8. Teror
8. Teror
"Saran gue: jangan mau kenal sama Karsa. Entar hidup lo ribet kayak hidup gue. Kalau bisa udah gue kuburin tuh tikus satu itu."
Ashes
Hal pertama yang Karsa lihat ketika membuka mata adalah langit biru dan awal putih. Kening cowok itu sontak mengernyit dalam, apa dia ketiduran hingga siang? Tetapi di mana dirinya sekarang? Ini tidak terlihat seperti daerah sekitar apartemennya.
Melihat wajah orang yang berlalu lalang, kendaraan yang melintas, dan bangunan sekitar, jelas Karsa masih di Indonesia dan tentunya zaman modern.
Apa ini mimpi? Karsa bertanya-tanya, enggan mencubit atau menampar pipinya. Takut sakit soalnya, nanti merah-merah, kalau merah-merah nanti Cahya tidak suka padanya.
Karsa berjalan tanpa arah tujuan, lurus hingga kemudian dia tertegun saat melihat seorang wanita paruh baya hendak menyeberang namun dari tiba-tiba dari arah kiri sebuah mobil melaju dengan kencang dan menabrak wanita paruh baya itu.
Semua orang berkerumun, Karsa tiba-tiba merasa penasaran. Dia melangkah mendekat namun sesuatu menariknya menjauh hingga kemudian dia sadar bahwa semua itu hanya mimpi.
Napas Karsa terengah, kecelakaan itu terasa begitu nyata. Dia melihat ke sekitar, rupanya dia masih berada di apartemen. Sambil menghela napas Karsa bangun lalu pergi ke kamar mandi untuk bersiap. Bisa repot dirinya jika terlambat datang ke sekolah.
"Ngapain lo di sini?" Karsa bertanya ketika melihat Andra tengah berdiri di samping meja belajar Karsa.
Andra menunjukan botol obat pada Karsa. "Ini obat apaan? Banyak banget isinya? Lo sakit?"
Karsa segera mengambil botol tersebut dari tangan Andra. "Cuma obat biasa."
Kepala Andra meneleng, merasa ada yang aneh dengan ucapan Karsa. Lagi pula sejak kapan Karsa sakit? Setahunya Karsa paling susah minum obat meski sedang sakit pun dan sekaran botol obat tersebut berada di tangan Karsa.
"Jawab gue, lo lagi sakit, kan?"
Karsa memutar bola mata. "Ini itu obatnya Narend."
"Lo nggak bohong, kan?"
Karsa menatap Andra datar. "Emang lo pacar gue sampai harus jujur terus?"
Giliran Andra yang memutar bola mata. "Buruan siap-siap. Kita pergi sekarang."
Karsa mengambil tas dan jaket dari atas ranjang lalu pergi mengikuti Andra keluar.
Sedari tadi Andra terus melirik ke arah Karsa, ada yang berbeda dengan cowok itu. Biasanya setiap kali berangkat sekolah, apalagi kalau naik mobil seperti sekarang pasti Karsa akan tidur, namun kali ini tidak. Karsa tidak tidur, hanya memandang ke arah depan kaca mobil sambil sesekali menghela napas panjang.
"Lo kenapa, sih? Ada masalah? Tumben nggak tidur."
Karsa melirik Andra sekilas. "Gue lagi mikirin sesuatu."
"Mikir apaan emangnya? Cahya?"
Karsa menggeleng. "Bukan. Kalau mikirin Cahya jantung gue suka berdetak kencang. Gue lagi mikirin SMS yang akhir-akhir ini sering neror gue."
Andra langsung mengerem mobil secara mendadak lalu menatap Karsa terkejut. Siapa orang yang mau meneror orang macam Karsa yang malasnya saja minta ampun. Bahkan jika ada orang yang mau mukulin Karsa, pasti orang itu langsung mundur karena Karsa malah mengajak mereka istirahat dulu lalu tidur.
"Hah?!" Andra mengerjap, dia kembali melajukan mobil. "Emangnya siapa yang neror lo? Siapa orang yang udah lo bikin kesel? Ck, kan udah gue bilang jangan terus cari masalah."
Sebelah alis Karsa terangkat. "Padahal masalah gue sepele."
"Mana SMSnya? Biar gue liat." Andra mengulurkan tangan.
"Lo lagi nyetir nanti lo nggak fokus, kalau nggak fokus nanti kecelakaan. Gue nggak mau mati sekarang, meski gue nggak mati nanti, gue nggak mau cedera. Entar Cahya nggak suka sama gue."
Jika saja Andra tidak sedang menyetir sudah dia pukul kepala Karsa hingga penyek. "Serah lo aja, deh."
Karsa hanya menggumam tidak peduli.
"Gue denger lo setuju sama cerita yang diajuin Cahya. Ceritanya memang lumayan sih meski temanya sama sekali jauh dari sejarah malah agak melenceng. Tapi mau gimana lagi, gue terlanjur sedih sama ceritanya."
Karsa melirik Andra. "Ndra, masalahnya gue nggak nanya."
"Kampret! Gue pukul beneran ya?!"
Karsa hanya mendengus.
"Terus, gimana sama pemerannya? Udah lo tinjau?"
Karsa menghela napas. "Lagi nyari pemeran utamanya. Anak-anak teater kebanyakan cewek, cowoknya nggak ganteng kayak gue."
Andra menghela napas panjang, harus ekstra sabar untuk menghadapi Karsa. "Usahain buat cari segera dapetin pemeran utamanya. Kita nggak punya banyak waktu."
Karsa hanya bergumam lalu keluar dari dalam mobil setelah sampai di sekolah. Belum banyak orang yang datang. Tahu Karsa akan menghindar, Andra menyuruh Karsa untuk berjaga dan mencatat siapa saja yang terlambat.
"Milkshakenya? Gue belum sarapan."
"Eh, Kampret! Gue bukan Bokap apalagi Nyokap lo. Sana beli sendiri!"
Menurut, Karsa malah pergi ke kantin bukannya menjaga gerbang. Melihat hal tersebut membuat Andra benar-benar frustrasi, menyesal juga jadi sahabatnya Karsa yang nyebelin minta ampun.
"Gue beliin, lo jaga gerbang sana!"
Karsa merengut lalu kembali ke depan gerbang seraya mengamati orang-orang sambil sesekali mengangguk pada orang yang menyapanya. Sekitar setengah jam kemudian saat mendapat perintah dari Andra, Karsa segera menutup pintu gerbang tapi ditahan oleh Ashes.
"As-hes ... telat. Nggak boleh masuk."
Ashes berdecak kesal, dia membuka pintu gerbang namun rupanya tenaga Karsa lumayan juga. "Buka pintunya nggak?!"
"Nggak!"
"Sialan! Cepet buka atau gue pukul lo ramai-ramai."
Karsa tersenyum miring. "Pecundang, bisanya main keroyokan."
Menghadapi Karsa hanya akan membuang-buang tenaga, Ashes memilih balik pergi.
"Nggak mau masuk?"
"Si anjing! Lo beneran minta dipukul, ya?!"
Karsa menggaruk kepala yang gatal seraya menatap Ashes. "Gue nggak minta. Gue cuma nanya lo nggak mau masuk?"
Ashes menarik napas panjang, kalau saja Karsa seperti Andra yang punya emosi normal sudah Ashes ajak berkelahi. Tapi sayangnya meski dipukul Karsa tidak akan melawan, sebaliknya Karsa malah duduk bersandar lalu tidur. Percayalah, Ashes pernah mengalami hal tersebut.
Dengan kesal Ashes masuk ke dalam, keningnya berkerut dalam saat Karsa terus-terusan menatapnya dengan serius. Mendarak Ashes jadi waspada.
"Ngapain lo ngeliatin gue segitunya?"
"Lo pilih Raka atau Rafael?" tanya Raka.
"Hah?"
"Pilih Raka atau Rafael?"
"Kenapa lo nanya gituan? Sana minggir, badan gue baru masuk setengah, nih."
"Nanti gue minggir, tapi lo pilih dulu. Mau jadi Raka atau Rafael?"
"Raka! Udah sana pergi!" Ashes mendorong Karsa menjauh, lama-lama dia bisa gila jika terus-terusan dekat dengan Karsa.
"Andra!" teriak Karsa saat melihat kedatangan Andra. "Katanya As-hes mau jadi Raka. Jadi kita bisa latihan besok."
Pandangan Andra tertuju pada Ashes. "Yang bener, Shes?"
Ashes melongo, tidak mengerti maksud Andra dan Karsa. "Bener apaan?!"
Andra tersenyum. "Kayaknya lo beneran cocok jadi Raka. Nanti siang jangan langsung pulang, gimana pun anggota teater harus tau kalau lo yang bakal jadi Raka."
"Hah, siapa yang mau ikutan teater?"
"Elo lha. Karsa bilang lo ambil peran utama cerita anak-anak teater."
"Jangan salahin gue kalau temen lo yang satu itu nggak bisa dateng ke sekolah besok." Ashes menatap Karsa yang memasang wajah tanpa dosa, sial benar dirinya bertemu dengan cowok satu itu.
Ketika Ashes ingin marah-marah tiba-tiba ponsel Karsa bergetar, matanya terbelalak kaget setelah membaca pesan yang masuk.
"Kenapa tuh muka? Habis dapet chat dari siapa?" tanya Andra penasaran.
"Peneror gue. Dia ngirim gue SMS lagi."
Ashes kembali melongo, orang seperti Karsa punya peneror? Siapa pula orang bodoh yang mau berurusan dengan orang macam Karsa.
Andra meraih hape Karsa lalu membaca pesan yang dimaksud Karsa, Ashes juga ikutan karena pensaran. Namun wajah mereka langsung berubah cengo.
Peneror yang dimaksud Karsa dari operator tertanyata.
"KARSA!!"
***