Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Ada Apa Denganmu, Kak?

Makan malam kali ini penuh dengan cerita tentang Ilo yang selama 4 tahun menghabiskan waktunya di luar negeri. Mereka bertanya antusias kepada Ilo yang ditanggapi dengan ramah oleh dirinya. Ilo juga tidak membawa pulang bulek yang bersamanya dan menitipkan bulek tersebut di hotel yang bernaung di perusahaan milik keluarganya.

Oca hanya diam sedari tadi, tidak bertanya ataupun merespon. Pikirannya melayang-layang saat dirinya mengantar Gee ke rumah gadis tersebut. Ucapan terakhir Gee menohok jantungnya, 'gue kecewa sama lo, Ca'. Oca hanya bisa meminta maaf kepada Gee, namun diabaikan oleh gadis itu dan langsung masuk ke dalam rumah.

Lagipula yang menjadi pertanyaan Oca sekarang adalah kenapa Kak Sena harus membawa Ica melewati perumahan Gee? Ya, Gee dan Oca melihat Sena dan Ica sedang tertawa di dalam mobil sambil melewati mereka yang berlawanan arah. Oca sudah mengutuk Kak Sena dalam hati dan membuat dirinya serba salah dihadapan Gee.

"Oca, kamu nggak papa, Sayang?" tegur Dona sambil menatap Oca yang terus memutar-mutar spageti dengan garpu dipiringnya.

Oca menatap Mommynya datar dan menghela nafasnya. "Mom, aku ke kamar duluan ya."

Tanpa menunggu jawaban dari siapapun, Oca segera naik ke kamar membuat lima orang yang ada di meja makan menatapnya aneh karena tidak biasanya Oca murung seperti itu.

Oca segera membanting dirinya di atas kasur sejenak lalu dibukanya pintu yang menghubungkan balkon kamarnya dan berdiri disana menikmati bintang yang bersinar terang malam ini.

Tidak ada yang tahu jika Oca memendam sebuah perasaan yang membuatnya merasa kian lemah setiap harinya. Apalagi dengan ucapan Gee yang membuat dirinya merasa semakin tidak pantas untuk mendapatkannya. Oca, dibalik sikap riangnya, ia juga memiliki hati dan perasaan yang selalu ditutupi dengan tawanya.

Bagaimana ia dibandingkan dengan Ica yang anggun, berkelas, dan cantik? Oca memikirkannya, namun dirinya berusaha untuk tidak terpengaruh karena bagaimanapun rasa iri itu bukanlah hal yang positif apalagi dengan kembarannya sendiri.

Kembaran? Oca tersenyum miris nyatanya mereka tidak benar-benar kembar.

"Caa," tegur Ilo dari belakang membuat Oca menoleh sekilas lalu kembali menatap langit cerah penuh dengan bintang dan bulan yang menyinari tanpa malu-malu. "Kamu kenapa?"

Oca menggeleng. "Aku nggak pa-pa, Kak."

Ilo kini berdiri dengan tangan yang ia masukkan ke saku celana pendeknya. "Bener kamu nggak papa?"

"Hmm," balasnya singkat atas jawaban Ilo membuat pria itu semakin tidak yakin. Namun, Ilo tidak memaksa Oca dan hanya berdiri disana ikut memandangi langit malam. Sudah lama sekali dia tidak berbicara dengan adiknya yang satu ini.

Hening terjadi cukup lama antara mereka.

"Apakah~ memiliki sebuah perasaan itu salah?" Oca menunduk tidak berani menatap Ilo yang kemungkinan besar kini menatapnya. "Apakah~ mencintai seseorang yang menjadi milik orang lain itu salah?" Kedua tangannya memilin erat sebelum Oca kembali bertanya. "Apakah~ aku tidak pantas dicintai?" Bibirnya bergetar hebat menahan isakan yang muncul tiba-tiba. "Apakah~ aku berdosa?"

Sejenak Ilo tertegun karena tidak pernah melihat adik kecilnya seperti ini. Tangannya terulur meraih dagu Oca. Menghapus air matanya lalu mendekapnya erat. Ia bahkan tidak tahu jika selama ini Oca merasa sedih. Apakah mungkin ada seseorang yang sedang disukainya? Seketika rahangnya mengetat. Tak lama, ia pun bergumam pelan,

"Perasaan yang kamu miliki nggak pernah salah, Sayang. Cinta yang kamu punya adalah sebuah anugerah. Jadi, bagaimana bisa semua hal itu dikatakan dosa?"

Oca menarik diri dari pelukan hangat sang Kakak. Menghapus air matanya sendiri dan kembali menatap langit. Sudah cukup puas dengan jawaban yang Kak Ilo berikan, setidaknya ia tidak melakukan dosa dengan mencintai seseorang yang mungkin tidak bisa menjadi miliknya.

"Makasih Kak." Oca tersenyum di sela matanya yang kian berair. "Setidaknya kata-kata Kakak jadi peganganku sekarang."

Ilo masih menatap adiknya datar, tidak menanggapi perkataan dan senyuman Oca. "Caa," panggilnya dengan nada tegas seolah memerintahkan Oca untuk menatap Ilo yang kini menatapnya dalam diam.

"Ya?" Oca menatap Kakaknya bingung dengan panggilan Ilo yang terdengar sedikit dingin.

"Kamu suka sama seseorang?"

"Apa?!" Oca membelalak kaget sambil menatap Ilo tidak percaya dengan ucapannya. Jantungnya berdebar cukup keras. "Kakak bercanda?"

Ilo menggeleng dan kembali menatap langit. "Sepertinya benar. Kamu suka seseorang. Siapa dia?"

Oca menggeleng kuat. "B-Bukan siapa-siapa Kak."

"Kamu nggak mau jujur?"

"Beneran Kak. Aku nggak suka siapa-siapa." Oca mengelak untuk jujur karena dirinya tahu bahwa Ilo tidak menyukai jika ada cowok yang mendekat padanya. Tapi, pada Ola dan Ica, Ilo tampak mendukung.

Aneh memang, Oca sendiri tidak mengerti.

Ilo kini memegang kedua pundak adiknya dan meremasnya sedikit erat. "Siapa orang itu, Ca?"

"Sakit kak." Oca bergumam dan mencoba melepaskan tangan Ilo dari bahunya. Tapi, sia-sia.

"Jawab Kakak, Oca!" Ilo menatapnya kian tajam membuat Oca semakin bingung akan tingkah sang Kakak. Air matanya mulai turun sambil menatap Ilo sendu. Tidak pernah Ilo memperlakukan Oca seperti ini sebelumnya.

"Maaf." Ilo bergumam tiba-tiba, melepaskan adiknya, "Tidurlah, sudah malam."

Pria itu menjauh begitu saja membuat Oca semakin bingung akan tingkah Kakaknya yang aneh. Remasan di kedua bahunya masih terasa dan sangat nyeri. "Ada apa dengan dirimu, Kak?" gumamnya sambil menatap langit yang kian gelap seiring cahaya bintang dan bulan yang memudar karena bersembunyi dibalik awan.

Oca mendengar pintu tertutup begitu saja. Ia melipat lengan bajunya dan terlihat bekas luka disana. Sampai kapan dia harus seperti ini? Menyembunyikannya dari semua orang bahkan kembarannya sendiri. Oca tidak mengerti karena yang ia tahu hanya dengan menyakiti diri sendiri dia akan merasa tenang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel