Jangan Terlalu Berharap
Aku bisa membuatmu, jatuh cinta kepadaku.
Meski kau tak cinta kepadaku.
Beri sedikit waktu,
biar cinta datang karna telah terbiasa ...
(Dewa 19 - Risalah Hati)
***
Lirik lagu risalah hati milik dewa 19, yang mengalun lirih lewat audio mobil yang dikemudikan oleh Dimas, membuat Anjani merasa sedikit tersindir.
Dia memang tidak mencintai suaminya, tapi tak semudah itu juga untuk membuatnya jatuh cinta pada Dimas. Lelaki itu sebaiknya bersiap untuk patah hati, dan juga berusaha lebih keras lagi untuk mengambil hati Anjani.
Butuh waktu 45 menit perjalanan menggunakan mobil, untuk sampai ke rumah Pak Tejo.
Empat puluh lima menit yang bagaikan ratusan purnama bagi Anjani.
Hanya berdua saja dengan Dimas di dalam mobil, membuatnya sedikit canggung. Padahal, mereka berdua kan sudah sah menjadi suami istri. Mau ngapain juga nggak masalah, nggak berdosa, justru berpahala.
Gadis itu tetiba teringat wajah ibu saat berpamitan tadi. Kelihatan sekali ibu sangat bahagia, meski putri satu-satunya harus pergi meninggalkan rumah dan mengikuti suaminya.
Ada kelegaan yang tak bisa disembunyikan. Ada rasa syukur yang berkali-kali terucap. Haruskah Anjani berterimakasih pada Dimas? Karena dialah sebenarnya sebab dari kebahagiaan ibu?
Dimas adalah sosok menantu yang ibu idamkan sejak dulu. Baik, sholeh dan juga sopan santun terhadap orang tua.
Ibu yakin betul, bahwa Dimas bisa menjaga Anjani dan menjadi imam yang baik dalam menjalani biduk rumah tangga.
Tapi apa boleh buat, hati Anjani tak bisa berbohong. Walau bagaimana pun rupa dan perilaku Dimas, dalam hati Anjani tak ada perasaan apa-apa.
Bahkan, terkadang hatinya masih bertanya-tanya, dimanakah gerangan Henry berada?? Sungguhkah ia sudah melupakan dirinya?
Anjani bukan berharap akan kembali pada Henry, namun kebersamaan selama bertahun-tahun tak bisa dihapusnya begitu saja.
Sungguh berat bagi Anjani menerima seseorang yang benar-benar baru untuk memasuki hatinya.
Tak akan semudah itu.
***
"Dimaaas! Alhamdulillah, kalian sudah pulang. Ibu nungguin dari tadi," seru Bu Tejo heboh, saat melihat Dimas dan Anjani berjalan memasuki rumah. "Sini-sini masuk. Ibu siapkan masakan buat kalian. Pasti lapar kan?"
Anjani berjalan pelan dibelakang Dimas. Ini kali kedua ia masuk ke rumah mertuanya. Yang pertama, saat ia dan keluarganya berkunjung untuk mengembalikan lamaran. Lebih tepatnya sih silaturahmi sebelum pernikahan.
"Bapak mana, Bu?" tanya Dimas menggeser kursi untuk Anjani.
"Ada, tadi mau mandi dulu kayaknya. Habis dari peternakan. Masih bau," ucap Bu Tejo sumringah. "Ibu panggil bapakmu dulu ya."
Dimas menoleh ke arah Anjani saat ibunya sudah melenggang pergi ke belakang. "Mau ganti baju dulu? Atau ...."
"Nggak usah," jawab Anjani cepat sambil mengedarkan pandangan, melihat begitu banyak hidangan di atas meja makan mertuanya. Tapi, tak satupun yang bisa menggugah selera makannya.
"Ayo-ayo, kita makan dulu. Habis itu kalian boleh istirahat. Pasti capek kan habis acara kemarin," kata Bapak yang baru muncul dari dalam kamar.
Dimas berinisiatif mengambilkan piring untuk Anjani, hendak mengisinya dengan nasi dan lauk pauk secukupnya.
Melihat adegan itu, Bu Tejo tiba-tiba mengernyit.
Aneh.
Kenapa bukan Anjani yang melayani Dimas? Kok malah terbalik. Ah, mungkin Anjani masih malu. Ini kan hari pertama Anjani pindah ke rumah mertua.
Pikir bu Tejo mengenyahkan rasa curiganya.
Setelah selesai makan malam. Dimas dan Anjani langsung pamit untuk istirahat ke kamar.
Sebenarnya Anjani sedikit tidak enak juga, masa baru datang langsung makan, habis selesai makan langsung tidur.
"Gimana kalau ibumu menganggapku sebagai mantu yang nggak punya sopan santun?" ucap Anjani, saat mereka berdua sudah berada di dalam kamar.
"Nggak mungkin. Ibu pasti mengerti," sahut Dimas kalem, lengkap dengan senyum manis seperti biasa.
"Aku penasaran, kok bisa bapak dan ibumu merestui keinginanmu untuk menikahiku. Apa mereka tau yang sebenarnya?"
Lagi-lagi Dimas tersenyum, lalu naik ke atas kasur. Menatap Anjani lekat-lekat.
"Mereka hanya tau bahwa anaknya sangat mencintai gadis ini." Dimas menunjuk hidung mancung Anjani. "Mereka juga percaya, bahwa pilihan anaknya tak pernah salah," sambungnya, membuat Anjani tertawa getir.
"Bagaimana kalau ternyata pilihan kamu salah? Bagaimana kalau ternyata aku bukanlah perempuan baik-baik seperti bayangan kamu selama ini?"
Dimas terdiam sesaat, namun tatapannya belum lepas dari wajah cantik istrinya.
"Aku nggak tau, jalan yang kupilih untuk menikahimu itu benar atau salah. Jadi, yang bisa kulakukan hanyalah berserah dan bertawakal pada Allah, dengan berusaha menjadi suami yang baik buat kamu."
Anjani tertunduk, memainkan selimut yang menutupi kedua kakinya.
"Tapi, jujur saja aku masih belum bisa menerima pernikahan ini, Dim. Jadi, kamu jangan terlalu berharap padaku."
***
"Lhoh, kok sudah rapi kamu, An?" tanya Bu Tejo saat melihat menantunya sudah berpakaian rapi layaknya seseorang yang akan pergi bekerja.
"Iya, Bu. Anjani mau masuk kerja lagi. Nggak enak kalau kelamaan cuti."
"Lhoh, kok masih kerja? Dimas belum bicara sama kamu, to?"
"Bicara apa ya, Bu?" tanya Anjani tak paham dengan ucapan mertuanya itu.
"Kamu itu seharusnya berhenti bekerja. Sudah di rumah saja, mengurus suamimu. Bukankah tugas istri itu mengurus rumah dan suaminya?" kata Bu Tejo menasehati.
"Dimas nggak pernah bilang begitu, Bu. Lagipula, Anjani memang masih mau bekerja, masih banyak hal yang ingin Anjani capai."
"Tapi ...."
"Bu, sudahlah," terdengar suara Dimas yang baru saja keluar dari dalam kamar, lengkap dengan kemeja kerjanya. "Dimas sudah bicara dengan Anjani, dan Dimas menyetujui kalau Anjani tetap bekerja setelah menikah."
"Maksud kamu? Ibu ndak paham," kata Bu Tejo dengan nada jengkel.
"An, kamu tunggu di mobil, ya. Biar aku bicara dulu sama ibu," kata Dimas pada istrinya.
Anjani mengangguk setuju, lalu melangkah pergi keluar rumah. Setelah memastikan Anjani tak terlihat, barulah Dimas angkat bicara.
"Mau bicara apa?" tanya Bu Tejo dengan wajah cemberut. Kebahagiaannya memiliki mantu yang bisa menemaninya di rumah, memasak berdua, ngobrol berdua, sirna sudah.
Buat apa Dimas buru-buru menikah kalau istrinya tiap hari pergi pagi pulang malam?
"Dimas tau ibu marah, tapi seharusnya ibu marahnya sama Dimas bukan sama Anjani. Dia itu ndak tau apa-apa, Bu. Dimas yang mengajaknya menikah, dan Dimas sangat bersyukur saat Anjani menyetujuinya. Tidak ada hal yang lebih penting bagi Dimas selain itu, Bu. Dimas hanya ingin membuat Anjani bahagia."
"Trus ibu bagaimana? Ibu juga pengen punya mantu yang prigel, pandai mengurus rumah, pandai mengurus suami. Kalau modelnya kayak Anjani itu, ibu yakin bisanya cuma dandan doang," ketus Bu Tejo.
"Ibu kok bilang begitu. Memang Dimas nggak pernah menuntut Anjani untuk bisa melakukan semuanya. Dimas itu mencari istri, bukan asisten tangga."
"Lha kamu pikir kalau ibu setiap hari di rumah sudah seperti asisten rumah tangga?" Bu Tejo membelalak marah.
"Ya nggak gitu juga, Bu. Dimas cuma nggak mau ibu terlalu kaku sama Anjani. Biar saja dia bekerja, kalau itu yang bisa membuatnya bahagia. Dimas ridho, dan Dimas juga menyetujuinya."
"Pokoknya ibu tetep ndak setuju. Kalau Anjani itu setiap hari pergi pagi pulang malam, kapan dia bisa hamil? Kapan ibu bisa nggendong cucu?"
Bagaimana bisa Dimas memberikan cucu pada ibunya secepat mungkin? Anjani masih melarang Dimas untuk menyentuhnya.
***