Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 1

Setelah melakukan persiapan selama berbulan-bulan beserta prosesi Pinggitan Pernikahan adat Jawa teruntuk kepada calon mempelai perempuan. Hari yang paling ditunggu-tunggu oleh Fani Kayshila juga tiba, inilah hari Pernikahannya bersama sang kekasih Farhan Gee Jowandaru, calon suaminya itu akan mengikrarkan sumpah di depan penghulu dan para saksi nikah.

Fani memakai baju kebaya putih, di kenakan saat prosesi Akad nikah. Warnanya yang sederhana namun tetap elegan dan juga baju kebaya tersebut pilihan dari Farhan untuknya, wajahnya di make over oleh salah satu teman Ibunya terpecaya untuk mendandaninya dan hasilnya begitu memuaskan sekali, riasan di wajahnya tidak terlalu tebal bahkan terlihat natural menyegarkan saat mata memandang.

Penampilan Fani sekarang membuat banyak keluarganya pangling saat ingin bertemu sebentar, bermaksud memberikan hadiah bingkisan kepadanya. Sebagian sudah bertemu dan sebagian belum, ada dari beberapa mereka hampir tidak mengenali wanita berumur 24 tahun tersebut, sangking terlihat anggun dan cantik mempesona menarik perhatian siapapun yang melihatnya.

Mendapatkan banyak pujian, memuji penampilan dirinya. Fani tidak meninggi hati, malah merendah diri tersenyum menyalami tangan mereka satu persatu dengan sopan. Menghormati mereka semua dan mengucapkan banyak berterima kasih, malah merasa tidak enak hati mendapatkan hadiah dari keluarganya, yang dia harapkan hanyalah kedatangan mereka memeriahkan di acara Akad hari ini.

Dahulu, semasa di pinggit sampai 1 bulan lamanya. Fani sudah tidak sabar ingin bertemu calon suaminya, Farhan. Tetapi entah mengapa, seketika saja perasaan tidak sabaran itu berganti perasaan yang timbul begitu beragam menggangu pikiran, seperti perasaan gundah maupun resah. Ibunya mengetahui kegelisahannya, mengatakan memang perasaan seperti itu akan muncul saat akan terlaksanan Pernikahan, bahkan juga dalam perasaan keraguan untuk Menikah.

“Acaranya akan dimulai, mari Ibu-ibu silahlan keluar dan duduk di bagian perempuan.” Bibi Uminah masuk dalam kamar memberitaukan hal tersebut kepada keluarga yang lain masih betah di dalam kamar pengantin. Mengajak semua untuk segera keluar, juga mengatakan Bapak penghulu sudah meminta acara pembacaan Ijab Qobul segera terlaksanakan tidak perlu menunda berlama-lama lagi, karena kedua belah keluarga besar sudah hadir semua.

Tinggal lah sekarang Fani berduan bersama sang Ibu yang menemaninya di dalam kamar, mereka saling menunggu selesai pembacaan Ijab Qobul yang akan diucapkan oleh Farhan. Alasan Fani tidak keluar menemui Farhan duduk di sampingnya itu, karena Pernikahan mereka mengikuti syariat Islam saat akad nikah dan berlangsungnya Ijab Qobul sang pengantin perempuan posisinya terpisah dengan pengantin pria, tidak berdampingan. Fani harus menunggu sampai Ijab selesai dan kemudian dia keluar dari dalam kamar menemui suaminya setelah sah menjadi sepasang suami- Isteri.

Mereka menunggu lama, hampir satu jam lebih. Fani dan Rahma begitu penasaran apa yang membuat pengucapan Ijab Qobul begitu lama, atau mungkin yang membuat mereka tidak dengar pengucapan Ijab Qobul dari luar, karena kamar anaknya kedap suara menjadikan tidak mendengar sama sekali-- sebelum Bapak nya masuk ke dalam menandakan Farhan selesai pengucapan dan mereka sudah sah sebagai pasangan suami-istri.

“Ibu cek depan dulu, kamu tungguin di sini” Rahma berdiri lalu berjalan keluar kamar dan di ruang keluarga. Rahma memanggil salah satu adiknya Raya segera datang menghampiri.

“Kenapa mbak?” tanyanya sudah menghadap Rahma.

“Kenapa pengucapan Ijab nya lama sekali?, apa yang terjadi?” Rahma menaruh curiga, sekaligus penasaran. Biasanya, calon pengantin pria jika salah pengucapaan hanya sekali dan kedua kalinya pasti benar, tetapi ini sudah hampir mau dua jam mereka menunggu.

“Pengantin prianya sepertinya gugup, mbak. Ucapannya terbata-bata tidak jelas di minta untuk di ulangi oleh bapak penghulu, besan mbak bilang sekali ini pasti anaknya bisa lancar pengucapan Ijab Qobul nya.” ujar Raya memberitahukan kepada Rahma berbisik pelan takut terdengar oleh keluarga mempelai pria.

Rahma menghela napas dan mengangguk mengerti, setelah itu menyuruh Raya untuk kembali ketempatnya. Rahma tidak menjawab apapun saat adiknya sudah memberitahukan, ternyata masalahnya kepada Farhan, mungkin calon suami anaknya itu terlalu gugup dan menyebabkan salah pengucapan yang seharusnya pembacaan Ijab Qobul harus lantang dan lancar tanpa tersendat-sendat.

“Ada apa bu di luar?” cemas Fani saat Ibunya kembali masuk kedalam. Rahma hanya tersenyum menenagkan putrinya dan duduk di sampingnya.

“Farhan, sepertinya sama seperti kamu begitu gugup sampai pembacaan Ijab tidak begitu jelas. Doa kan saja semoga dia kali ini lancar menjadikanmu Istri.” kata Rahma melihat jelas raut wajah kekhawatiran putrinya, sering kali menarik napas mencoba menenagkan diri berusaha tenang sebentar.

“Alhamdulilah SAH!!” suara serentak semua orang yang datang memeriahkan terdengar begitu nyaring, menandakan bahwa calon pengantin pria telah berhasil mengucapkan Ijab Qobul yang sebelumnya sempat membuat mereka semua gemas kepada si calon pria selalu salah berulang-ulang.

Tetapi untungnya bapak penghulu memberikan sang pria untuk menenagkan diri sebentar, sebelum mengucapkan Ijab dan terakhir kali ini harus benar. Jika masih tidak lancar, bapak Penghulu akan menandakan bahwa calon pengantin pria belum siap untuk Menikah.

Fani bersama Rahma saling berpelukan mendengar kalimat bahagia sekaligus terharu tersebut, membuat perasaan Fani begitu senang dan baru bisa bernafas dengan lega. Pintu kamarnya terbuka lebar, bapak nya masuk kedalam duduk di samping anaknya dan memeluk serta mencium kening putri bungsu nya penuh sayang.

“Selamat nak, kamu sudah menjadi Istri Abas sekarang,” kata Husman begitu tenang, tanpa terduga itu membuat Fani melepaskan pelukan mereka. Fani terperangah kaget menduga bapaknya kemungkinan salah menyebutkan nama suaminya.

“Bapak ini jangan bercanda di saat suasana haru seperti ini, pura-pura lupa nama menantunya sendiri,” tegur Rahma hanya menggangap suaminya itu bercanda yang tidak lucu sama sekali.

Husman berwajah bingung menyentuh bahu Fani. “Ibu salma katakan, kamu dan Farhan sudah putus hubungan. Apa itu benar, nak?” suasana mulai tidak mengenakkan, mereka semua terheran-heran merasa ada yang aneh seperti kejanggalan setelah Akad selesai. Anehnya lagi, kenapa Ibu mertuanya berbicara seperti itu kepada bapaknya.

Fani menggeleng cepat kepalanya.

“Bapak, sebenarnya apa yang terjadi?. Aku masih berhubungan baik bersama mas Farhan, jangan katakan calon suamiku ternyata orang lain?!”

Fani mulai panik dan berperasaan tidak mengenakkan, suaranya sudah bergetar sudah mau menangis menatap wajah Husman membutuhkan jawaban.

“Biar Ibu lihat sendiri ke depan!,” Rahma mulai gusar. Husman malah diam tidak menjawab apapun, dengan cepat Rahma keluar kamar di susul oleh Fani berlari mengikuti Ibunya.

Tirai yang terpajang panjang untuk di jadikan pembatas perempuan dan pria, langsung saja di buka paksa oleh Rahma dengan cara menyentak kasar. Kejutan yang tidak terduga, membuat keduanya tersentak tidak percaya, terutama Fani menutup bibirnya sendiri sangking shock tidak percaya meneteskan air mata dan dadanya mulai terasa sesak. Pernikahannya hanyalah mimpi pahit, bahwa yang menjadi suaminya bukanlah Farhan, melainkan Abas-- kangmas tertua dari kekasihnya.

Rahma langsung naik pitam merasa putrinya di permainkan, bersiap ingin melontarkan perkataan pedas kepada keluarga mempelai pria. Rahma malah terjatuh pingsan tidak bisa menahan kestabilan, karena mempunyai penyakit jantung.

Kejadian ini membuat keadaan yang tadinya tenang bersambut kebahagian, berganti kepanikan beserta adanya keributan saat Husman tiba-tiba saja datang langsung memarahi keluarga besar pria. Keluarga tersebut berbicara halus, menjelaskan secara baik-baik tanpa harus meninggikan suara meladeni Husman.

Pertengkaran tersebut mengherankan tamu hadirin yang hadir, sebagian melerai sebagiannya nyelonong pulang begitu saja meninggalkan pernikahan Fani. Mereka tanpa mengucapkan selamat kepada wanita tersebut sudah berlari masuk dalam kamar sedang menangis histeris.

***

“Kami bisa menjelaskan secara baik-baik, pak Husman. Dengarkanlah penjelasan dari saya sebagai wali bapak Barack, Ayah-nya Abas”

Salah satu keluarga Abas angkat bicara dan mencoba menenagkan Husman yang berusaha mengusir mereka, mereka memilih bertahan dulu sebentar. Tidak mungkin keluarga besar Abas keluar begitu saja tanpa menjelaskan kenapa Abas menikahi anaknya, biarpun bakalan kecewa dan penuh amarah nantinya. Keluarga Abas bakalan menjelaskan secara kekeluargaan, supaya tidak ada kesalapahaman kembali.

Husman sudah terlanjur kecewa kepada pernikahan putrinya tidak berjalan sesuai harapan, malah hancur berantakan. Calon suami ternyata bukan Farhan, melainkan Abas. Husman baru pertama kali ini melihat wajah kangmas tertua dari Farhan.

“Apa?!, apa lagi yang kalian mau jelaskan?!!. Sudah cukup membuat keluarga kami malu dan putri kami juga pasti sangat terpukul, bahwa yang menjadi suaminya ternyata pria masih berpikiran seperti anak kecil!”

Husman sudah menaruh curiga saat mengetahui gelagat tingkah Abas memang berbeda, tidak seperti lelaki normal lainnya. Pertama datang sampai acara selesai, tinggah-nya begitu aneh seperti anak kecil suka-nya tidak pandai diam duduk dengan tenang. Husman menduga dan sangat yakin dari tingkah kelakuan Abas, bahwa dirinya seperti anak yang memiliki gangguan pemikiran.

“Berikan kami waktu sebentar saja, setelah itu kami akan pulang. Sebenarnya, pernikahan ini akan terbatalkan. Farhan memutuskan selang beberpa hari mendekati hari akad ini, secara mendadak tidak ingin menikah bersama Fani. Kami sekeluarga juga kecewa terhadap keputusan tersebut, dengan mudahnya mengambil tindakan dan kami tidak mengetahui apa permasalahan Farhan sehingga tidak mau menikah” Rion menjelaskan secara perlahan kepada Husman supaya tidak kembali emosi. Husman sendiri terdiam menggeram menahan amarah.

“Semua persiapan sudah keluarga kami siapkan dengan sempurna, kalau kita membatalkan pernikahan sudah mendekati waktu mendesak. Keluarga kita dan keluarga bapak Husman bakalan lebih malu, undangan sudah tersebar luas beserta banyak pengeluaran yang bakalan hangus begitu saja. Maka dari itu bapak Husman, Ibu Salma memilih jalan aman menikahkan Abas bersama putri bapak, kalau bersama Sahron tidak mungkin, karena anak itu masih berumur muda dan ingin fokus kuliah,” Rion menjeda sebentar penjelasannya supaya nanti lebih detail Husman mendengarkannya, “kami hanya ingin semuanya menjadi hal yang baik tanpa harus berdebat seperti ini, saya yakin kalau Abas bisa menjadi suami yang baik untuk Fani." jelasnya panjang lebar, mereka sekeluarga menatap reaksi Husman masih terdiam berekspresi sedih akan kehidupan putrinya nanti bersama Abas. Pria yang kelihatan seperti kurang-kurangan.

“Kami memikirkan martabat keluarga kita, saya juga tidak mau menangung malu karena kebodohan anak saya. Maafkanlah dia, nanti saya suruh sungkeman minta maaf kepada bapak dan sekeluarga atas kebodohannya asal mengambil tindakan secara gegabah," Salma baru mengeluarkan suaranya. Salma sedari tadi hanya diam berdiri di samping Abas, anak tertuanya itu celingak-celinguk menatap seliling yang menurutnya tempat baru.

“Besok pagi, supir kami akan menjemput Fani bersama Abas. Mereka tinggal di rumah saya untuk sementara waktu, biarpun sebenarnya Abas memiliki rumah sendiri. Tetapi saya khawatir kalau mereka tinggal berdua, takut Abas malah menyusahkan putri bapak.” sambung Salma.

Husman hanya diam tidak menjawab apapun, tangannya bergerak mengarah keluar halaman meminta keluarga tersebut untuk segera keluar dan tinggalkan rumah mereka. Husman sempat melihat Abas merengek tidak mau ditinggalkan oleh Ibunya, sampai memohon untuk jangan pergi akhirnya di bantu oleh Sahron. Adik bungsunya itu memilih tinggal menemani Abas dan mereka berdua duduk di kursi ruang tamu.

Suasana menjadi begitu hening di selimuti kesedihan, tidak terdengar suara apapun sampai luar halaman. Dalam kamar, Fani berhenti menangis dan mencoba berkali-kali menelfon Farhan ternyata nomernya tidaklah aktif, itu semakin membuatnya bertambah sesak memejamkan mata.

Husman masuk ke dalam kamar, menemukan Fani duduk termenung sambil melihat layar handphone yang terdapat wallpaper diri Farhan yang dia pajang. Husman mengetahui kelemahan dari putrinya, segera merampas handphone tersebut dari genggaman tangannya.

Fani tersentak kaget mencoba mengambil kembali handphone miliknya sudah beralih ke tangan Husman.

“Jangan memikirkan pria tidak malu ini!, bapak sangat menyesal mensetujui hubungan kalian dulu jika tahu akhirnya kamu malah di permainkan oleh keluarga berlagak bermatabat seperti mereka nyatanya kalangan rendahan!!!" marah Husman penuh emosi langsung membanting kuat handphone Fani sehingga layarnya langsung retak, karena terkena tekanan dari lantai.

Tidak ada yang bisa di lakukan kalau bapaknya sudah marah seperti itu, terdiam membisu melihat handphonenya hancur berderai di rusakkan oleh Husman. Fani sendiri tidak melakukan apapun, bahkan enggan memunggut handphone tersebut adalah pemberian dari Farhan.

“Kenapa ini pak?!” Rahma sudah siuman, tadi saat beristirahat mendengar suara hantaman keras membuat Rahma bergegas kemari. Rahma khawatir dan sekaligus takut kalau suaminya Husman malah memukul anaknya.

“Kenapa bagaimana?!, mereka sepertinya mempermainkan putri kita untuk menjadi pengasuh Abas,” Husman begitu marah beralih menatap Istrinya Rahma. Husman meminta pendapat bagaimana jalan terbaik untuk anak bungsunya yang harus menerima takdir menjadi Istri Abas.

Rahma mendekati Fani, Ibu dua orang anak itu mengambil tangan putrinya dan menggam tangannya. “Nak, lebih baik pernikahan ini hanya berjalan sampai satu bulan, selebih itu kamu pisah bersama Abas. Kamu boleh tinggal di sini, tetapi tidak dengan Abas harus tinggal di rumahnya sendiri. Kalian pisah ranjang dan jangan pernah bertemu, anggap saja seperti pinggitan yang pernah kamu jalani. Ibu dan bapak mengharapkan seperti itu” Rahma memberikan saran kepada Fani berharap anaknya itu mau mengikuti jalan keluar yang Ibu nya berikan.

Rahma menoleh menatap Husman, suaminya itu mengangguk setuju. Saran dari Istrinya bisa Husman terima, mungkin itu jalan terbaik untuk putrinya supaya tidak bersangkutan dengan keluarga Abas.

Fani meneteskan air mata, wanita itu menangis tanpa mengeluarkan suara. Menangis sebentar segera menerka air matanya lalu menoleh bertatapan wajah Ibu dan Bapaknya.

“Ibu dan Bapak, dengarkan aku--” perkataan Fani berhenti sejenak, menarik nafas panjang dan tangannya menggengam tangan sang Ibu, “aku paling kecewa di sini, aku hanya tidak menyangka bakalan terjadi hal yang tidak terduga dan tidak berbahagia seperti pengantin lainnya setelah menikah. Aku tersadar akan sesuatu yang membuat aku bahwa tidak seharusnya terus menangis dan menyesal apalagi sampai ingin bunuh diri karena kejadian ini, calon suami aku berbeda”

Fani mencurahkan semua perasaan yang sedang dia rasakan kepada kedua orang tuanya. Berat, semuanya terasa berat untuknya yang harus sebisa mungkin menerima keadaan yang sudah terjadi, karena mau bagaimanapun menolak pernikahan itu sah tanpa rekayasa sama sekali, sejak awal memang seperti itu bukan.

“Aku ikhlas menjadi Istri-nya mas Abas, mungkin ini adalah rencana sang maha kuasa yang terbaik untuk kehidupan aku di jodohkan dengan mas Abas. Mas Abas suami spesial yang berbeda dari suami-suami orang lain.” keputusannya sudah yakin, sambil tersenyum mencoba menyakinkan kedua orang tuanya.

Fani belajar ikhlas dan menerima keadaan suaminya dari segi kekurangan atau kelebihan, karena pernikahan bukanlah sebuah permainan.

Rahma melepaskan genggaman tangan putrinya dan bangkit di hadapan putrinya itu, terlihat dari tatapan Rahma tidak setuju akan keputusan Fani begitu mengecewakan Rahma sebagai seorang Ibu. Rahma ingin kehidupan putrinya selalu bahagia bersama suami pilihannya sendiri, tahu begini seharusnya Rahma menikahkan Fani kepada anak temannya saja yang bekerja sebagai Insinyur mesin.

Nyatanya kehidupan putrinya malah harus seperti ini, bakalan jauh berantakan bersama Abas jelas tidak bisa menafkahinya. Jangankan berfikir ingin menafkahi, menjadi Imam dalam rumah tangga saja tidak bakalan pandai.

“Mau sampai kapan pun, Ibu bakalan tidak merestui kamu dengan Abas. Di mata Ibu dia seperti orang gendeng.” tegas Rahma melangkah pergi meninggalkan Fani. Fani merasa kecewa, Ibunya malah menyamai Abas seperti orang gila.

“Semuanya masih bisa di perbaiki, belum ada kata terlambat jika segera bertindak. Biarlah keluarga kita jadi bahan cemoohan tetangga, yang terpenting kamu lepas menjadi Istri Abas. Bapak tunggu keputusan keseriusan kamu, jangan membuat kami sekeluarga kecewa.” jelas Husman juga tidak setuju akan keputusan Fani menerima Abas sebagai suami, apalagi harus menjadi menantu.

Husman tidak habis pikir bagaimana jalan pemikiran keluarga Abas. Mereka memaksakan kehendak yang seharusnya tidak boleh mereka lakukan menikahkan putranya yang sakit seperti itu, malah lebih mementingkan harga diri. Tidak memikirkan kedepan, kehidupan anaknya dan putrinya nanti.

***

Menjelang malam, Fani keluar kamar mandi setelah selesai membasuh wajahnya dan sudah berganti pakaian santai.

Dia keluar dalam kamar melihat semua keluarga besarnya malah berkumpul di belakang. Fani hanya diam melewati mereka melangkah dan langsung menuju ruang tamu, di sana dia menemukan dua lelaki yang tengah duduk di sofa. Fani membatin, sudah berapa lama mereka duduk di sana sampai hari sudah menjelang malam seperti ini, menyadari kesalahannya telah mengabaikan dua lelaki tersebut.

Fani merasa bersalah kepada dirinya sendiri, untungnya ada Sahron menemani Abas. pantas saja keluarganya mengumpul di belakang, mereka asyik sendiri mengabaikan Abas dan Sahron.

“Mbak?” sapa Sahron bangkit duduk saat Fani melangkah mendekati mereka.

“Maafkan mbak, ini salah mbak terlalu lama di dalam kamar jadi lupa sama kamu dan mas Abas” Fani tersenyum samar walaupun sebenarnya susah sekali, tetapi dia tidak mau terkesan sinis ataupun tidak perduli kepada mereka.

“Aku paham mbak, mbak pasti sedih tangisi mas Farhan dan keluarga kita berdua jadi berantakan seperti ini tidak sesuai ekspektasi seperti keluarga besan yang lainnya baik-baik saja, aku yakin mas Farhan punya alasan lain atau ada orang yang merencanakan semua ini walaupun sebenarnya mas Farhan mau menikahi mbak Fani,”

Perkataan Sahron membuat Fani mengeryitkan

kening tidak mengerti. “Maksud kamu apa, Sahron?” tanyanya butuh penjelasan dari pemuda tersebut.

“Aku hanya beranggapan saja mbak, apa mbak tahu penyakit mas Abas?” Sahron mengalihkan pembicaraan menduga bahwa Fani tidak mengetahui apa yang sekarang tengah di derita suaminya sekarang.

Fani menggeleng pelan tidak tahu secara detail, biarpun Farhan dulu pernah bercerita, tetapi tidak begitu jelas memberitahukannya.

“Mas Abas kecelakaan mobil empat bulan yang lalu, mas Abas mengalami gegar otak dan itu menyebabkan dia amnesia dan Dokter katakan juga dalam dirinya ada suatu sindrom dan itu bukanlah penyakit serius atau mematikan. Sindrom yang dimana bertingkah layaknya seperti anak kecil berusia 5 tahunan, sekarang mas Abas berperilaku seperti itu dan bahkan sempat lupa dengan namanya sendiri, tetapi lama kelamaan mas Abas sudah tahu bahwa namanya Abas dan siapa keluarganya. Itu juga butuh tahapan untuk menjelaskan kepada mas Abas, karena terkadang kembali lupa dengan ingatan apapun, seperti ingatan jangka pendek." ujar Sahron menjelaskan kepada Fani menyimaknya dengan baik berbalik arah menatap Abas terlihat lelah mulai mengantuk sandaran di kursi.

Sahron memberikan kepada Fani apa yang berada di tangannya sedari tadi, mengambilnya perlahan dan melihat ternyata sebuah kotak transparan berukuran mini dan dalamnya berisi pil obat.

“Apa ini Sahron?” tanya Fani keheranan.

“Itu obat penenag mas Abas, mbak. Obat ini hanya untuk berjaga-jaga, kadang kangmas Abas suka ngamuk tidak jelas seperti anak kecil. Jangan keseringan berikan obat ini, kalau kadang sedang kambuh saja, biarpun obat ini kadar rendah tetapi jangan terlalu di biasakan supaya tidak ketergantungan," jeda Sahron sebentar sebelum kembali berbicara, “mbak juga harus ingat, bahwa pola pikiran mas Abas ini memang seperti anak kecil, tetapi tenaganya orang dewasa, sangat berbahaya kalau mas Abas mengamuk dan apalagi memukul mbak.”

Fani menghela napas dan mengangguk mengerti bahwa obat ini adalah obat penenag milik Abas, membuatnya yakin bahwa suaminya sakit sungguhan. Mereka berdua berbincang panjang lebar dan tak lama Sahron berpamitan ingin pulang, tidak lupa memberikan tas Abas yang berisi pakaian ganti untuknya kemudian barulah setelah itu Sahron pulang meninggalkan Abas bersama Fani.

Fani memilih duduk disamping Abas, memandang wajah lelah pria tersebut masih belum berbicara apapun, mencoba perlahan menyentuh tangannya langsung ada pergerakan dari Abas menoleh menatap Fani.

“Mas Abas sudah ngantuk, ya?," Fani bernada lembut berbicara kepada Abas. Abas hanya mengangguk lemah tidak mengeluarkan suara.

“Ayo mas ikut Fani, kita tidurnya di dalam kamar. Jangan di luar sini, banyak nyamuknya.” ajak Fani membantu Abas berdiri dan menggengam tangannya membawanya menuju masuk dalam kamar.

Di dalam kamar, sambil Fani membuka isi tas Abas mengeluarkan baju tidur miliknya dan beserta perlengkapan lainnya.

“Mas, apa tidak gerah pakai baju jas begitu?”

Abas tidak berekspresi apapun, dia sedang asyik mengamati setiap sudut ruangan kamar Fani. Hal yang selalu dia lakukan jika pertama kali berkunjung kesesuatu tempat belum pernah dia masuki, bakalan merasa asing bertingkah seperti itu .

“Apa gerah?,” Abas bertanya balik tidak mengerti perkataan Fani dan pandangannya tetap sama mengarah lain.

“Maksudnya panas, mas. Mas mau mandi?” Fani berdiri berhadapan sambil menunjukkan handuk putih milik Abas, seketika Abas menyudahi melihat-lihat beralih menatap Fani yang menurutnya perempuan asing baru pertama kali mereka bertemu.

Abas hanya menganggukkan kepala bertanda mau, langsung membuka Jas yang dia pakai di bantu juga oleh Fani. Fani mengambil jas suaminya dan kemudian mengepas-ngepas Jas hitam tersebut, setelah itu mengantungnya menggunakan hanger.

“Mas bisa mandi sendiri?” Fani hanya memastikan menatap Abas yang kelihatan seperti ragu, tetapi ternyata berani mengangguk masuk dalam kamar tanpa berbicara. Fani duduk tepian ranjang, seketika ada perasaan kasihan kepada suaminya yang lebih suka diam jarang untuk berbicara hanya menggunakan bahasa isyarat pergerakan dari tubuhnya.

Bagaimana dia bisa mengabaikan mas Abas, apa yang dilakukan oleh kedua orang tua bahkan sampai keluarga besarnya sendiri ikut tidak perduli, harusnya mereka sadar dan tahu bahwa suaminya bukanlah sakit permanen hanya butuh bimbingan dan pengawasan mengajarinya selembut mungkin supaya ingatannya secara perlahan dapat kembali pulih.

Fani sangat yakin bahwa suaminya sekarang ini yang sudah di tetapkan oleh Allah memberikan rancangan kehidupan yang terbaik untuk kedepannya, dan dia juga tidak mau berlama-lama menangisi Farhan yang telah membuatnya kecewa sekaligus patah hati akan sikapnya yang tidak memiliki teguh pendirian untuk mau menikahinya, ternyata hanya menggapnya seperti mainan.

Terbesit rasa penasaran siapakah nama kepanjangan mas Abas, kebetulan sekali dalam tas miliknya ada sebuah dompet hitam berbahan kulit beserta kartu-kartu penting lainnya. Mencari kartu KTP, akhirnya Fani menemukan apa yang dia cari langsung membacanya dalam hati.

Abas Pandu Baskoro, 30 tahun.

Fani bergumam menyebutkan nama mas Abas secara lengkap yang sudah dia ketahui nama kepanjangannya beserta menghitung umur dari tanggal kelahiran, sekarang sudah berumur 30 tahun. Jadi, mereka berdua selisih 7 tahun.

Lama Abas berada di dalam kamar mandi, membuat Fani beranjak berdiri melangkah ke depan pintu kamar mandi mengetuk sekali pintu tersebut.

“Mas, kamu beneran bisa mandi sendiri?” malah membuatnya khawatir, takut ada terjadi sesuatu dengan mas Abas berada di dalam. Tidak mengerti sedang melakukan apa sehingga mandinya lama sekali belum ada tanda-tanda ingin keluar.

“Abas lagi main air, Fani!” sahut Abas lantang dari dalam terdengar jelas oleh Fani mengernyitkan keningnya.

“Jangan main air mas, nanti bisa masuk angin. Keluar ya mas... nanti Fani bantu pakaikan bajunya” bujuk Fani berharap suaminya itu mau mendengarkan apa yang dia katakan, akhirnya pintu kamar mandi terbuka menampakkan diri mas Abas ternyata mau menuruti apa yang dia katakan baru dapat bernafas lega.

Abas keluar masih dalam keadaan basah di sekujur tubuhnya yang terlatih itu, rambutnya bahkan masih meneteskan air seperti tidak dia keringkan menggunakan handuk. Handuknya sendiri malah dia pegang, dengan santainya Abas berdiri telanjang di ambang pintu dan secara tak sengaja terpandang oleh Fani, sontak saja tersentak kaget dan cepat berpaling apa yang dia lihat sekilas barusan membuatnya malu dengan jantung berdegup.

“Fani, Abas kedinginan...” katanya bersuara lirih sembari memeluk tubuh sendiri masih berdiri di ambang pintu. Fani yang mendengar apa yang mas Abas katakan, membuat perasaannya tersentuh kembali menginggat bahwa suaminya bukan lah berfikiran seperti orang dewasa pada umunya. Melainkan seumuran anak kecil masih berpikiran polos tanpa pernah tahu apapun tentang perihal dewasa.

Fani membalikkan badan secara perlahan, pandangannya tidak menatap yang aneh-aneh hanya menatap wajah mas Abas tertunduk tidak saling bertatapan. Berjalan mendekati suaminya lalu menyentuh tangannya dan menuntunya menyuruh suaminya duduk tepian ranjang, mengambil alih handuk milik Abas dari pegangan tangannya.

“Aku minta izin mas, keringin rambut mas” tidak ada jawaban dari Abas memilih diam duduk dengan baik membiarkan Fani mengeringkan rambutnya menggunakan handuk sampai setengah kering, setelah itu Fani memakaikan atasan baju tidur Abas membantunya dengan telaten dan bagian dalaman ternyata Abas bisa memakainya sendiri bersama celana panjang senada dengan bajunya.

Sekarang mereka berdua sudah rebahan di ranjang saling hadap-hadapan memandang satu sama lain, Abas yang tadinya mengantuk sekarang malah segar tidak ada rasa mengantuk lagi karena efek mandi barusan menghilangkan kantuknya.

“Tidak bisa tidur ya, mas?” Fani mengetahui bahwa mas Abas sepertinya tidak bisa tidur, kadang bergerak gelisah kesana-kemari mungkin mencari posisi yang nyaman. Abas menoleh menatap Fani mengangguk iyakan berbaring telentang, sedangkan Fani masih berbaring miring menghadapnya memperhatikan tingkahnya.

“Biasanya kalau tidak bisa tidur mas Abas ngapain?,”

“Main lego sendirian sampai Abas ketiduran,” jawab cepat Abas. Fani tersenyum mendengarnya.

“Mas tidak bawa mainannya?”

Abas menggeleng lemah. “Ibu marahin Abas, padahal Abas mau mainnya disini 'kan banyak teman-teman” katanya terdengar kecewa dan sedikit kesal malam ini berjauhan bersama mainannya yang tersimpan di dalam kamar.

“Besok kita kesana kerumahnya Ibu mas Abas lagi. Jadi, jangan sedih. Cuman semalam ini saja kita tidur di sini" jelas Fani beritahukan kepada Abas seketika langsung saja senang berbalik badan menghadap Fani.

“Fani juga ikut kerumah Abas?!” tanyanya antusias menunggu jawaban Fani.

Fani tersenyum hangat serta mengangguk pelan.

“Iya mas, Fani ini sudah jadi Istrinya mas Abas pasti selalu bersama mas Abas dalam keadaan apapun itu. Fani selalu bersama mas Abas,” Fani mengucapkannya seakan seperti sumpah untuknya selalu setia bersama mas Abas, dia yakin bahwa mas Abas selang beberapa waktu suaminya itu bakalan kembali normal sejatinya.

“Tidur juga sama Abas seperti ini?,”

“Iya mas, tidurnya juga”

Abas tersenyum senang mendengar perkataan Fani barusan. “Abas punya teman main sekarang, kalau begitu besok kita main-mainan punya Abas, iya 'kan Fani?.” ajak Abas bersemangat, membuat Fani tertawa kecil sedikit mengobati hatinya yang sakit terbantu kelucuan mas Abas.

“Iya, tetapi sekarang kita tidur karena sudah tengah malam. Besok subuh Fani harus siapkan semua barang-barang yang belum Fani siapkan.” ujar Fani sekaligus mengajak Abas untuk tidur memejamkan matanya biarpun dia katakan tidak bisa tidur, tetapi malam itu Abas-lah yang tertidur nyenyak bahkan tidurnya tidak beraturan.

Fani memaklumi untuk itu, semalaman dia yang tidak bisa tidur bukannya merasa terganggu karena tidurnya mas Abas, melainkan masih memikirkan Farhan yang sampai sekarang tidak ada kabar sama sekali. Jika nanti mereka bertemu di rumah Ibu mertua, bagaimana seharusnya sikapnya menghadapi Farhan di sana yang tentunya mereka pasti sering sekali bertemu, ini membuat kepalanya menjadi pusing sangat membutuhkan penjelasan dari pria tersebut biarpun bakalan tahu mengecewakan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel