Bab 15 . Rencana Berikutnya
"Be... benarkah, Tuan?" tanya Tuan Mu dengan suara tergagap.
Robert Gao mengangguk, seraya berkata, "Raja sudah menyetujuinya, mungkin titah akan turun dalam waktu dekat!"
"Tuan, bahkan Tuan sudah mendapatkan persetujuan Raja? Siapa Tuan sebenarnya?" Tuan Mu menjadi sangat penasaran.
"Dia adalah Pangeran Ketiga, Jing Quo!" Li menjawab pertanyaan tua itu.
Seketika itu, Tuan Mu bersujud di hadapannya. Robert Gao terkejut dan ikut berlutut di lantai, lalu berkata, "Apa yang Anda lakukan? Berdirilah!"
"Hormat, Pangeran Ketiga! Maafkan atas ketidaktahuan rakyat jelata ini yang tidak mengenali Pangeran!" Tuan Mu masih bersujud dan menundukkan kepala, tidak berani menatap wajahnya.
"Berdirilah! Ini perintah!" Robert Gao tidak tahu harus bersikap seperti apa menghadapi Tuan Mu ini.
Mendengar kata perintah, Tuan Mu langsung berdiri, tetapi masih tidak berani menatap wajahnya.
"Keluarga Kerajaan selama ini terkenal arogan dan kejam! Tidak ada satu orang pun yang boleh menatap langsung kepada anggota Keluarga Kerajaan! Jika ada yang berani, maka hukum penggal akan menanti!" Li menjelaskan.
Robert Gao terdiam, dirinya semakin muak dan malu menjadi anggota Keluarga Kerajaan.
"Tuan Mu, aku adalah Jing Quo, Walikota. Hanya itu! Aku tidak ingin ada penduduk lain yang tahu bahwa diriku adalah Pangeran Ketiga! Bisakah Tuan Mu membantu diriku?" Robert Gao memegang kedua pundak Tuan Mu.
Tuan Mu perlahan mengangkat wajahnya dan menatap dengan tidak percaya kepadanya.
"Jika itu yang Pangeran Ketiga inginkan!" Tuan Mu menjawab pelan.
Robert Gao mengangguk, lalu berkata, "Untuk itu, yakinkan para warga dan bantu aku mewujudkan rencana ini!"
Tuan Mu meminta sedikit waktu untuk menjelaskan kepada warga lainnya. Tidak lama, mereka mulai memindahkan batang-batang bambu itu ke sepanjang jalan menuju sungai.
Robert Gao mulai memasang pancang dan setiap bambu itu direkat dengan getah lalu dibungkus dengan kulit hewan. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya kebocoran. Banyak warga yang membantu, itu membuat mereka berhasil menyelesaikan separuh jalur bambu itu. Robert Gao membuat tiga jalur bambu, dirinya tidak ingin warga mengantri panjang saat hendak mengambil air.
Langit mulai gelap, mereka semua kembali ke kota. Para warga mengambil kantong berisi beras, lalu kembali ke rumah masing-masing. Begitu juga dengan Robert Gao dan Xiao Ho. Setibanya di istana, mereka pergi ke dapur istana dan meminta dua karung beras. Lalu, Robert Gao kembali berkultivasi saat tiba di kamarnya. Dirinya yakin, saluran air itu akan segera rampung. Langkah terakhir, tinggal memasang kincir air yang telah dipesannya.
Keesokan harinya, saat langit masih gelap, mereka menyelinap keluar dari istana. Kincir air setinggi 2 meter sudah ada di depan kedai, dan banyak warga yang juga sudah berkumpul di sana.
"Selamat pagi, Tuan!" Tuan Mu menyapa dan memberi hormat padanya.
Robert Gao mengangguk, dirinya sedang memikirkan bagaimana membawa kincir air ini ke sungai. Jalan menuju sungai adalah jalan menanjak penuh bebatuan.
"Gunakan kekuatanmu! Buat angin dan tanah bekerja!" bisik Li yang baru keluar dari kedai.
"Terima kasih!" Robert Gao menepuk pundak Li.
Sekelompok warga pria berkumpul di belakang kincir dan sebagian lagi bersama Xiao Ho melanjutkan memasang jalur bambu. Mereka akan mendorong dan menggelindingkan kincir itu menuju sungai. Rasa khawatir jelas terpahat di wajah mereka.
Robert Gao berjalan ke tengah sekelompok orang itu, seraya berkata, "Percaya padaku! Cukup ikuti perintahku!"
Seketika, rasa percaya diri menghampiri sekelompok pria itu lalu mereka mulai memasang ancang-ancang.
Robert Gao memberi perintah kepada angin dan tanah, biarkan kincir ini sampai ke sungai dengan mudah. "Factum!" gumam Robert Gao.
"DORONG!!!" teriak Robert Gao.
Kincir air menggelinding mendaki jalan bebatuan itu dengan lancar bahkan angin membantu mereka. Senyum terpatri di wajah sekelompok pria itu dan mereka semua menatap kagum ke arah Walikota mereka.
Tidak lama, mereka semua tiba di sisi sungai. Untuk pemasangan kincir, dilakukan oleh Robert Gao sendiri. Sekelompok pria itu memperhatikan dengan seksama apa yang dikerjakannya dan mereka akan siap membantu tanpa harus diminta.
Langit mulai gelap, saat kincir air siap dipasang. Kincir air mulai berputar mengikuti arus sungai. Air tertampung di wadah yang telah terpasang di kincir air. Air tumpah saat menabrak bambu pembatas yang sengaja dipasang. Air mulai mengisi wadah besar yang dibuat untuk menampung air sebelum dialirkan ke dalam tiga saluran batang bambu.
Sekelompok pria itu bersorak girang, air terus terisi karena kincir air yang terus berputar. Jika wadah air penuh, maka air kembali tumpah ke dalam sungai. Jadi, tidak ada air yang disia-siakan.
Sebelumnya, saat jalur bambu sudah terpasang sempurna, Robert Gao menggunakan kekuatannya untuk menembus semua penghalang yang ada di tengah-tengah bambu, jadi dirinya sangat yakin air akan mengalir tanpa hambatan.
Tuan Mu memeluk erat tubuh Robert Gao dan menepuk kuat punggungnya.
"Terima kasih, Tuan! Terima kasih!!!" ujar Tuan Mu yang berlinang air mata.
"Ini belum selesai, masih banyak yang harus kita lakukan!" Robert Gao membalas pelukan pria tua itu.
"Tuan cukup perintahkan. Kami akan melakukan semuanya!" Tuan Mu meyakinkan Robert Gao. Sekelompok pria itu juga menyanggupi hal itu dan mereka pun kembali ke kota.
Saat mereka tiba di kota, mereka disambut dengan kemeriahan. Warga sibuk menampung air dari aliran bambu itu. Robert Gao juga membuat katup pada ujung bambu, sehingga aliran air dapat dihentikan jika telah sudah tidak terpakai.
"Tuan Mu, Tuan hanya perlu menambah jalur bambu jika tiga jalur itu tidak cukup!" jelas Robert Gao yang ikut bahagia.
"Tentu, Tuan!" Tuan Mu menjawab.
"Tuan, kami para warga akan menjamu Tuan karena keberhasilan ini!" ujar Tuan Mu.
"Masih terlalu awal. Besok, kita akan mulai mengerjakan rencana lainnya! Jadi, persiapkan diri kalian!" Robert Gao lalu pamit dan kembali ke istana. Dirinya tidak lagi pergi ke dapur istana untuk mengambil beras, Robert Gao berencana membeli dengan uang anggaran Walikota.
Robert Gao berkultivasi, suasana hatinya sangat baik dan itu membuat semakin banyak cahaya yang diserap oleh tubuhnya.
Keesokan harinya, seperti biasa mereka ke kota saat langit masih gelap. Namun, pagi ini mereka disambut oleh para warga yang sudah menunggu kehadiran mereka.
"Masuklah! Para warga menyiapkan begitu banyak masakan untuk kalian berdua!" Li menghampirinya saat mereka tiba di depan kedai.
"Terima kasih! Terima kasih! Sebenarnya, kalian tidak perlu repot-repot!" Robert Gao mengatup kedua tangannya dan memberi hormat kepada semua warga yang berkumpul.
"Kami tidak repot! Ini niat baik kami! Namun, kami tidak yakin apakah akan sesuai dengan selera Tuan!" Tuan Mu menghampirinya.
"Aku akan menghargai niat baik kalian! Ayo, Xiao Ho!" Robert Gao mengajak Xioa Ho bersamanya masuk ke dalam kedai.
Meja bulat terisi dengan begitu banyak masakan. Masakan sederhana, tetapi terlihat bagaimana para warga menatanya seindah mungkin. Robert Gao yakin, bahan makanan ini adalah yang terbaik dari yang dimiliki oleh para warga.
Robert Gao mulai memakannya begitu juga Xioa Ho. Rasa masakan biasa saja, tetapi alasan masakan ini dibuat adalah luar biasa dan itu membuat masakan terasa nikmat. Mereka berdua memakan habis semua masakan yang tersedia. Tuan Mu tersenyum lebar dan keluar kedai untuk memberitahukan kepada semua warga.
Beberapa warga wanita masuk ke dalam kedai, lalu mengangkat piring-piring kotor itu. Tuan Mu dan Li bergabung dengan mereka duduk di meja itu.
"Jadi, apa rencana Tuan selanjutnya?" tanya Tuan Mu.
Tidak ada yang tahu apa rencana berikutnya, baik itu Li maupun Xiao Ho.
"Aku akan membuka lahan pertanian!" jelas Robert Gao.
Jika kincir air itu belum dibangun, maka baik Tuan Mu, Li maupun Xiao Ho pasti akan menertawakan rencananya. Namun, mereka hanya menatap terpana ke arahnya.
"Tidak ada lahan yang cocok untuk bertani di kota ini!" Li berkata.
Tentu, karena kota ini adalah daerah pertambangan, kualitas tanah tidak cocok untuk bercocok tanam. Namun, bukankah dirinya menguasai atribut tanah, itu artinya dirinya bisa membuat tanah menjadi subur.
"Hutan bambu! Bukankah sudah seperempat bagian kalian tebang untuk membuat saluran air? Tebang seperempat bagian lagi, lahan itu akan dibagi dua. Satu lahan untuk menanam padi dan satu lagi untuk menanam sayuran. Irigasi air sudah tidak ada masalah, hanya tinggal memasang jalur ke sana. Bahkan aku berencana memelihara ikan di sekeliling sawah. Ikan akan memakan hama, kotoran ikan bisa dijadikan pupuk dan kalian juga bisa memasak ikan-ikan itu!" jelas Robert Gao.