Suamimu Ganteng
"Lhoh, kok Bu Tejo belanja sayur sendirian? Menantunya yang cantik itu mana?" tanya Bu Surti sambil memilih sayuran.
"Iya, Bu. Saya juga pengen kenalan. Kemarin waktu menikah kan cuma lihat sekilas doang." Bu Juju menimpali.
"Ada di rumah," bohong Bu Tejo, pura-pura sibuk memilih ikan dan sedikit menyingkir dari kerumunan ibu-ibu yang hobby ghibah itu.
"Masa sih? Saya tadi kok lihat menantunya Bu Tejo pagi-pagi sudah naik mobil sama Dimas. Bajunya rapi sekali, seperti orang yang mau pergi ke kantor," kata Bu Sumi berapi-api. Sedangkan yang lain menyimak dengan khusyuk.
"Menantu jaman sekarang memang begitu. Maaf lho, Bu Tejo. Bukannya saya ikut campur. Tapi, Dimas itu kan jabatannya tinggi to di kantor. Untuk apa istrinya capek-capek bekerja? Seharusnya kan dia menemani ibu mertuanya di rumah. Iya kan, ibu-ibu?"
Hampir semua yang berkerumun di tukang sayur itu mengangguk setuju. Tentu saja kecuali Bu Tejo. Telinganya panas, padahal baru sehari Anjani pindah ke rumahnya, tapi sudah jadi bahan ghibah.
Buru-buru Bu Tejo menyelesaikan ritual belanjanya. Dengan malas dan dongkol, akhirnya ia hanya mengambil satu bungkus cabe merah dan juga tomat satu bungkus.
Hari ini, dia berniat membuat sambel yang pedes. Biar orang seisi rumah ikut merasakan, bagaimana panas hatinya pagi ini.
Buat apa punya mantu cantik, tapi nggak bisa diandalkan!
Setelah berbasa-basi sebentar dengan ibu-ibu yang lain, Bu Tejo melangkah pergi dengan perasaan jengkel bukan main.
Sesampainya di rumah, Bu Tejo masih saja merasa kesal. Bahkan, setelah ia meneguk air es di dalam kulkas, perasaan kesal itu belum juga luntur.
Nanti malam, dia harus bicara serius dengan Dimas. Walau bagaimanapun, dia adalah ibunya. Putra satu-satunya itu pasti mau mendengar apa permintaannya.
***
"Waaah, ada pengantin baru, nih! Auranya itu lho, beda," celutuk Dita. Teman satu kantor Anjani, sekaligus tong sampah baginya.
Dita adalah satu-satunya orang, yang Anjani percaya untuk menumpahkan semua uneg-uneg yang mengganjal di dalam hatinya.
"Aura apa? Awur-awuran!" Anjani menanggapi dengan wajah sewot. Gadis itu sama sekali tidak tertarik untuk membicarakan masalah pernikahan.
Rasa-rasanya, ia ingin menghilang saja dari muka bumi ini. Tapi nanti ibu bagaimana? Anjani tak mungkin meninggalkan ibu dalam kesedihan seorang diri.
"Gimana rasanya nikah, An?" Dita mulai kepo. "Kata orang, nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bener nggak, sih?" Gadis itu menggeser kursinya, agar lebih dekat dengan kubikel Anjani.
Dita berharap, Anjani mau berbagi pengalaman dengannya. Maklum saja, Dita ini termasuk golongan jomblo akut.
Pengennya sih buru-buru menikah juga. Tapi sama siapa? Calon saja ndak punya!
Ngenes.
"Bener, sih. Memang nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata," sahut Anjani.
Dita menopang dagu, menyimak ucapan sahabatnya dengan kening mengerut. "Maksudnya?"
"Pokoknya ruwet, kayak benang kusut." Anjani ngedumel sendiri, bad mood.
"Masa habis menikmati malam pertama kok langsung ruwet? Apanya yang ruwet?"
"Nggak tau, deh. Pusing aku," keluh Anjani, memijit pelipisnya dengan sebelah tangan.
"Jangan bilang kalau kamu masih mikirin Henry," tebak Dita.
Bingo!
Ucapan Dita benar-benar tepat sasaran.
Anjani berpaling, berusaha menyembunyikan raut wajahnya yang membenarkan ucapan Dita barusan.
"Suamimu itu ganteng lho, An. Bisa kubilang, Dimas itu hampir sempurna sebagai suami. Memangnya kamu mau cari yang bagaimana lagi?" Dita tiba-tiba pasang wajah serius.
Kalau sudah begini, segala macam nasehat akan keluar dari mulutnya.
"Tapi aku nggak cinta sama dia, Dit."
"Bukan nggak cinta, tapi belum. Kamu kan menikah baru hitungan hari, ya mana bisa langsung cinta. Kalau aku sih mungkin aja, apalagi dapat suami yang modelnya seperti Dimas itu."
Seketika Anjani menatap Dita tajam.
"Maksudku, aku juga kepingin dapat jodoh yang ganteng, baik, sholeh seperti Dimas," ralat Dita sebelum Anjani menerkamnya.
"Aku takut bikin Dimas dan ibu kecewa, Dit. Apalagi ibu, beliau berharap lebih pada pernikahan ini. Sedangkan aku ...."
"Pagi, Anjaniiiii! Ulala, aroma pengantin baru nih! Udah berapa hari nggak ketemu, Say? Makin bersinar aja kamu, An. Syantiiiik!" seru Nico, yang lebih suka dipanggil Nince.
Salah satu desaigner ternama, pemilik butik tempat Anjani bekerja.
Jemari Nince yang lentik dengan kuku tertutup kutek berwarna peach itu menjawil dagu Anjani sekilas.
"Anyway, tadi kamu diantar sama Mas Dimas, ya? Haduuuh, nyesel deh eike nggak berangkat pagi-pagi. Lumayan kan, pemandangan indah bisa lihat Mas Dimas yang gemes ituuu!" Nince meremas kedua tangannya gregetan, membuat Anjani dan Dita saling tatap dalam diam.
Mereka berdua hanya tersenyum mendengar ocehan bos yang sudah seperti ibu bagi karyawannya itu.
Nince adalah salah satu bos yang sangat mengayomi semua karyawannya. Mulai dari asisten desaigner seperti Anjani dan Dita, sampai para penjahit dan semua yang terlibat dalam butik maupun di gudang produksi.
Perawakannya yang tinggi besar dengan kebiasaannya yang memakai outfit on fashion, membuat penampilannya nampak sangat mencolok.
Walaupun begitu, Nince sangat dicintai oleh semua karyawannya, termasuk Anjani yang sangat menghormati sekaligus kagum dengan semua hasil desain Nince sebagai seorang fashion desaigner.
"Gimana, An kado dari aku? Cucok, kan? Udah dicoba belum?" bisik Nince sambil mengedipkan sebelah matanya penuh arti.
Seketika Anjani begidik ngeri mengingat kado yang diberikan oleh bosnya itu saat hari pernikahan.
Bagaimana tidak, Nince benar-benar niat sekali mengerjainya. Anjani sempat merasa sangat penasaran saat membuka kado dari Nince.
Kado yang terbungkus rapi dengan kertas berwarna merah muda itu, ternyata berisi dua buah lingerie dengan model yang sangat terbuka.
Bahkan, Anjani tak sanggup untuk melihatnya. Apalagi kalau harus memakainya di depan Dimas.
Astaga! Hanya membayangkannya saja membuat wajah Anjani berubah merah karna malu.
"Udah dipakai belum?" Nince mengulangi pertanyaannya.
"Eum ... masih dicuci," jawab Anjani sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Sedangkan Dita hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, merasa penasaran dengan apa yang ada di dalam kado yang diberikan oleh Nince pada Anjani.
Sepertinya sesuatu yang special. Pikir Dita, sedikit merasa iri.
"Apaan sih isinya, An?" bisik Dita setelah bosnya yang gemulai itu melenggang pergi.
"Baju tidur," sahut Anjani.
Dita mencebik kecewa, "Ooh, cuma piyama."
"Bukan piyama."
"Trus apa?" Dita mengangkat kedua alisnya, merasa tidak paham.
"Lingerie," sahut Anjani dengan suara rendah yang disambut gelak tawa Dita.
Saking hebohnya, Dita sampai terbatuk-batuk karna tersedak ludahnya sendiri.
"Gila ya si bos. Niat banget," seru Dita, setelah tawanya reda.
Anjani hanya tersenyum, lalu mulai mengeluarkan beberapa sketsa dari dalam tas kerjanya.
Ddrrrttt!
Tiba-tiba ponsel Anjani bergetar. Buru-buru gadis itu menjawab, karna di layar ponsel tersebut muncul nama ibu mertuanya.
"Halo, Bu?"
"Nanti kamu pulang jam berapa?"
Anjani tak langsung menjawab. Gadis itu celingukan sebentar sebelum melirik arlojinya.
"Kenapa ya, Bu?"
"Jangan malam-malam. Kalau bisa, kamu sudah ada di rumah sebelum Dimas pulang."
"Oh, iya, Bu. Anjani usahakan, kalau nggak banyak kerjaan, pasti ...."
"Di rumah juga banyak kerjaan," potong Bu Tejo cepat. "Ibu mau kamu bantuin nyiapin makan malam."
"Tapi, Bu. Sepertinya Anjani pulang bareng Dimas nanti," sahut Anjani pelan.
"Kok bareng? Seharusnya kamu sudah ada di rumah sebelum suamimu pulang dari kantor," suara Bu Tejo mendadak meninggi.
Anjani diam sesaat. Berpikir.
"Baik, Bu. Nanti Anjani bilang dulu sama Dimas, biar nggak usah jemput ke butik," ujar Anjani pasrah.
"Yowes kalau gitu. Ibu tunggu di rumah."
Klik!
Telpon di matikan, bahkan sebelum Anjani membalas ucapan ibu mertuanya.
Dita yang sejak tadi memperhatikan mimik wajah Anjani yang berubah murung, tiba-tiba merasa penasaran.
Gadis itu kembali mendekat, mengetuk kubikel Anjani dengan ujung pulpen.
Saat Anjani menoleh, Dita menaikkan kedua alisnya dan bertanya 'ada apa' tanpa suara.
Namun, Anjani hanya menggeleng sambil mengibaskan sebelah tangannya, memberi isyarat pada Dita, bahwa dia baik-baik saja.
Sepertinya Anjani baru sadar, bahwa keputusannya untuk tetap bekerja setelah menikah, telah memantik amarah ibu mertuanya.
***