8. Pengakuan Ica.
"Berapa lama Mommy di luar negeri, Kak?" tanya Oca kepada Ola yang sedang duduk dipinggiran kolam renang yang terletak disamping kiri rumah mewah mereka. Hari memang sudah beranjak malam, namun Ola sering duduk disini memperhatikan langit malam yang menjadi kesukaannya.
Ola menoleh dan tersenyum lalu menepuk keramik disampingnya bermaksud menyuruh Oca duduk. "Mungkin seminggu lagi, Sayang. Kenapa? Kamu kangen ya?"
Oca menggeleng cepat. "Aku kan udah gede Kak. Masa iya aku kangen sama mereka.." Oca mencebik membuat Ola terkekeh pelan sebelum kembali bertanya.
"Oiya, orang gila yang kamu bawa itu apa kabarnya ya?"
Oca mengendikkan kedua bahunya acuh. "Entahlah. Aku gak ke rumah sakit lagi. Tapi boleh sih kapan-kapan kita jenguk. Kakak ikut?"
"Boleh. Kamu kasih tau Kakak aja ntar, kapan waktunya."
"Sipp."
Kini kedua gadis itu menatap langit bersamaan. "Indah ya?"
Oca mengangguk mengiyakan. "Iya Kak, seindah diriku."
"Yeyyy," balas Ola lalu tertawa lebar sebelum bertanya. "Kamu gak pacaran, dek?"
"Nggak, Kak. Aku nunggu calon suami aku aja. Lagian pacaran efeknya negatif, bisa buat patah hati terus bunuh diri. Nah, kalo nunggu calon suami kan tinggal diajak nikah, gak ada namanya patah hati lagi tuh."
"Kamu bener tapi yang bunuh diri itu cewek bodoh." Ola tersenyum simpul. "Tapi, setidaknya kamu bisa rasain masa muda, Ca. Seru kok."
"Gak ada yang mau sama aku, Kak," sungut Oca lalu memainkan air kolam renang dengan jemarinya yang entah kenapa terasa hangat sangat kontras dengan cuaca yang dingin.
Sentuhan di kepalanya membuat Oca menengadah dan menatap Ola yang kini menatapnya sambil tersenyum. Senyuman yang mampu memikat pria manapun karena Ola sangatlah cantik secantik namanya.
"Jangan putus asa. Pasti ada yang mau sama kamu." Ola memberi petuah. "Lagipula, kamu terlalu di kekang sama Kak Ilo, mungkin itu salah satu alasan cowok gak berani deket sama kamu."
Oca membenarkan ucapan Ola padanya. Memang selama ini tidak ada yang mendekatinya, entah karena memang dia tidak cantik seperti dua kakaknya yang lain atau karena Kak Ilo yang terlalu sering memantaunya dan mengekangnya karena dia adalah anak bungsu? Oca tidak bisa menjawabnya.
"Ngomong-ngomong, kamu belum teguran sama Ica? Nggak baik lho marahan lama-lama. Bagaimanapun, kita semua saudara yang saling membutuhkan."
"Aku masih kecewa, Kak." Oca bergumam. "Nanti juga aku baikan lagi sama dia."
"Jangan lama-lama. Kakak yakin, kalian berdua sama sedihnya." Ola sudah tahu jika mereka bertengkar, memang tidak akan lama. Namun, keduanya pasti saling merindukan satu sama lain.
Oca mengangguk. "Iya, Kak."
***
"Oca!"
Oca menulikan telinganya saat Ica memanggil dirinya.
"Ca, dipanggil Ica," gumam Karen yang kini berjalan bersisihan bersama Oca saat jam olahraga habis.
"Ca, gue minta maaf." Teriak Ica parau membuat Oca menyuruh Karen dan Fani segera meninggalkannya berdua dengan Ica. Dirinya menoleh dan berkata,
"Udah deh. Nggak ada yang perlu dimaafin dan minta maaf disini, karena gue masih kecewa sama lo!" Oca beranjak meninggalkan Ica, namun mendadak langkahnya berhenti karena teriakan Ica selanjutnya membuat dirinya membeku dan menoleh.
"Apa?" tanyanya kaget bahkan suaranya tidak keluar sepenuhnya.
Ica menunduk, bibirnya bergetar hebat begitupun dengan badannya. "G..gue~ suka sama Kak Ilo, Ca," ulangnya pelan namun masih terdengar jelas di telinga Oca.
Angin yang masuk dari sela pintu aula menerbangkan rambut gelombang Ica dan juga rambut lurus alami milik Oca. "L..Lo bercanda?"
Ica menggeleng dan masih menunduk. "G..Gue gak bercanda. Gue cinta sama Kak Ilo, Ca." Kini Ica menatap Oca dengan pandangan buram karena air matanya siap tumpah keluar. "Gue tau ini dosa. Tapi, gue nggak mau lo salah paham karena gue nolak Kak Sena. Jadi-" Ica kembali menunduk. "Jadi, gue milih jujur sama lo, Ca. Maafin gue..."
Kakinya lemas seperti jelly, bahkan badannya tidak dapat lagi Oca gerakkan sehingga dirinya duduk begitu saja di lantai aula olahraga. Ica mengajak Oca untuk berbicara beberapa kali bahkan di rumah sekalipun, namun Oca menolak karena masih kecewa dan kini mendapati kenyataan yang bahkan masih tidak dapat di terima oleh akal sehatnya.
"Apa~ Kak Ilo tau? Daddy? Mommy? Kak Ola?" Oca berharap bahwa salah satu diantara yang dirinya sebutkan tahu tentang perasaan Ica.
Sayangnya, Ica menggeleng. "Cuma lo yang tau perasaan gue, Ca karena gue percaya sama lo," sahutnya sambil terisak pelan. "Gue tahu gue gila, katakanlah begitu. Tapi, gue bener-bener nggak bisa mengabaikan perasaan gue sendiri sama kakak kandung gue. Apa gue salah, Ca?" tanyanya nelangsa.
Ica kini duduk berdampingan dengan Oca yang tidak bisa memikirkan apapun lagi.Ia terdiam mendengarkan Ica yang terisak keras dan untungnya tidak ada siapapun disini.
"Maaf, kalo selama ini gue nyusahi elo karena bela-belain gue sama Kak Sena.. Maaf juga udah buat lo susah karena lo selalu jadi sang malaikat disaat gue selalu nge-bully anak-anak dan juga makasih, Ca." Tiba-tiba saja kata itu mengalir dari mulut Ica.
Oca masih terdiam duduk di tempatnya. Bahkan dirinya tidak tahu ingin berkata apa sementara Ica meminta maaf yang entah untuk apa. Kepalanya mendadak menjadi pusing.
"Gue selalu iri akan perlakuan Kak Ilo sama lo. Gue iri sama perhatian Kak Ilo ke elo. Gue selalu iri dengan semua sikap Kak Ilo yang manjain elo," sambung Ica kemudian.
Nyatanya selama ini gue yang iri sama lo, Ca! Gue yang iri sama semua yang lo punya, termasuk keluarga hangat lo yang udah ngasih gue hidup yang sempurna dan gue bahagia bisa menjadi salah satunya. Balas Oca dalam hati.
Kini Ica menatap Oca dengan buram karena air matanya kian menetes melalui kedua pipi cantiknya. "Maafin gue, Ca. Seharusnya gue nggak berhak iri tapi perasaan itu timbul gitu aja."
Oca menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghelanya pelan dan berdiri sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Ica. "Sebaiknya kita pulang sekarang."
Ica menyambut uluran Oca dan berdiri lalu keduanya berjalan bersisian keluar dari aula menuju ke rumah dengan kendaraan masing-masing. Selama di perjalanan, Oca benar-benar tidak bisa fokus menyetir. Banyak pertanyaan yang menggelayuti benaknya.
Sejak kapan Ica menyukai kakak kandungnya sendiri sampai sedalam itu? Kenapa dia menyembunyikan hal itu darinya? Kenapa dia harus membiarkan Kak Sena masuk ke kehidupannya jika memang tidak memiliki rasa apapun? Dan kenapa harus kakak kandungnya?
Astaga! Oca bisa gila jika dia memikirkannya seorang diri. Apakah sebaiknya ia beri tahu kak Ola? Tapi, apa jawaban Kak Ola nanti? Tidak-tidak! Ia tidak berhak memberi tahu siapapun. Biarkan Ica sendiri yang memberi tahu mereka.