PART 3
Fani tengah sibuk mentata kembali pakaian Abas sekaligus melipatnya supaya kelihatan rapi, tadi saat dia ingin memasukkan pakaiannya di dalam lemari. Tetapi siapa sangka isi pakaian lemari suaminya ada beberapa bagian berantakan mungkin di acak-acak oleh mas Abas saat sedang mencari pakaian.
Abas sendiri sedang duduk anteng bersila kaki sambil menonton televisi film kartun berada di salah satu channel khusus selalu menayangkan film anak-anak, tidak jauh dari tempat Fani berada sedang melipat pakaian. Kebetulan, kamar super luas ini juga tersedia televisi ukuran 65 inch dan juga ditemani sofa abu-abu berbentuk seperti kasur karena bentuknya panjang dan lebar. Sedikit aneh untuk Fani saat melihat-lihat, tetapi sudahlah dia tidak sempat memikirkan keanehan sofa yang menyerupai kasur tersebut, karena kepalanya sudah terisi beragam hal-hal lain sudah membuatnya pusing sendiri.
Selesai merapikan pakaian Abas dan sudah memasukkan pakaiannya di dalam lemari. Fani menghampiri suaminya terlihat begitu serius saat menonton, duduk bersebelahan menyentuh lengan suaminya secara lembut.
“Mas, kamu belum ada makan dari tadi pagi. Sekarang makan dulu, ya?”
Abas hanya ngemil snack kentang sedari tadi tidak ada makan nasi, sekarang sudah menunjukkan pukul 14.12 siang hari dan Fani juga sama sama belum ada terisi makanan di dalam perutnya. Setiba sampai kemari, di rumah Ibu mertua. Fani tidak ada waktu istirahat, datang langsung berkemas-kemas semua barang-barang miliknya supaya nanti tidak kesusahan ingin mengambil sesuatu dan mentatanya dengan baik.
Abas juga tidak ada keluar kamar memilih menemani Fani dan kelihatan dia betah berdekatan selalu bersama Fani, membiarkan dia sesukanya bahkan tidak ada menggangu, karena asyik menonton. Tidak tahu bagaimana nanti jika tidak menonton, sifat nakal Abas bakalan kambuh atau tidak. Fani tidak tahu bagaimana percisnya nanti, berharap suaminya tidak membongkar semua perkerjaannya yang sudah dia susun secara rapi.
Abas hanya mengangguk beranjak duduk mengikuti jalan Fani keluar kamar membawa dia menuju meja makan, mereka melangkah keluar bersama. Fani mencoba mendengar secara teliti suara Farhan, alasannya supaya mereka tidak bertemu kembali, tetapi sayangnya tidak terdengar sama sekali maupun menampakkan dirinya.
Di meja makan, Fani melayani Abas sebaik mungkin. Mengambilkan makanan untuknya dan terdiam duduk bersebelahan mengamati cara suaminya itu makan begitu belepotan dan terburu-buru. Fani mengernyit seraya menggelengkan kepala, dengan cepat menahan tangan suaminya saat hendak menyuap masuk makannya kedalam mulut.
Abas langsung menoleh menatap Fani dengan tatapan susah di artikan.
“Makannya pelan-pelan mas, nanti mas bisa tersedak dan juga makananya tidak tercerna secara baik di dalam perut” Fani menghela nafas mengajarkan Abas supaya makan secara perlahan dan makan harus dikunyah terlebih dahulu jangan asal telan saja.
Fani mengambil dua lembar tissue sudah tersedia di meja makan, lalu melipat tissue menjadi dua bagian setelah itu mengelap setiap sudut bibir Abas membersihkan sisa makanan yang menempel. Abas hanya terdiam tidak mengatakan apapun saat Fani mengelap setiap sudut di bibirnya sampai bersih, setelah bersih Abas melanjutkan makan berusaha teratur sesuai ajaran Fani barusan kepadanya.
Fani mengajari suaminya secara perlahan-lahan bagaimana caranya makan dengan benar, dia juga telaten mengelapi makanan yang menempel di sudut bibir mas Abas setiap kali cara makannya kembali berantakan seperti bayi. Fani mengerti, bahwa mengajari cara yang baik dan penuh perhatian, itu tidaklah cukup sekali, melainkan harus berkali-kali sampai membuat suaminya itu terbiasa.
Mereka berdua melanjutkan makan bersama secara tenang, tetapi ketenangan hanya berlangsung sebentar setelah mendengar suara pecahan benda dari kamar lantai atas ,di tambah suara emosi yang terdengar tidak asing untuk Fani mengetahuinya.
Abas sama halnya seperti Fani, langsung berhenti makan. Abas menoleh menatap Fani terlihat jelas raut wajah khawatir sekaligus penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Apa Farhan marah karena dia menikah bersama Abas dan mengamuk dengan Ibunya?. Fani membatin dalam hati, begitu cemas tidak ingin Farhan bertingkah kelewatan dengan Ibunya sendiri.
“Farhan marah-marah dengan Ibu,” kata Abas masih menoleh menatap Fani, tak lama terdengar lagi suara dobrakan keras pintu kamar. Fani segera bangkit berniat hendak naik keatas melihat keadaan, takut ada sesuatu permasalahan serius.
Tetapi, langkahan Fani seketika berhenti saat melihat Farhan menuruni tangga dengan wajah menggeram, beruntung tidak melihat keberadaan Fani yang berada di samping tangga. Lelaki itu sepertinya sangking tersulut oleh emosi berjalan berlalu keluar rumah begitu saja, tanpa sadar di perhatikan oleh Fani melihat kepergiannya.
Fani bergegas menaiki tangga ingin memastikan keadaan Ibu mertuanya, sesampainya di sana Fani menemukan Ibunya sedang memunguti serpihan vas bunga kaca sudah berserakan berderai di lantai
“Biar Fani saja bu yang bersihkan” Fani menawarkan bantuan dan langsung ikut berjongkok membantu mengambil serpihan tersebut. Tetapi, lengannya di dorong oleh Salma, membuat pergerakan tangan Fani terhenti.
Salma masih memungut pecahan vas bunga tanpa menoleh sekalipun ke arah menantunya. “Tidak perlu, hal kecil seperti ini tidak memerlukan bantuan. Lebih baik kamu mengurusi Abas saja sana,”
“Tidak apa, bu. Mas lagi makan di bawah”
Salma mendengkus menoleh menatap menantunya. “Apa kamu tidak mendengar apa perkataan Ibu barusan?, kamu juga meninggalkan suami kamu sendirian di bawah?. Nanti kalau dia keluar keluyuran bagaimana?, ada menyusahkan saja.” nada Salma terdengar seperti tidak suka, menyuruh Fani untuk segera keluar dari dalam kamarnya meninggalkannya sendian.
Fani menarik napas dan mengangguk pelan,bardiri dan membungkuk sedikit menghormati Salma. “Iya, bu. Kalau ada apa-apa Ibu bisa panggil saya, kalau begitu saya turun kebawah.” tidak ada jawaban dari Salma. Fani segera melangkah keluar dari kamar Ibu mertua dan kembali menuju dapur, bersyukur dan bernapas lega sekali bahwa di sana masih ada suaminya sedang menunggu duduk dengan tenang.
***
Malam hari, Fani menemani Abas bermain mainanya di dalam kamar. Fani hanya duduk melihat suaminya itu bermain sendiri bahkan mengobrol sendiri merasa memiliki teman imajinasi. Fani duduk termenung memikirkan keadaan Farhan yang dimana sampai menjelang malam, pria itu belum pulang kerumah dan sebenarnya kemana Farhan pergi saat sedang marah seperti itu.
Di satu pihak, Fani kasihan terhadap Farhan pasti begitu frustasi melihat calon Istrinya memilih Menikah bersama kangmas nya sendiri bukan bersamanya. Kemudian di lain pihak, Fani begitu teramat kecewa sekali dengan Farhan bahkan rasa kecewanya sudah tidak bisa dia ungkapkan ke pria tersebut.
Membencinya sangat menyusahkan untuk Fani, karena menggingat Tuhan tidak suka sesama manusia saling membenci apalagi tidak saling bertegur sapa. Fani menghela nafas kasar, jika memikirkan jalan kehidupannya begitu rumit selagi bisa bertemu Farhan di rumah ini, bisa membuka kembali kenangan manis bersamanya dahulu dan itu membuat Fani kesusahan untuk tidak memikirkan dirinya.
“Fani, Abas haus...” Abas mengeluh kehausan, tenggorokannya terasa kering setelah bermain meminta minum kepada Fani, tersadar dalam lamunan segera berdiri.
“Fani ambilkan air minum dulu mas,” kata Fani segera melangkah keluar kamar tidak lupa menutup kembali pintu kamar berjalan menuju dapur. Sesampainya di dapur, Fani mengambil botol air minum ukuran besar supaya nanti malam tidak bolak-balik kembali ke dapur mengambil air putih untuk mas Abas dan satu gelas untuknya.
Ketika hendak berbalik badan ingin kembali masuk dalam kamar, tiba-tiba saja tubuh Fani menegang mendapatkan sebuah pelukan dari arah belakang. Fani dapat merasakan kedua tangan kokoh itu memeluk tubuhnya begitu erat, seakan menandakan teramat rindu kepadanya masih belum enggan melepaskan.
“Sayang, kenapa jadi seperti ini? Katakan kepada mas. Apa salah mas sama kamu dan keluarga kamu?, kenapa mereka memarahi mas begitu bencinya mereka dengan mas” suara Farhan terdengar lirih menenggelamkan kepalanya di cekungan leher Fani. Farhan juga menghirup aroma tubuh wanitanya yang tercium harum menyegarkan memabukan kepala Farhan menjadikannya betah seperti ini.
Fani berusaha melepaskan pelukan Farhan, tetapi tenaganya terlalu kuat dan bersikeras tidak mau dia lepaskan biarpun Fani berontak dalam pelukannya.
“Mas, lepaskan!. Tidak baik di lihat orang rumah, nanti mereka bisa berfikir yang tidak-tidak tentang kita. Asal kamu tahu mas, keluarga aku sangat pantas marah sama kamu bahkan aku sendiri membencimu!” Fani sangat merasa risih, sekuat tenaga mencoba melepaskan pelukan Farhan dan bakalan segera menjauh dari lelaki tersebut.
Farhan langsung melepaskan pelukan dan beralih menyentuh kedua pundaknya membalikkan tubuh wanitanya, meminta mereka untuk saling bertatapan mata.
“Kamu masih kekasih mas, Fani!. Biarlah orang rumah tahu bahkan orang luar sekaligus bahwa kamu kekasih Farhan. Mas sama sekali tidak membatalkan pernikahan kita!, apalagi tidak mau menikahimu. Mas sungguh mencintai kamu dan kenapa malah Abas yang menjadi suamimu?!, harusnya itu adalah mas. Mas berhak memiliki kamu!” Farhan kembali terlihat emosi, tetapi dia berusaha mereda emoainya, karena tidak mau membuat wanitanya ketakutan.
Farhan sama sekali tidak mau membentak apalagi menunjukkan bawa dia marah sekali, karena mereka batal menikah. Maafkanlah dirinya dan semua ini, karena terlanjur jatuh cinta kepada Fani, tidak ingin wanitanya di miliki orang lain.
Fani hanya bisa terdiam membisu, meneteskan air mata seraya menurunkan perlahan kedua tangan Farhan di lengannya serta melihat pria itu sudah seperti orang frustasi meremas rambut kepalanya sendiri dan sama juga menangis.
Cinta tulus mereka kenapa harus berakhir seperti ini?.
“Belajarlah ikhlas, mas. Aku berusaha menerima takdir yang telah digariskan oleh Tuhan, aku juga yakin suatu saat mas bisa membuka hati untuk wanita lain yang mas cintai dan hidup berbahagia. Sudahlah mas, seharusnya kita jangan bersedih seperti ini, karena sudah tidak ada gunanya dan tidak ada yang bisa melawan takdir” ujar Fani berkata pelan menasehati Farhan menatapnya lekat bermata merah dan tak lama malah tertawa kecil.
“Bukan sayang, ini bukan takdir namanya. Tuhan tidak mungkin melakukan hal ini, karena dialah yang mempertemukan kita berdua dan yang memisahkan terdapat beberapa kejanggalan. Itu adalah perbuatan seseorang, mas tidak terima jika ini dikatakan sebagai takdir, ada jalan lain untuk kita bersatu kembali” senyum misterius Farhan mengelus pipi lembab Fani dan bahkan Farhan sudah tidak tahan ingin menyambar bibir menggoda tersebut.
Farhan mengumpat kasar, memikirkan kangmas nya itu pasti akan melakukan yang tidak-tidak kepada wanitanya dan semakin membuatnya membenci Abas.
Fani menggeleng pelan tidak percaya apa yang Farhan ucapkan, kenapa begitu yakin tidak percaya apa itu yang namanya tadir. Bahkan sekarang takdir sudah ada di depan mata, contohnya saja mereka berdua yang terpisahkan dan bertemu menjadi kakak ipar dan adik ipar.
“Mas!, kita harus menerimanya dengan lapang dada. Aku masih bisa jadi teman kamu mas, tetapi kita tidak bisa dekat seperti dulu. Aku mohon mas, kamu mengerti bahwa kita tidak bisa bersama-sama lagi” setelah mengatakan kalimat tersebut. Fani mencoba melangkah pergi meninggalkan Farhan sambil membawa botol dan gelas di genggaman tangannya untuk suaminya pasti sudah menunggu sedari tadi.
Farhan berbalik badan melihat punggung kepergian Fani dan berkata sesuatu. “Mas tidak butuh status pertemanan, Fani. Mas mau kita berstatus sebagai suami-istri!.” pertegas Farhan, nyatanya tidak membuat langkahan Fani terhenti ataupun berbalik badan.
Fani hanya memejamkan mata mencoba bertahan serta menarik napas menenagkan diri, setelah itu kembali melangkah masuk dalam kamar meninggalkan Farhan. Farhan menggeram mencampakkan keras gelas kaca begitu saja, tidak perduli menimbulkan suara bising tengah malam.
Dari gelas pecah tersebut,seperti itulah kekecewaan Farhan. Bagaikan serpihan gelas begitu meremukkan hatinya, tetapi bukan Farhan namanya kalau mundur begitu saja. Farhan berjanji, harus bisa mendapatkan Fani bagaimanapun caranya dari kangmas yang sindrom, tidak akan bisa melakukan apapun termaksud untuk membahagiakan wanitanya.
***
Fani masuk dalam kamar menghampiri Abas berbaring di ranjang sambil memeluk guling, melihat kedatangan Fani mendekat. Abas dengan sigap bangun duduk tepian ranjang menerima segelas air putih yang diberikan oleh Fani.
Abas meneguk habis segelas air putih dan memberikan kembali gelas kosong tersebut kepada Fani meletakkannya di atas nakas.
“Fani, ayo bobo sama Abas” ajak Abas sudah kelihatan mengantuk menggengam tangan Fani yang tengah berdiri, sedangkan Abas masih duduk tepian ranjang. Fani mengganguk iyakan menaiki ranjang berbaring di samping Abas.
Malam ini Abas terlihat tidak bisa tidur seperti malam kemarin. Fani tersadar membuka matanya mendapati suaminya masih segar sambil bermain sendiri melihat-lihat mainanya. Fani menggangkat kepala menyentuh tangan Abas langsung menoleh menatapnya.
“Kenapa belum tidur, mas?” Fani keheranan. Abas berbalik badan berhadapan dengan Fani dan dia terlihat aneh berwajah binggung seperti memikirkan sesuatu, tetapi tidak berani beritahukan kepada Fani.
Abas hanya menggeleng lemah dan memejamkan mata berusaha untuk tidur, beberapa menit bertahan matanya terbuka lagi mendengar suara Fani yang sedang berbicara kepadanya.
“Sini mas, tidurnya dekatan dengan Fani.” senyum manis Fani merentangkan kedua tangannya meminta Abas untuk memeluk tubuhnya. Abas dengan cepat bergerak langsung memeluk tubuh Fani, baru inilah Abas berani memeluk tubuh wanita yang beberapa hari ini terus bersamanya dan dengan berbaik hati mau berikan elusan supaya dia terlalap tidur.
Abas mencium dan mengendus-ngendus tubuh harum Fani, merasakan harum manis semakin Abas mendusel-duselkan hidunya yang mancung mencoba mencari kehangatan dan memerdalam wajahnya menutup di dada Istrinya Fani yang Abas anggap seperti mainan untuknya.
Tiada henti tangan Fani terus mengelus pundak dan kepala suaminya, mengelusnya lembut mencoba mengabaikan rasa kegelian dari apa yang suaminya itu lakukan. Bahkan Fani merasakan tangan kasar suaminya mencoba mengelus lembut tanpa protes sama sekali memilih diam membiarkan dan beruntung hanya sebentar, setelah mendengar suara dengkuran halus Abas ternyata sudah terlelap tidur meringkuk memeluk erat tubuhnya.
Melihat suaminya tertidur, Fani menatap lekat wajah Abas. Secara dilihat-lihat begitu jelas, wajahnya begitu tampan sama tampan seperti Farhan. Terdapat sesuatu yang lebih menarik perhatian dari Abas, yaitu ukiran wajahnya yang tegas dan tatapan matanya mendalam--- ada sisi tegas dan manjanya terkadang. Rambutnya hitam lebat seperti sudah lama tidak di pangkas, memiliki jambang serta kumis di wajahnya yang rupawan.
Fani tersenyum kecil mengamati bibir Abas, bibir bawahnya ada bentuk belahan sangat jarang di dapatkan oleh lelaki lain. Menghela nafas, Fani berusaha membuka hatinya untuk Abas dan akan selalu menjaganya selama suaminya masih seperti ini dan dia akan mencari tahu sendiri penyebab suaminya bagaimana bisa kecelakaan dan masa lalu suaminya saat dia masih dalam keadaan sadar.