PART 2
Pria itu meringis saat terbangun dari tidur dan menyentuh kepalanya yang terasa berat, pandangan sekeliling kamar begitu buram tidak jelas serta bergelombang seperti mabuk lautan sangking sakit di kepalanya terasa begitu hebat, seperti sehabis mendapatkan hantaman dari benda keras dia dapatkan tadi malam.
Mencoba mengingat secara pasti apa yang sebenarnya terjadi kepadanya, kenapa bisa sampai seperti ini sekujur tubuhnya kesakitan masih belum bisa berdiri dengan benar hanya bisa duduk tepian ranjang sambil memijat pelipisnya, berharap sakit di kepala sedikit mereda.
Seingatnya tadi malam, teman-temannya semasa Sekolah mengadakan Renuian acara pelepasan masa melajang khusus untuk dirinya yang besoknya akan Menikah. Mereka semua malam itu berpesta meriah menghabiskan waktu bersama sampai lewat pertengahan malam, makan besar serta meminum-minuman berakohol.
"Fani?, ya! Fani!!" ingatannya kembali tersadar teringat kepada calon Istrinya. Pria itu adalah, Farhan Gee Jowandaru calon suami dari Fani Kayshila yang di hari ini akan dia nikahi, malah bisanya dia tertidur pulas. Mungkin karena pengaruh dari minuman alkohol.
Farhan merutuki diri sendiri, segera bergegas masuk kamar mandi, mandi secepat mungkin mengabaikan rasa pusing di kepalanya. Mengeluarkan umpatan, berharap belum terlambat tidak membuat wanitanya kecewa menunggu terlalu lama.
Farhan sekarang telah rapi menggunakan Jas berwarna Light grey. Pilihan warna kalem namun tetap elegan dipadu dengan dasi berwarna senada dengan jas luaran yang pas di badan tegapnya, pastinya senada dengan Kebaya putih yang dikenakan Fani.
Farhan mengela nafas masih berdiri di depan cermin, melihat penampilannya dengan saksama serta mencoba menenagkan diri sebelum berangkat. Farhan harus tetap tenang jangan gegabah, biarpun sangat nervous sekali karena begitu bahagia luar biasa bahwa hari ini dia akan melaksanakan Akad Pernikahan bersama seseorang yang akan hidup berkeluarga bersamanya.
Sebelum berangkat, tidak lupa melafalkan doa dalam hati. Farhan berharap nanti semuanya lancar terkendali tanpa ada halangan.
Farhan segera melangkah tergesa-gesa keluar dari dalam kamar mencari keberadaan Ibunya, ingin segera membawanya langsung berangkat menuju rumah calon Istrinya. Ternyata, keadaan rumah begitu tenang dan sunyi, tidak seperti biasanya. Tidak ada suara keributan dari Abas yang biasanya main di halaman depan, kangmas tertua.
"Mau kemana siang-siang begini menggunakan pakaian rapi, Farhan?" tegur Salma berada di dapur tengah menyiapkan beragam makanan tersaji di meja makan.
Farhan segera menghampiri berdiri di depan sang Ibu, melihatnya masih berpakaian santai membuat Farhan keheranan.
"Bu!, kenapa masih santai sekali?. Segera ganti pakaian ibu, hari ini aku mau menikah bersama Fani. Ibu tidak lupa bukan?" Farhan mendengkus mengingatkan Salma hanya menggelengkan kepala.
"Kamu yakin hari ini hari pernikahan kamu, nak?" tanya Salma seakan dari tatapannya tidak pasti. Farhan mengernyit binggung menatap sang Ibu begitu santainya, bukan malah segera bergegas menyiapkan diri.
"Kenapa ibu berbicara seperti itu?!, bergegas lah segera!. Kamu juga Sahron, ganti bajumu dengan pakaian keluarga!" Farhan berbicara bernada tinggi merasa waktunya di permainkan, karena waktu pernikahannya sudah terlambat.
Sahron baru datang bergabung, langsung duduk menyantap sehelai roti sebelum berangkat Kuliah.
Sahron bangkit dari kursi menatap Farhan sedang melihat jam di tangannya dengan raut gusar. "Kalau begitu aku mau membawa mas Abas, menyuruhnya juga bersiap-siap" Sahron berlagak tidak tahu apapun, memainkan peran sebentar menggangap tidak ada sesuatu yang terjadi kemarin.
Farhan cepat menolak menggelengkan kepala.
"Tidak!, jangan bawa Abas. Acara bisa menjadi kacau berantakan karena ulahnya bertabiat nakal, suruh pembantu untuk mengurusnya sebentar."
Farhan sekarang tengah menelfon nomer Fani malah mendapati nomernya tidaklah aktif. Farhan tidak menyerah begitu saja terus berusaha mencoba menghubungi calon Istrinya itu, hasilnya tetap sama tidak bisa di hubungi bahkan tidak ada suara operator jika memang nomernya tidaklah aktif.
"Mas Farhan, sudahlah percuma menghubungi mbak Fani. Sebentar lagi dia kesini dan tinggal disini" Sahron ingin memberitahukan semuanya kepada Farhan, tetapi sepertiny nanti mas nya itu bakalan marah sekali dan niatnya dia urungkan.
Farhan menghentikan jari jempolnya mengetik pesan di layar keyboard ponsel miliknya, mengkerutkan kening merasa heran.
"Maksud kamu apa, Sahron?. Mas belum mengucapkan ijab dia sudah tinggal disini sebagai Istri mas, apa sebenarnya terjadi?" tanya Farhan butuh penjelasan dari Ibu dan Sahron, mereka berdua saling bertatapan dengan raut wajah yang susah di artikan.
"Aku tidak mengatakan mbak Fani bakalan menjadi Istrinya mas Farhan," Sahron memberikan jeda sebentar dan saat hendak kembali berbicara. Ibunya menyentuh lengan putra bungsungnya itu kemudian berdiri tepat di hadapan Farhan mengelus rahangnya.
"Farhan, nanti kamu bisa melihat sendiri tamu yang datang. Ibu tidak mau mengatakannya." Salma langsung berlalu dari Farhan setelah mengatakan kalimat tersebut,meninggalkan kedua putranya masih terdiam berada di dapur.
Farhan terdiam berpikir keras, merasa ada kejanggalan di setiap ucapan Ibu dan Sahron barusan kepadanya, itu semakin membuatnya curiga terhadap sesuatu. Pertama, dari mulainya keanehan tidak biasa pagi ini Abas senyap tanpa suara. Kedua, Ibu dan Sahron terlihat santai melupakan hari ini hari Pernikahannya dan terakhir--calon Istrinya itu akan tinggal disini, padahal dia bahkan belum mengucapkan Ijab Qobul supaya mereka SAH sebagai suami dan Istrinya terlebih dahulu.
Bunyian bell di luar membuyarkan lamunan Farhan. Lelaki itu bergegas menghampiri merasa sangat begitu penasaran siapakah tamu yang Ibu nya maksudkan, berharap sesuatu yang baik bukan hal-hal yang membuatnya terpuruk.
Pintu utama langsung terbuka secara lebar dibukakan oleh Farhan, seketika dunia ini terasa runtuh dan tubuhnya terdiam seperti patung. Farhan tidak berkutik sama sekali, bahkan ingin memeluk mencurahkan betapa dia gelisah dan merindukan calon Istrinya itu sudah setengah mati. Tetapi rasanya begitu susah, seakan ada sesuatu yang membuatnya tertahan terdiam seperti ini.
"F-fani???."
Farhan tercengang dan terheran-heran masih tidak percaya apa yang dia lihat dengan kedua matanya yang normal, wanita itu--wanita kesayangannya. Wanita menarik, wanita istimewa untuk Farhan, sekarang kenapa bisa menggandeng lengan Abas langsung menimbulkan tanya tanya besar di kepalanya.
Farhan berbalik menatap mereka berdua secara bergantian, kontak mata mereka saling bertemu. Wanitanya sekaligus calon Istrinya itu hanya terdiam membisu, nyatanya berusaha sekuat tenaga menahan rasa perih di dalam perasaan tidak ingin menunjukkan rasa kekecewaannya kepada pria yang akhirnya menunjukkan jati dirinya.
Mereka berdua saling bertatapan mata, begitu jelas kekagetan mereka berdua. Tetapi apalah daya, mereka saling mencintai sekarang ini sudah berhadapan bertemu bagaikan terhalang oleh tembok raksaksa yang kokoh. Hanya bisa saling terdiam dan penuh akan tanda tanya, berpikir. Kenapa bisa seperti ini???.
***
"Kamu yakin mau tinggal di sana?" Ika, mbak pertama Fani baru saja datang kerumah Ibu dan Bapak pagi dini hari. Ika sudah menjelaskan kenapa dia kemarin tidak datang di acara Akad adiknya, karena suaminya masih dalam perjalanan pulang luar kota dan setelah sampai mereka sekeluarga langsung datang kemari.
"Iya mbak, aku pasti harus ikut suaminya aku tinggal" ujar Fani sambil memasukkan pakaian miliknya kedalam koper. Ika berjalan mendekat ikut membantu Fani mengemasi barang keperluannya.
"Mbak tahu kamu perempuan kuat dan cobalah untuk ikhlas, siapa tahu kehidupan kamu lebih baik sama Abas. Mbak juga doakan semoga suami kamu ingatannya cepat kembali, apapun yang terjadi jangan mengeluh, kamu bisa mengajari suami kamu secara perlahan-lahan supaya dia bisa menjadi calon imam yang baik, biarpun mbak lihat sepertinya susah. Tetapi apa salahnya kita mengajari layaknya seperti anak kecil, pasti cepat menangkap omongan orang dewasa." nasihat Ika menyentuh pundak Fani. Adiknya tersenyum tanpa sadar menangis langsung memeluk Ika penuh perasaan pilu, masih menganggap semuanya mimpi buruk untuk Fani dengan kejutan tidak terduga yang dia dapatkan kemarin.
Ika mencoba menguatkan Fani, menghapus air matanya dan menyuruhnya untuk selalu tersenyum dalam keadaan apapun terus hadapi. Biarpun susah, tetapi di balik kesusahan pasti bakalan ada jalan keluar yang diberikan oleh Tuhan tidak mungkin berikan hambanya kesusahan. Memang dasarnya Tuhan tidak pernah menyulitkan hambanya, manusia sendiri-lah yang sering berbelok arah menganggap diri paling benar, tetapi jika sudah salah jalan baru menginggat kepada sang maha kuasa.
"Sudah-sudah, jangan menangis nanti cantiknya hilang. Sebelum berangkat makan dulu, mbak tunggu di meja makan sama mas Bagas" ajak Ika mendapatkan anggukan dari Fani, setelah itu Ika keluar dari dalam kamar meninggalkannya seorang diri.
Baru saja Fani hendak melangkah keluar kamar, dia di kagetkan dengan kedatangan Abas berlari dengan bersemangat masuk dalam kamar. Abas terlihat begitu senang menunjukkan mainan yang berada di tangannya kepada Fani, tersenyum hangat melihatnya.
"Fani! Fani, Abas punya mainan baru!" semangatnya seraya melihatkan mainan mobil yang bisa berubah menjadi Robot.
"Dikasih sama siapa, mas?" tanya Fani kepada Abas tiba-tiba saja menggengam tanganya mengajaknya keluar dari dalam kamar, suaminya membawanya menuju dapur dan menunjuk ke arah seorang pria duduk bersebelahan bersama mbaknya.
"Mas yang kasih, Fani. Kebetulan pas mas keluar kota belikan mainan untuk anaknya teman mas satu kantor, ternyata mereka sedang liburan jadi mainanya mas kasih ke Abas kelihatannya suka sama mainan itu." ujar Bagas menjelaskan kepada Fani baru mengerti. Fani menoleh menatap Abas sedang memainkan mainannya duduk di lantai dapur. Fani terdiam melihat tingkah Abas percis sekali seperti anak berumur 5 tahun selalu ingin tahu dan aktif bergerak.
"Terima kasih, mas Bagas." Fani berterima kasih kepada Bagas hanya menganggukkan kepalanya tidak mempermasalahkan selagi Abas menyukai mainan itu, supaya suami adik Iparnya itu diam sebentar tidak aktif bergerak dari pada jalan kesana-kemari tidak tentu arah.
Bagas bersama Ika sebebarnya merahasiakan sesuatu dari Fani, bahwa tadi selagi Fani berkemas. Abas di luar menggangu Bapak sedang berkebun, karena tidak mau ada keributan, dengan cepat Bagas memanggil Abas menunjukkan mainan tersebut. Abas langsung menerimanya dan berlari masuk kamar Fani, sepertinya ingin menunjukkan mainan yang dia berikan.
Sedang asyik berbicara bersama kakak Ipar dan Mbaknya membahas Abas beserta nanti akan pindah rumah, terdengar suara bunyi klakson mobil tepat berada di depan halaman. Fani segera melihat, memastikan bahwa itu adalah jemputan mereka, benar saja dugaannya tidak salah. Mereka sudah di jemput dan di suruh mempersiapkan semuanya yang sudah masuk dalam koper tinggal berangkat saja.
"Ibu kemana, mbak?" Fani sudah mencari keberadaan Ibunya tidak dia jumpai, sekarang dia bersama Abas sudah bersiap hendak berangkat. Tetapi Fani masih menunggu kedatangan sang Ibu belum terlihat sama sekali, bermaksud ingin menyalami tangan Ibunya berpamitan sebelum berangkat.
Ika bersama Bagas saling menoleh dan kembali menatap Fani tersenyum sebentar. "Ibu pergi kerumah tetangga adakan arisan ibu-ibu, kamu pergi saja dan jangan khawatir. Nanti biar mbak yang beritahu kepada Ibu kalau kamu sudah pergi bersama Abas."
Fani terdiam berwajah murung merasa begitu sedih bahwa Ibunya menghindar darinya, begitu juga dengan bapak. Bapak nya jelas-jelas melihat mereka, tetapi seakan tidak perduli malah asal nyelonong masuk kebelakang.
Ini sudah jalan ketentuan untuknya harus bersama Abas, sudah kewajiban Istri selalu menemani suami apalagi dalam keadaan suaminya sakit seperti ini. Pasti memerlukan bantuan perawatan dan bimbingan, karena Fani mengerti mas Abas pasti tidak bisa melakukan pekerjaan orang dewasa pada umumnya bersama pikirannya juga berubah menjadi polos tidak tahu terhadap apapun.
"Kalau begitu tolong sampaikan kepada Ibu dan Bapak, aku pamitan berangkat. Inyallah nanti aku usahakan sering-sering kemari bersama mas Abas, aku pergi dulu mbak." Fani dengan perasaan kecewa menyalami tangan Ika dan memeluk tubuhnya erat seakan tidak mau mereka berpisah. Ika meneteskan air mata dengan cepat dia hapus dan tersenyum menyemangati adiknya serta menyuruhnya untuk lebih baik segera pergi.
Bagas berada di samping Istrinya, merangkul pundaknya menyuruhnya untuk kuat dan jujur saja. Bagas juga turut merasa sedih, bahwa kehidupan adik Istrinya tidak seindah yang dibayangkan setelah menikah, bukan lah berbahagia, malah penuh dengan kesedihan dan kekecewaan.
***
Perjalanan menuju rumah Ibu mertua, Salma. Fani sibuk dengan pemikirannya sendiri, selalu menoleh kearah luar jendela melihat jalanan yang ramai oleh pengendara melintas lalu lalang, sedangkan Abas begitu asyik mengotak-atik mainan yang diberikan mas Bagas untuknya sebagai hadiah.
Fani beralih menoleh menatap suaminya, menatapnya sendu dan kasihan sebenarnya. Berfikir mau sampai kapan suaminya bertingkah seperti itu, karena sindrom berada di tubuhnya dan ditambah amnesia, membuat dia tidak ingat kejadian apapun.
Apa penyebab suaminya itu kecelakaan?, mau kemana juga dia pergi malam hari. Ataukah ada urusan mendadak di luar pada saat malam kecelakaan itu?.
Fani masih bertanya-tanya tidak ada yang tahu jawaban tersebut, bahkan Sahron juga tidak mengetahui mau kemana terakhir kali suaminya itu pergi sendirian. Tidak lama berakhir mendapatkan kabar kecelakaan, suaminya itu setelah tersadar dari koma selama 1 minggu lebih langsung berubah kepribadian 180 derajat menjadi seperti sekarang ini.
Fani hanya bisa berharap dan berdoa untuk ingatan suaminya segera pulih kembali, supaya dia tahu sebenarnya apa yang terjadi dengan kecelakaam mas Abas masih menyimpan tanda tanya. Semoga saja setelah kembali normal sejatinya, mas Abas tidak menolaknya sebagai seorang Istri karena sudah mengetahui dari omongan orang lain, bahwa mereka menikah mungkin bisa dikataan ketidaktahuan mereka berdua sama sekali.
Fani tidak bisa katakan ini jebakan atau paksaan pernikahannya bersama Abas, dia hanya mencoba ikhlas berserah diri. Fani juga berharap kehidupannya tentram tanpa ada permasalahan berat menggangu kehidupan mereka berdua.
Tidak terasa dalam perjalanan lumayan jauh, mobil yang mereka tumpangi akhirnya sampai juga di tujuan. Supir berada di depan segera keluar duluan membukakan pintu dengan sopan mempersilahkan Abas dan Fani keluar, setelah itu mengeluarkan koper milik Fani berada di dalam bagasi belakang mengikuti mereka berjalan masuk ke teras rumah.
Fani melangkah menaiki tangga teras depan dengan menggandeng lengan kokoh Abas, suaminya itu langkahannya begitu cepat ingin segera sampai keatas, membuat Fani kewalahan akhirnya mengikuti langkahan suaminya. Setelah mereka berdua sampai di atas, tangan Abas bergerak gesit memencet bell berulang kali dan terlihat kesenangan bermain bell.
Dengan cepat Fani menurunkan tangan Abas, suaminya itu menoleh menatapnya heran menatap Fani. Fani menggelengkan kepala mengajari Abas tidak membolehkan bermain bell, karena itu bisa membuat kebisingan orang yang berada di dalam. Abas hanya menganggut, menurut apa yang Fani ucapkan barusan, tetap diam di samping Fani tidak melakukan apapun atau memencet bell lagi.
Secara mengagetkan pintu terbuka secara lebar, menampakkan seorang pria tengah berdiri terdiam kaku diambang pintu menatap Fani. Pria itu dengan nafasnya naik turun dan kening mengkerut seakan tidak percaya apa yang dia lihat sekarang bahwa wanitanya memakai cincin silver yang sama dengan kangmas nya sendiri.
"F-fani???" bibir Farhan bergetar memanggil nama wanitanya, calon Istrinya yang seharusnya dia nikahi hari ini dan semestinya sudah menjadi Istrinya secara SAH. Apa yang Farhan lihat sekarang menganggap masih tertidur pulas dan sekarang, hanyalah mimpi buruk untuknya jika ini adalah kenyataan yang sebenarnya.
Fani sama halnya terdiam tidak bisa mengatakan apapun sudah terlanjur begitu kecewa terhadap Farhan. Pria yang sudah menjalin hubungan dengannya selama 1 tahun, sekarang ini sudah berada di hadapannya menunjukkan jati diri memakai baju Jas acara Akad yang senada dengan kebayanya. Seharusnya nanti mereka bersanding dengan penuh kebahagian, nyatanya semua itu tidak sesuai ekspetasi menjadi kacau seperti ini sebab calon suami secara tiba-tiba saja memutuskan tidak mau menikahinya.
Abas secara mendadak menarik lengan Fani, membuatnya tersentak mau tidak mau mengikuti suaminya setengah berlari melewati Farhan. Farhan masih terdiam di ambang pintu, lalu segera berbalik badan melihat wanitanya di bawa masuk ke dalam kamar Abas, membuat Farhan menggeram marah tidak mengerti sama sekali apa yang terjadi selama dia tertidur. Kenapa secara tiba-tiba semuanya seakan berubah dalam sekejap, begitu menyakitkan perasaannya, sama sekali tidak terima Fani bersama Abas.
Berbalik dengan Fani, wanita berkulit hitam manis itu terdiam berdiri melihat sekeliling kamar luas Abas yang luasnya sekitar tiga kali lipat berbanding jauh dengan kamarnya yang kecil hanya sepetak. Kamar suaminya bernuansa putih bersih senada dengan bedcover tempat tidur berukuran jumbo, membatin mungkin bisa di tiduri dengan empat orang.
Fani terkesima baru pertama kali melihat tempat tidur sebesar itu dan masih banyak lagi benda-benda lain yang berada di dalam kamar Abas tak kalah mewah, tetapi yang menarik perhatian di sebelah kanan bagian pojok sudut tembok terdapat sebuah rak lumayan tinggi berjejer mainan robot-robotan berukuran mungil pas dalam genggaman serta beragam karakter koleksi mainanya.
"Mainanya banyak sekali, mas. Dibelikan sama siapa?" kagumnya melihat-lihat mainan tersebut yang berjejer rapi begitu terlihat menarik saat mata memandang.
"Sahron belikan Abas. Sahron baik tidak suka marah-marah, kalau Farhan jahat dan pelit" kata polos Abas keluar begitu saja, membuat Fani langsung menoleh menatap suaminya keheranan.
"Mas Farhan jahat?" tanyanya tidak percaya.
Abas cepat mengangguk-anggukan kepalanya.
"Iya, Farhan suka kurung Abas dalam kamar tidak boleh keluar kalau ada tamu datang. Farhan juga suka marahin Abas kalau mainannya bertaburan berantakan" ucapnya memberitahukan. Abas terlihat tidak berbohong kepada Fani, membuka bibirnya tidak tahu harus mengatakan apa.
Apa yang di lakukan oleh Farhan kepada kangmas nya sendiri, tidak seharusnya dia perlakukan seperti itu. Suaminya bukanlah orang gila yang harus setiap kali di kurung dalam kamar jika melakukan kesalahan apalagi memarahinya.
Mas Abas hanya mengalami suatu sindrom dan amnesia karena semua itu bisa hilang dengan bantuan keluarga yang terus mendampingi, jika terus melakukan hal buruk termaksud mengurung suaminya dalam kamar. Maka itu bisa berdampak lebih buruk kepada gangguan psikologis atau penyakit kejiwaan, bisa saja mas Abas menjadi gila sungguhan karena jiwanya merasa sakit dan gangguan emosional menyebabkannya seperti orang gila.
"Mas sendirian kalau di kurung dalam kamar?," Fani merasa sedih tidak menyangka kenapa bisa Farhan bersikap seperti itu kepada kangmas nya sendiri, memanfaatkan kelemahannya yang hanya bisa menurut bahkan menerima di marahi.
"Biasa sama Sahron kalau sudah pulang sekolah main sama-sama, tetapi kalau belum pulang Abas main sendirian. Abas bosan tidak ada teman" katanya bersuara pelan dan berekspresi lesu, membuat Fani menghela nafas mengerti sekali bahwa suaminya ini pasti merasa kesepian setiap harinya.
Sembari suaminya itu mengobrol panjang lebar membicarakan tentang mainanya. Fani hanya tersenyum mendengarnya dengan saksama, seraya membantu melepaskan jaket kulit yang suaminya kenakan dan ternyata suaminya berbicara sesuatu kepadanya yang seketika pergerakan tangannya berhenti.
"Fani jangan main dengan Farhan, nanti di kurung sama dia orang jahat." tatapannya serius kepada Fani, mendengarnya hanya tersenyum kemudian menggangukkan kepala menuruti ucapan Abas. Memang pada dasarnya dia tidak akan terlalu dekat seperti dulu bersama Farhan.
Berusaha menjaga jarak, itu lebih baik, karena sekarang Fani sudah menjadi Istri sah Abas, datang kemari bukan menjadi kekasih Farhan. Melainkan sekarang. Fani Kayshila adalah seorang Istri kangmas nya dan berharap Farhan bisa belajar menerima keadaan yang sudah ditetapkan oleh Tuhan, bahwa jalan kehidupan mereka berdua sudah tidak lagi sama.