung Karsa.
"Bangun, woy! Astaga, Sa. Sekali aja nggak tidur bisa. Nggak malu apa sama Cahya."
"Kenapa gue musti malu?" Karsa membalas dengan malas. "Kalau nggak nyaman, suruh aja Cahyanya pergi."
"Astagfirullah, Sa, eling maneh teh!" Andra menggelengkan kepala beberapa kali. "Kalau kayak gini terus lama-lama lo—"
"Ndra, mending diem deh. Suara lo fals banget."
"Gue nggak lagi nyanyi, Bego!" Andra mengalihkan perhatian pada Cahya. "Sekali lagi sori, ya. Dia emang nyebelin banget."
Cahya hanya tersenyum saja. Kalau dirinya berada diposisi Andra, sudah dia tinggalkan Karsa saja dan membiarkan cowok itu tidur sampai mati.
"Kata Nosty lo yang nulis naskah teater nanti."
Mendadak Cahya salah tingkah, meski dalam hati sangat bersyukur Nosty membuka jalan untuknya bicara dengan Andra. "Iya, saya ngajuin kata Ka Nosty nunggu diacc dulu sama Ka Andra."
Tiba-tiba Karsa bangun, dia duduk tegak namun matanya tampak sayu. "Kenapa kamu manggil Andra 'kakak' tapi sama saya cuma Karsa doang. Umur sya sama Andra itu sama lho!"
Cahya dan Andra melongo, Karsa bisa bangun dengan cepat hanya mendengar Cahya memanggil Andra 'kak'? Luar biasa sekali cowok itu.
"Berisik lo! Serah Cahya dong mau manggil gue apa juga."
Karsa mendelik. "Gue nggak setuju!"
"Tapi gue setuju dan gue suka." Pandangan Andra tertuju pada Cahya. "Jadi, Dek Cahya nyari gue selama ini karena mau minta persetujuan?" Sengaja Andra membuat Karsa kesal, kapan lagi dia bisa melakukan hal ini.
Cahya mengangguk mengabaikan ekspresi kesal Karsa. "Iya, kata Ka Nosty saya harus minta persetujuan dulu sama Ka Andra."
"Gue emang masih ngejabat jadi ketos, tapi sayangnya gue bukan ketua panitia teater."
"Ya?"
Andra menunjuk Karsa. "Karsa, dia ketua panitianya. Kalau minta persetujuan sama Karsa aja. Gue nggak punya banyak wewenang selain denger laporan dari Karsa."
Jadi selama ini Cahya salah orang? Dia langsung merutuk, harusnya sejak awal dia bersikap baik pada Karsa.
"Ngomong-ngomong, dia juga wakil ketos, lo harus jaga sikap. Meski Karsa orangnya cuek banget, tapi kalau ngasih hukuman ... behhh."
"Elah, jangan rusakin nama gue dong."
Andra mencibir.
Karsa menatap Cahya sambil menyeringai lebar. "Jadi, tema apa yang kamu usung? Saya bisa aja nolak proposal kamu meski Andra setuju setengah mati."
Cahya menelan ludah gugup.
***