11. Semuanya Akan Lebih Sulit
Makan malam kali ini masih saja terasa sepi karena Oca dan Ica tidak membuka suaranya dan hanya mendengarkan percakapan kedua kakak mereka, Ilo dan Ola. Orang tua mereka tiga hari lagi akan sampai dan itu masih sangat lama untuk Oca memberitahukan perihal lomba pacuan kuda di New York. Oca menoleh menatap Ica yang duduk disampingnya.
Apa Ica tahu perihal pacuan kuda itu? Oca mengeryit.
Lagipula, Ica akhir-akhir ini banyak melamun dan tidak banyak bicara membuat Oca prihatin dan kembali menatap Kak Ilo yang sedang serius menyimak perkataan Kak Ola. Helaan nafas Oca sangatlah pelan, ia menyenggol Ica dengan siku lengannya hingga Ica yang sedari tadi hanya menatap makanan tanpa memakan kini menoleh.
"Kita perlu bicara." Oca bergumam serius.
Ica mengangguk lalu meletakkan sendok dan garpu hingga berdenting. Oca bediri dan menatap kedua Kakaknya lalu berujar, "Kak, kami duluan."
Tanpa memperhatikan wajah bingung kedua Kakaknya, Oca segera menarik Ica menuju taman belakang. Oca menutup pintu kaca yang menghubungkan taman belakang dan menguncinya agar kedua Kakak mereka atau pembantu tidak mendengarkan pembicaraan mereka.
"Lo gak seharusnya kaya gini, Ca." Oca membuka suara tanpa berbasa-basi. "Sikap lo ini bikin Kak Sena bingung. Dia bahkan nanya ke gue, lo itu ada masalah apa dan kenapa lo gak ngacuhin dia?"
Ica menatap ke langit sendu. "Maaf."
"Sampe kapan lo mau kaya gini, hm? Apa perlu gue bilang sama Kak Ilo tentang perasaan lo?"
Ica menatap Oca tidak percaya. "Lo gila?!"
Oca menggeleng santai dan duduk di ayunan. "Gue masih cukup waras untuk bilang ke Kak Ilo. Lagian, sikap lo yang kaya gini gak akan ngerubah perasaan lo! Mending lo move on karena bagaimanapun, Kak Ilo gak akan bisa jadi milik lo."
Ucapan Oca menampar Ica dengan keras. Air matanya menetes dan sedikit membuat Oca menyesal karena mengatakan hal kejam yang membuat perasaan Ica semakin memburuk.
"Maaf." Akhirnya Oca bergumam. "Gue Cuma gak mau lo-"
"Nggak papa." Ica tersenyum menatap Oca yang tercenung. Tidak mungkin Ica secepat itu tersenyum saat dirinya terpuruk. Oca mengenal Ica sejak kecil, jadi ia tahu persis sifat Ica yang menyembunyikan perasaan sedihnya saat ini.
"Lo nggak berbakat buat pura-pura senyum." Oca berujar asal membuat Ica kali ini benar-benar tersenyum dan berujar, "Ketahuan ya?"
Oca mengangguk dan keduanya menatap langit tanpa bintang. Rintik hujan mulai turun satu persatu membasahi keduanya. Oca dan Ica sama-sama memejamkan matanya menikmati hujan dimalam ini. Oca menengadahkan wajahnya ke langit sambil memejamkan matanya agar air hujan lebih leluasa membasahi wajahnya.
Beberapa menit berlalu dan hujan semakin deras saja. Oca merasakan air hujan tidak lagi membasahinya. Ia membuka mata dan mendapati Kak Ilo yang memayunginya lalu mencoba mencari Ica yang tidak ada lagi disana.
Sialan Ica! Gumam Oca dalam hati. Kenapa Ica tidak memberitahunya? Pasti Ica yang membuka pintu kaca tersebut.
"Enak main hujannya?" Ilo berujar setengah menyindir tajam membuat Oca menunduk tidak berani menatapnya.
"Sekarang kamu masuk dan ganti pakaian! Setelah itu temui kakak dikamar." Ilo langsung meninggalkan Oca sendiri hingga air hujan kembali mengguyurnya karena Ilo membawa payung bersamanya.
Kak Ilo sialan! Bukannya payung itu kasih ke gue. Jadi dingin kan?? Oca segera berlari masuk ke dalam rumah hingga Kak Ola datang dan memberi handuk hangat pada Oca karena Ilo yang menyuruhnya.
"Udah tau Kak Ilo sensi sama kamu, masih aja suka ngelawan dia."
"Kan aku gak tau bakal ditinggal sama Ica sendirian diluar." Oca bersungut-sungut lalu membersihkan rambut basahnya dengan handuk yang Ola berikan. "Si Ica juga gak bilang-bilang kalo dia masuk ke rumah."
Ola berdecak dan menggeleng-geleng melihat kelakuan Oca. "Udah cepetan kamu mandi. Kak Ilo nunggu tuh di kamarnya."
"Gak deh Kak. Aku mau langsung tidur aja." Oca bergidik ngeri melihat kemarahan Kak Ilo. Dirinya langsung berbisik kepada Kak Ola. "Aku takut."
"Hahaha." Ola tertawa lebar. "Lagian ya, salah kamu sendiri dong."
"Jangan ketawa kak ah.. Serem liat Kakak ketawa gitu." Oca bergidik kembali membuat Ola segera menempeleng kepala Oca.
"Apa kamu bilang?"
Oca menyengir kuda. "Aku bilang, Kakak cantik kalo ketawa.." Oca segera lari sebelum sempat Ola menjawab. Sesaat dia berhenti dan balik menatap Ola yang kini juga menatapnya. "Cantiknya kaya kuntilanak."
"Ocaaa!"
"Hahaha." Oca menyemburkan tawanya karena menggoda kak Ola sangat menyenangkan baginya. Ya, apapun yang membuat orang jengkel, selalu menyenangkan bagi Oca. Namun, saat ini dia harus menghadapi kejengkelan Kakak pertamanya.
Sialannn! Batin Oca menjerit.
Tok tok tok.
"Masuk!" Oca berteriak dari kamar saat selesai berpakaian yang lebih hangat setelah mandi. Ica masuk dan menatap Oca tidak enak.
"Sorry Ca, soal tadi. Gue nggak tau ada Kak Ilo di belakang kita. Tadi, dia ngasih gue payung dan langsung nyuruh gue masuk ke dalam rumah."
Oca mengernyit bingung. Ica dikasih payung lah gue ditinggal tanpa payung, apa-apaan Kak Ilo itu?
"Nggak papa, Ca." Oca tersenyum paksa karena jengkel dengan Kak Ilo.
Ica memilin kedua tangannya gugup. "Kak Ilo~ nyuruh elo ke kamarnya?"
Oca yang sedang mengeringkan rambut lurusnya mendadak berhenti kaku. Dia tahu jika Ica pasti cemburu. Lalu, apa yang harus Oca lakukan?
"Iya." Oca tidak mungkin berbohong. "Tapi gue ngantuk. Kayanya gue tidur aja," sahutnya kemudian lalu beranjak ke kamarnya.
Tanpa sadar Ica menghela nafas lega dan itu membuat Oca tercekat karena Ica benar-benar cemburu. Apa dia harus menjaga jarak dari Kak Ilo mulai sekarang?
"Lo yakin? Nanti Kak Ilo marah," tegur Ica kembali membuka suaranya membuat Oca yang hendak ke kasur terdiam di tempat.
Oca mengangguk mantap. "Yakin kok. Palingan marah sebentar." Oca tersenyum lebar. " Udah ah, gue mau bobok. Lo tidur sini?"
Ica dengan cepat menggeleng. "Nggak deh. Gue keluar yaa."
"Hmm." Oca menjawab Ica dengan deheman hingga pintu kembali menutup rapat meninggalkan Oca dalam kesunyian.
Apa dirinya sudah bertindak benar? Apa kedepannya semakin rumit? Bagaimanapun, Oca sudah terbiasa dengan perhatian Kak Ilo karena satu-satunya pria orang yang menghargai Oca sebagai seorang cewek hanya Kak Ilo. Bahkan teman-temannya pun tidak menghargainya sebesar yang Kak Ilo lakukan.
Semuanya akan lebih sulit.