Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

14. Rumah Sakit Jiwa

Oca selesai menyelesaikan makan malamnya, lalu meletakkan serbet yang sudah ia gunakan untuk mengelap mulut mungilnya. Dona dan Leo juga baru saja sampai tadi siang dan membawa beberapa oleh-oleh untuk putra dan putrinya.

"Mom, Dad, ada yang mau Oca bilang," ucapan Oca membuat mereka semua menatap Oca dengan penasaran apa yang hendak Oca katakan.

Dona dan Leo lebih dulu tersenyum. "Daddy dan Mommy mengizinkan kamu kok, Sayang."

"Apa?" tanya Oca terkejut. Tak lama ia berdecak, pantesan saja Pak Firly begitu yakin akan keputusan orang tuanya karena ternyata gurunya itu sudah bertindak lebih dulu.

Sialan!

"Iya sayang. Mommy bangga sama kamu! Kami sudah di telepon lebih dahulu oleh gurumu, jadi Mommy dan Daddy setuju," ujar Dona penuh harap.

"Tapi Mom-"

Leo menggeleng pelan. "Sayang dengar, ini kesempatan kamu satu-satunya. Kalau bukan sekarang kapan lagi?"

"Tunggu-tunggu. Kalian bahas apa?" Ilo memicing menatap kedua orang tuanya dan juga Oca bergantian, begitupun dengan Ola dan Ica yang ikut penasaran. Ica memang tidak mendengar apapun tentang gosip Oca yang akan ke New York mewakili sekolah mereka karena Oca dan Ica berbeda jurusan.

Leo tersenyum menatap putranya. "Jadi gini, Oca dipilih untuk ikut lomba pacuan kuda mewakili sekolahnya."

"Apa?" Ola berteriak tidak percaya dan menatap Oca penuh peringatan. "Kamu kok nggak bilang-bilang?"

Oca menaikkan kedua alisnya dan berseru pelan. "Kan nggak penting, Kak. Lagian awalnya aku nggak rencana mau ikut kok."

"Jadi lo ikut nggak nih?" Kini Ica bertanya sambil menatap Oca yang sedang menghabiskan susunya.

Oca mengangguk. "Aku ikut lagian udah dapet restu dari Mommy sama Daddy."

"Emang dimana lombanya, Ca?" Lagi Ola bertanya.

"New York, La." Dona berujar cepat.

"New York! Berita sepenting ini dan kamu nggak kasih tau kita-kita?!" Ilo bertanya dengan nada kecewa karena Ola dan Ica pun tidak kalah kaget mendengar berita yang tentu saja membanggakan tersebut.

"Maaf," Oca menunduk menyesal.

Ilo menghela nafasnya kasar. "Berapa lama?"

"Mungkin satu minggu, Kak." Oca membalas pelan.

"Kakak ikut! Kakak bakal temenin kamu. Dad, aku serahin perusahaan sama Daddy." Ilo memutuskan tanpa persetujuan dari Oca.

"Nah, kebetulan," ujar Dona kemudian, sebelum melanjutkan. "Mommy juga mau bilang begitu tadinya." Dona menatap Oca dengan lembut. "Kamu pergi sama Kak Ilo aja ya, sayang. Mommy soalnya bakal nemenin Daddy, Kak Ola kuliah, dan Ica harus sekolah."

"Apaa?!" teriak Oca. "Aku sendiri aja. Lagipula, ntar ada Pak Firly kok."

"Nggak bisa! Pergi sama Kakak atau kamu nggak ikut lomba."

Dona, Leo, Ola bahkan Ica kini terdiam mendengar perdebatan Oca dan Ilo. Jika Ilo sudah berbicara, Leo Sang Daddy pun terdiam karena tahu jika Ilo akan membuat keputusan yang terbaik untuk keluarganya.

"Iiissh!!" Oca berdesis malas. "Terserah deh. Aku duluan!"

Oca segera beranjak ke kamar meninggalkan keluarganya.

"Apa kamu nggak keterlaluan sama Oca?" tanya Leo membuka suaranya.

Ilo menggeleng. "Nggak kok, Dad. Aku nggak akan biarin dia pergi sendirian dan berlaku buat kalian berdua juga." Ilo menatap Ola dan Ica bergantian. "Kakak akan menjaga kalian selagi Kakak bisa karena sekarang tugas Kakak bukan lagi tugas Mommy maupun Daddy."

Leo hanya mengangguk mendengar ucapan putra sulungnya dan tersenyum bangga karena dia berhasil mendidik Ilo menjadi anak yang berguna untuk keluarganya.

"Iya Kak," jawab Ola dan Ica kompak.

***

Ola sudah siap dengan gaun hijau tosca sebatas lutut sedangkan Oca juga dengan baju kaos lengan pendek warna putih yang dipadukan dengan jeans panjang yang berwarna biru gelap. Oca sama sekali tidak takut jika kulit kecoklatan.

"Naik mobil Kakak aja ya." Oca menyengir lebar karena sejujurnya ia sedang sangat malas menyetir. Namun, Oca juga sudah mengajak Ola untuk naik motor dan dengan mentah-mentah Ola menolak karena tidak tahan dengan sinar matahari yang sangat terik.

"Kalian mau kemana?" tanya Ilo ketika turun dari tangga bersamaan dengan Ica dan melihat Ola serta Oca hendak pergi.

"Ke rumah sakit jiwa, Kak."

"Ngapain?" Kini Ica yang bertanya.

"Jengukin pasien yang lo tabrak kemaren. Nih, Kak Ola penasaran sama orangnya. Ya gue ajak aja, lagian gue juga penasaran kabarnya setelah lo tabrak."

Ica mendegus sinis. "Nggak usah nyalahin gue. Lo juga salah nyuruh gue bawa motor."

"Lah, kok nyalahin gue? Kan lo sendiri yang sibuk mikirin Kak Sena sampai-sampai bawa motor aja nabrak orang gila," protes Oca tidak terima.

Ica menopang kedua tangannya dipinggang dan berdecak. "Kan gue nggak sengaja. Lagian, tuh orang gila jalan di tengah-tengah segala. Pakek ileran lagi, eewwhh..."

"Kalo orang gilanya sadar dan jalan dipinggir, itu bukan orang gila, tapi orang waras! Lagian udah lama kok, lo kok masih aja jijik," balas Oca tidak mau kalah.

"Udahhh, stopp!" teriak Ola menghentikan perdebatan keduanya. "Kalian kenapa selalu ribut masalah orang gila sih?" kini Ola menatap Oca. "Kita jadi pergi nggak nih?"

Oca mengangguk patuh beberapa kali. "Maaf Kak. Aku kebawa emosi inget orang gila."

"Ya udah, kita pergi." Kini Ola menatap Ica. "Kamu jagain rumah sama Kak Ilo yaa."

Ilo yang sedari tadi diam mengangkat sebelah alisnya menatap Ola. "Jagain rumah? Kita juga mau pergi kok. Ya kan dek?" tanya Ilo kepada Ica yang kini gelagapan dan Oca tahu betul jika Ica pasti grogi lagian sudah lama mereka tidak berjalan-jalan berdua.

"Hah? I-iya," jawab Ica gugup membuat Oca tersenyum lebar.

"Bye-bye Ica. Semoga jalan-jalannya menyenangkan. Hahaha..." Oca tertawa lebar sambil keluar dari rumah. Ola hanya menggeleng-geleng melihat tingkah absurd Oca dan langsung mengikuti Oca keluar dari rumah untuk menuju ke rumah sakit jiwa.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel