13. Kak Ilo Aneh
"Terserah kamu mau percaya apa nggak! Tapi, yang pasti bagi Kakak, kamu yang tercantik. Untuk apa memikirkan perkataan orang jika ada Kakak yang selalu memperhatikanmu dan~ mencintaimu?"
Deg.
Jantung Oca berdetak tidak karuan tiba-tiba, apalagi dengan Kak Ilo yang kini menatapnya intens.
"Intinya." Ilo kembali mengeluarkan suaranya. "Jangan pernah ambil pusing dengan kata-kata orang lain."
Oca mengangguk dan kembali menatap kolam renang yang ada di bawah setelah Kak Ilo melepaskan pegangan tangannya dari kedua bahu Oca. Keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing dan Oca tidak pernah tahu apa yang Ilo pikirkan saat ini karena Kakaknya yang satu itu sangat susah ditebak.
"Kamu siap-siap terus." Ilo kembali bergumam setelah hening beberapa saat. "Kita akan menjemput Pak dokter dan Kakak bakal ngasih dia pelajaran karena udah nyuruh kamu jemput dia."
Dengan cepat Oca menggeleng dan menatap Kak Ilo memelas. "Jangan dong, Kak! Ntar aku nggak dapet oleh-oleh dari Kak Eza."
Pletak.
Oca mendapat tempelengan sedikit keras dari Kak Ilo membuat dirinya bersungut-sungut dan menatap Kakaknya jengkel.
"Kamu ya! Mau aja percaya kata Eza. Dia gak bakal bawa kamu oleh-oleh."
"Ck. Kakak kok jahat sih?! Emang Kakak yang bawa pulang oleh-oleh untuk aku sak upil?"
Ilo menggeleng tidak percaya. "Terserah. Liat aja kalo kamu gak percaya nanti!"
"Terseraahh, wekkk." Oca segera mendorong tubuh tegap Ilo menuju pintu keluar kamarnya dan membanting tepat dihadapan wajah tampan Sang Kakak.
Ilo hendak mendobrak kamar Oca karena berlaku tidak sopan.
"Kakak ngapain?" Ica berujar tiba-tiba membuat pergerakan Ilo terhenti.
"Eh, kamu baru pulang?" tanya Ilo ramah dengan tangan yang masih mengambang di udara. Dengan cepat Ilo menurunkan tangannya dan memasukkannya ke saku celana pendeknya. "Gimana kencannya? Sukses?" Ilo bahkan mengerling jahil membuat hati Ica sesak karena Ilo memang tidak akan mungkin menyukainya.
"Sukses dong!" Ica memilih untuk berpura-pura bahagia.
Puk.
Tepukan di kepala Ica membuat dirinya sadar bahwa Ilo sedang memberi semangat padanya. "Kakak selalu berharap bahwa adik-adik Kakak bahagia." Ilo tersenyum lembut dan berbalik meninggalkan Ica yang membeku di tempat.
"Kak." Ica memanggil pelan membuat langkah Ilo terhenti namun tidak berbalik dan tetap memunggungi Ica, menunggu adiknya berbicara.
"Kenapa~ kakak nggak pernah membiarkan Oca pacaran? Tapi, aku dan Kak Ola kakak dukung?" Ica bertanya ragu. Selama ini Ilo memang tidak pernah membiarkan Oca dekat dengan laki-laki lain.
"Kalian berdua bisa menjaga diri." Ilo bergumam. "Tapi, Oca~" ucapannya berjeda beberapa saat. "Dia bahkan terlalu bodoh untuk mengenal laki-laki." Ilo segera melanjutkan langkahnya yang tertunda tanpa tahu reaksi Ica.
Ica tidak puas mendengar jawaban ambigu yang Ilo berikan. Ia berbalik dan melangkah menuju kamarnya tanpa tahu jika Oca berada dibalik pintu dan mendengarkan semuanya. Semua tanpa tertinggal satu apapun.
***
Saat ini keduanya sudah sampai di bandara dan menunggu Eza di ruang tunggu. "Kamu mau makan dulu?" Ilo membuka suaranya setelah memasukkan Iphone terbaru miliknya ke saku celananya.
Oca mengangguk dan menyengir lebar. "Hmm, aku lapar. Dari tadi kek Kakak tawarin."
Ilo menggeleng pelan. "Dasar, tukang makan!" Oca hanya mencebik dan mereka kini mencari restoran terdekat disana. Mereka memesan beberapa junkfood untuk mengganjal lapar sementara. Lagipula, sepertinya Eza sebentar lagi akan sampai jadi tidak punya waktu untuk memakan nasi.
"Valen Gettilon Oleander." Suara itu membuat Ilo berdecak malas dan menoleh tanpa minat menatap Eza yang sedang menuju ke arahnya. "Wah wah... Aku tidak menyangka jika seorang Oleander akan turun tangan langsung menjemputku. Segitunya kau merindukanku, heh?" goda Prilan Ezalio Houstan begitu melihat Ilo sedang menemani Oca makan.
"Bermimpilah!" ketus Ilo membuat Eza terkekeh pelan. "Kau tidak berubah. Tidak di Cambridge maupun di Indonesia tetap saja kau berlaku dingin." Kini Eza menatap Oca yang sedang bingung dengan tingkahnya yang memakai Bahasa Inggris barusan.
"Hay darling. Kamu makin cantik aja." Eza segera memeluk Oca. "Kakak kangen banget kamu. Makasih ya udah jemput."
"Aku juga kangen sama oleh-oleh Kakak," balas Oca sambil memeluk Eza tak kalah erat. "Bayaran jemputnya Cuma oleh-oleh kok."
"Baguss, Ca. Kamu memang adik Kakak." Ilo segera menarik Oca dari pelukan Eza membuat Eza bersungut-sungut. "Sekarang, tagih oleh-olehmu dan kita pulang!"
"Ck." Eza berdecak lalu memberikan beberapa miniatur khas Inggris dan juga snack ringan yang menjadi favoritenya untuk Oca seperti walkers, batterberg cake, dan juga jaffa cakes dalam sebuah tas belanja hitam yang pegangannya berbentuk senjata. "Ini untuk Ica." Eza memberi sebuah tas belanja yang sama, namun isinya berbeda karena Ica lebih suka boneka maka Eza membelikannya boneka.
"Yuk kita pulang." Ilo segera menarik Oca setelah menerima oleh-oleh.
"Kak Eza gimana?" tanyanya sambil melihat Eza yang kini tercengang di belakang karena Ilo menarik Oca dengan cepat meninggalkannya.
"Dia minta jemput kan? Bukan minta anter? Lagian taksi juga banyak tuh!" Tunjuk Ilo dimana taksi berjejer sangat banyak menunggu penumpang.
"Kakak pulang aja duluan. Aku pulang sama Kak Eza!" Oca menarik tangannya dari genggaman Ilo membuat dirinya berdesis tidak terima.
"Nggak, kamu pulang sama Kakak!"
"Kalo gitu ajak Kak Eza sekalian!" teriaknya sedikit kencang hingga beberapa orang menatap mereka.
Ilo kini menatap Eza yang sedang menuju ke arah mereka. "Oke. Kita anter Yang Mulia Eza terlebih dahulu," putusnya lalu segera pergi meninggalkan Oca dan Eza yang sedang ber tos ria dibelakang Ilo.
"Dia kenapa sih, Ca?" gumam Eza sambil berjalan bersisian dengan Oca. "Sensi banget kayanya."
"Dia kan emang kembaran macan, Kak." Oca bergumam sambil terkekeh yang menular kepada Eza.
Sampai di mobil CRV milik Oca, Eza membuka pintu depan namun tatapan tajam Ilo mengurungkan niatnya untuk duduk di depan.
"Lo duduk di belakang. Oca maju ke depan!"
"Lah, tapi~"
"Nggak ada tapi-tapian!" Ilo memotong.
Kini Oca benar-benar kesal dengan tingkah Ilo yang seenaknya. "Kakak apaan sih? Kaya anak kecil tau nggak?!"
Eza yang kini duduk belakang hanya diam dan menjadi pendengar yang budiman.
"Perasaan tadi baik-baik aja, sekarang marah-marah," sungut Oca lalu menatap keluar jendela mobil yang membawanya menuju ke rumah Eza.
Ilo hanya diam tidak menyahut dan hanya terus fokus untuk membawa mobil hingga mereka sampai di kediaman keluarga Houstan yang kaya raya, tak kalah kaya dari keluarga Oleander. Eza adalah anak dari adik kandung Dona, Mommy mereka yang menikah dengan pengusaha kaya keturunan Houstan.
Oca turun ikut mengantarkan Eza ke dalam rumah, sedangkan Ilo hanya menunggu di mobil karena jika ia turun dan Mona melihatnya, pasti Ilo tidak akan bebas.
"Kak, aku pulang dulu. Maaf sikap Kak Ilo hari ini."
Eza mengangguk mengerti. "Nggak papa kok. Kakak udah biasa sama sikap dia kaya begitu." Eza terkekeh pelan. "Kamu nggak mampir dulu? Ilo suruh pulang duluan aja. Ntar biar kamu, kakak yang antar."
Oca menggeleng. "Nggak Kak. Suasana hati Kak Ilo lagi gak bagus. Kapan-kapan aja aku mampir, salam buat aunty dan thank you untuk oleh-olehnya." Oca memeluk Eza sekali lagi.
"Sama-sama, darling." Eza membalas pelukan Oca.
"Udah reuniannya, ayo kita pulang?!" Suara Ilo membuat Oca terkejut kemudian merutuk dalam hati. Sepertinya Kakaknya memang benar-benar keterlaluan hari ini.