Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Kenapa harus disamakan?

Oca melangkah gontai menuju kantin sendirian karena Fani maupun Karen sedang tidak ingin pergi ke kantin. Oca kesiangan dan tidak sempat menyentuh makanannya. Dirumahnya pun sudah sepi saat dia bangun tadi dan untungnya, Oca masih bisa masuk gerbang di detik-detik terakhir pintu gerbang ditutup.

"Oca," panggil suara berat membuat Oca menoleh dan mendapati Sena sedang berjalan disampingnya.

Melihat Sena dari dekat sangat berbeda membuat jantung Oca berdegup tidak karuan. Dengan susah payah, Oca mencoba bertingkah tenang.

"Ica~ kenapa?"

Hati Oca sedikit mencelos saat Sena menanyakan perihal Ica. Dalam hati, Oca meringis miris. Sena mendekatinya pasti karena Ica, lagipula hal ini sudah biasa.

"Maksud Kakak?" tanya Oca pura-pura tidak mengerti. Oca tahu apa yang sedang Ica pikirkan saat ini, namun Oca tidak akan memberitahu kepada siapapun karena itu adalah urusan pribadi Kakaknya.

Sena menghela nafasnya gusar. "Dia.. beda. Sejak kemarin telepon Kakak gak diangkat. Kamu tau kenapa?"

"Aku gak tau." Oca mencari tempat duduk saat mereka sampai kantin. "Dia gak cerita apa-apa sama aku." Lanjutnya saat sudah menemukan tempat duduk dipojokan kesukaannya dan Sena mengikutinya. "Kenapa gak Kakak tanya langsung sama dia?"

"Kakak udah coba. Kamu pasti udah tau kan kalo dia nolak Kakak?" Sena bergumam sendu. "Tapi, dia berjanji akan membiarkan kakak disisinya walau dia gak nerima kakak dan sekarang dia malah ngehindar dan bilang gak mau diganggu dulu untuk beberapa waktu."

Jawaban Sena membuat Oca semakin yakin kalau Ica sedang memikirkan perasaannya kepada Kak Ilo. Apa mungkin Kak Ilo mencintai Ica? Apa bisa mungkin mereka bersatu? Apa tanggapan Kak Ilo tentang ini? Lalu, bagaimana dengan Daddy dan Mommy?

Oca menghela nafas panjang dan berpikir, secinta apapun Ica ke Kak Ilo tetap saja mereka tidak bisa bersatu karena darah didalam tubuh mereka adalah satu. Satu-satunya yang harus Ica lakuin adalah mencoba untuk menghilangkan perasaannya kepada Kak Ilo dan membuka hati untuk lelaki didepannya saat ini.

Tapi~

Itu menyakitinya.

"Caa?" Panggil Sena saat Oca terlihat melamun.

"Ah.. ehh.. sorry kak." Oca tersenyum getir hingga pelayan datang untuk mengantar pesanan mereka yang sudah lebih dulu dipesan. Oca hanya memesan jus dan sedang tidak berselera untuk makan.

"Kamu bisa cari tau kira-kira Ica kenapa? Kakak khawatir sama dia.."

Oca mengangguk mantap. "Entar aku tanya sama dia ya. Kakak tenang aja."

Sena tersenyum tulus dan berterimakasih kepada Oca karena sudah membantunya. Sena mengacak rambut Oca pelan membuat jantung Oca kembali berderu cepat. Namun, dia tahu jika Sena akan selamanya menganggap Oca sebagai adik dan Oca hanya bisa menerimanya.

"Ca.." Panggil Fila yang merupakan teman satu eskul Oca. "Pak Firly nyuruh elo ke ruangannya."

Oca mengernyit tidak mengerti, perasaan dia tidak melakukan suatu apapun yang membuatnya untuk dipanggil ke ruangan Pak Firly.

"Lo jangan berpikiran buruk dulu deh. Mending jumpai dulu."

Oca mengangguk dan meminta izin kepada Sena untuk pergi menemui Pak Firly yang merupakan guru eskul berkudanya. Ya, Oca mengikuti latihan berkuda di setiap sabtu sore bersama beberapa teman lainnya. Berkuda membuat Oca merasa euforia tersendiri.

"Bapak manggil saya?" Pertanyaan sopan itu Oca ajukan saat sampai di sebuah ruangan minimalis yang penuh dengan foto Pak Firly yang ikut lomba pacuan kuda diluar negeri dan beberapanya ada juga foto Bapak itu dengan Sang Isteri dan juga anaknya.

Pak Firly menoleh dan tersenyum saat tahu Oca masuk. Dia membiarkan Oca duduk di depannya karena ada yang harus disampaikan. "Oca, kamu tau kan kalo kamu selalu mendapat nilai terbaik?"

Oca mengangguk. Dirinya memang selalu mendapat nilai terbaik saat ujian dalam menunggang kuda. Bahkan, lomba sesama temannya pun Oca selalu mendapatkan juara pertama.

"Bapak ingin memasukkan kamu ke list untuk ikut lomba pacuan kuda di New York. Sekolah kita diundang dan Bapak ingin memilih kamu sebagai perwakilan. Bagaimana?"

Oca membelalak tidak percaya. "Ta..tapi Pak, saya belum pernah ikut pacuan kuda sebelumnya.."

Pak Firly tersenyum tenang. "Tenang saja. Bapak akan mengajarimu. Lagipula, yang ikut hanya anak-anak seusiamu dan banyak dari mereka juga perempuan."

"Saya tidak yakin, Pak."

Pak Firly menghela nafasnya pelan. "Kalau begitu, begini saja. Kamu pikirkan saja dulu, atau kamu boleh musyawarah sama keluarga kamu. Bagaimana? Kalau mereka mengizinkan kenapa enggak?"

Oca menatap Pak Firly curiga karena sudah membawa orang tua. Apa Pak Firly seyakin itu jika dirinya diberi izin untuk pacuan kuda? Lagipula, itu hal berbahaya, bukan?

"Baik Pak. Saya pikirkan dulu."

***

"Lo dipilih untuk ikut pacuan kuda? Wah, emang laki banget lo, Ca."

Pletak.

Oca segera menggeplak kepala Jordan yang sedang memuji sekaligus menghina dirinya itu. Oca bahkan tidak tahu jika berita itu sudah menyebar dengan cepat.

"Rasain lo!" Karen mengejek Jordan yang kini mengelus kepalanya. "Lagian suka banget gangguin Oca. Kalo lo suka sama Oca tinggal bilang.."

"Gue suka sama Oca?" Tanya Jordan sambil mencibir. "Sama aja kaya gue suka sama laki-laki." Sambungnya membuat Oca kembali menempeleng kepala Jordan.

"Sakit dungu!" Jordan membentak tidak terima.

"Lagian lo suka banget ngatain gue laki! 44 kali lo ngatai gue laki, jadi laki beneran ntar mampus gue."

"Itu derita lo. Lagian, jadi cewek gak ada mirip-miripnya. Beda banget ma Ica."

Lagi~ dirinya disamakan dengan Ica.

Oca segera duduk dan tidak menjawab apapun membuat Karen mendelik menatap Jordan marah karena telah menyamakan Oca dan Ica. Bagaimanapun, Karen sangat mengerti perasaan Oca yang selama ini memendam kesal dan kecewa karena selalu disamakan. Karen juga mengalaminya. Hanya saja, dia terlalu sering dibandingkan dengan sepupunya yang seumurannya juga.

Fani yang melihat kelakuan mereka hanya bisa menggelengkan kepalanya dan bertanya kepada Oca. "Jadi lo ambil lombanya, Ca?"

Oca mengendikkan kedua bahunya. "Entahlah. Gue masih bingung."

"Tapi, gak ada salahnya deh Ca kalo lo ambil." Karen kembali membuka suaranya. "Lagipula, di New York kan? Sekalian lo bisa jalan-jalan."

"Oca sering kali ke luar negeri gak kaya lo pada!" Cibir Jordan sambil menatap Karen mengejek.

"Iya, gue taulah orang kaya. Gue mah apa??!" Fani merasa tersinggung membuat Jordan meringis tidak enak karena Jordan hanya bermaksud mengejek Karen tidak dengan Fani. Orang tua Karen juga sangat kaya sama dengan Jordan dan Oca. Bahkan, orang tua Karen menjadi donatur di sekolah mereka saat ini.

"Mampus lo!" Karen lagi-lagi membalas Jordan membuat cowok itu mengatupkan mulutnya rapat.

Belum sempat Oca membuka suaranya, para anak kelasnya sudah berlari-lari untuk duduk di tempat masing-masing karena guru matematika yang mereka cap killer sudah berada di depan pintu membuat seluruh siswa-siswi di kelas Oca terdiam tak berkutik.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel