Menaklukkan Hatimu
Seperti janji Anjani pagi tadi, akhirnya perempuan itu pulang cepat demi memenuhi keinginan ibu mertuanya.
Padahal, di butik sedang banyak pekerjaan. Ada beberapa klien bosnya yang hendak melakukan fitting, dan revisi detail pesanan kebaya mereka.
Nince sempat protes waktu Anjani ijin untuk pulang duluan. Lelaki gemulai itu menatapnya tajam seolah ingin menelannya bulat-bulat.
Namun karna Anjani menjelaskan apa yang terjadi, akhirnya Nince mengijinkan. Dengan syarat, besok Anjani harus datang pagi-pagi ke butik untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda.
“Kamu goreng ikannya dulu,” perintah Bu Tejo seraya menunjuk ikan nila yang sudah dibumbui di depan Anjani.
Seminggu ini, asisten rumah tangga di rumah Dimas sedang pulang kampung. Katanya ada keluarga yang sakit. Entah suami atau anaknya.
Jadi, ibu mertuanya ini yang repot di dapur setiap hari. Padahal, kalau ada asisten rumah tangga, ibu mertuanya juga tetap akan sibuk di dapur.
Diam-diam Anjani kagum juga pada ibu mertuanya itu. Beliau adalah tipe ibu-ibu yang rela sibuk di dapur demi menyiapkan hidangan yang lezat untuk keluarganya.
“Aaaww!” pekik Anjani, ketika minyak untuk menggoreng ikan muncrat ke lengannya.
Panas! Keluh Anjani dalam hati, tapi ia tak berani berkata, hanya meringis menahan perih.
“Haduuuh, kamu itu. Urusan goreng ikan saja hebohnya kayak lagi ngapain. Makanya jadi perempuan itu sekali-sekali tengok dapur,” cibir ibu mertuanya yang sedang menguleg sambel segera mengambil alih di depan kompor.
“Maaf, Bu,” lirih Anjani sedikit menyingkir.
“Kamu itu kan anaknya penjual kue, masa nggak bisa masak sama sekali?” gerutu Bu Tejo setelah membalik ikan di penggorengan. “Ya sudah, kamu ambil lalapan di kulkas. Cuci dan iris mentimunnya di piring saji,” perintahnya.
Anjani yang tadinya berdiri canggung bergegas menuju lemari es disudut dapur. Ia membuka dan menarik container penyimpanan buah dan sayur di sana.
Mengambil beberapa sayur untuk lalapan dan mencucinya di zink.
Dapur di rumah Dimas memang besar. Ada dua dapur sebenarnya. Dapur bersih dan dapur kotor yang memang setiap hari untuk memasak.
Sementara dapur bersih hanya digunakan untuk menyiapkan hidangan yang sudah siap dibawa ke meja makan.
“Astaga, Anjaniiii. Jangan terlalu tebal ngirisnya. Agak tipis. Piye to, apa-apa kok ndak bisa kamu itu,” omel Bu Tejo lagi, membuat Anjani seketika menghentikan aktivitasnya memotong mentimun.
Sejenak Bu Tejo menghela napas dalam lalu meniriskan ikan yang sudah diangkat dari penggorengan.
“Udah sana. Kamu siapin piring dan gelas di meja makan. Jangan lupa, gelas kosongnya diisi air putih. Habis itu kamu cuci buah-buahannya juga.”
“Baik, Bu,” sahut Anjani patuh.
Perempuan itu melangkah cepat menuju rak piring dan gelas. Mengambil beberapa alat makan dan menyiapkannya di meja.
Sesaat kemudian Anjani mematung, rasa nyeri di lengannya karna percikan minyak panas tak begitu terasa, dibanding rasa nyeri di hatinya.
Sungguh tidak mudah menjalani pernikahan ini. Andai saja dulu Henry yang menikahinya, mungkin hal seperti ini tidak akan terjadi.
Anjani tidak harus menghabiskan waktu dengan lelaki yang tidak dia cintai. Apalagi perlakuan ibu mertua yang ternyata tak sebaik harapannya.
Padahal, awalnya Bu Tejo begitu ramah dan terlihat bisa menerimanya dengan baik. Tapi setelah Anjani pindah dan hidup bersama dengannya, ternyata semuanya berubah.
“Lhoh, Anjani. Kamu sudah pulang? Kupikir masih di butik,” suara Dimas yang tiba-tiba muncul seketika membuyarkan lamunannya. “Kamu bantuin ibu masak?” tanya Dimas, saat melihat istrinya memakai celemek.
Cantik dan menggemaskan, puji Dimas dalam hati.
Sedangkan Anjani hanya tersenyum tipis. Tipiiiis sekali, sampai-sampai Dimas tak bisa melihatnya.
“Aku ke kamar dulu, ya. Mau mandi sama ganti baju,” ujar Dimas dengan senyum manis seperti biasa, dan lagi-lagi Anjani hanya mengangguk dalam diam.
Sejenak Dimas menangkap gurat kesedihan di wajah istrinya, membuat lelaki itu bertanya-tanya dan menerka-nerka, apa yang sebenarnya terjadi pada Anjani.
**
“Itu kenapa, An?”
Anjani terperanjat kaget saat melihat Dimas berjalan ke arahnya. Lelaki itu baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya yang semburat kecoklatan itu masih sedikit basah.
Aroma segar menguar memenuhi kamar mereka. Di tambah lagi, wajah tampan Dimas terlihat lebih cerah usai lelaki itu membasuhnya saat mandi.
“Nggak apa-apa,” sahut Anjani seraya membuka salep dari dalam laci.
“Nggak apa-apa kok diolesin salep? Itu kayak melepuh gitu lho, An.” Dimas mendekat, berlutut di hadapan istrinya yang duduk di depan meja rias. “Coba sini kulihat.”
“Cuma luka ringan, Dim.” Anjani hendak menepis tangan suaminya. Namun Dimas tak peduli dengan ucapan Anjani. Lelaki itu tetap meraih tangan istrinya, dan memeriksa luka yang sedikit lepuh di lengan Anjani.
“Kok bisa begini?” tanya Dimas, mendongak menatap istrinya.
“Tadi kena minyak waktu goreng ikan,” sahut Anjani dengan wajah mendung. “Aku ini bukan istri yang baik ya, Dim.”
“Kok kamu ngomong begitu?”
“Aku nggak bisa apa-apa. Masak nggak bisa, goreng ikan juga nggak bisa. Bahkan, ngiris timun aja aku salah,” keluhnya dengan ekspresi sedih yang kentara.
“An ... Aku nggak pernah menuntutmu untuk bisa melakukan semua itu.”
“Tapi ibu? Beliau menginginkan menantu yang bisa melakukan semua itu, Dim. Kamu tau kan, aku ini nggak sempurna. Sampai sekarang, aku masih heran kenapa kamu memilihku. Apa tidak ada perempuan lain yang lebih cocok dengan selera ibumu?”
Dimas menghela napas pelan, diperhatikan wajah Anjani yang sedang cemberut di hadapannya.
“Yang mau menikah itu aku, bukan ibuku. Selera ibuku mungkin berbeda denganku, tapi yang menjalani pernikahan ini kan aku, An.”
“Tapi aku nggak mencintaimu, Dim,” ucap Anjani yang sesaat kemudian ia sesali. Tentu saja kata-kata itu akan menyakiti hati Dimas. Tapi lihatlah, lelaki tampan itu malah tersenyum.
“Iya, aku tau,” katanya. Senyum itu makin lebar, memperlihatkan lesung pipi yang membuat wajahnya semakin tampan. “Tapi, aku masih berharap suatu hari nanti kamu berubah pikiran.”
“Kalau nyatanya aku nggak berubah?”
Dimas menipiskan bibir. “Aku yakin kamu pasti berubah.”
Anjani membuang wajah ke samping dengan senyum terkulum. Tak tahan juga melihat suaminya yang sejak tadi tersenyum padanya.
“Yakin sekali kamu.”
“Harus yakin,” sahut Dimas mantap. “Masa laki-laki setampan aku nggak bisa menaklukkan hatimu.”
Lagi-lagi Anjani tersenyum, kali ini lebih lebar.
Dimas benar-benar sukses merubah suasana hatinya. Padahal tadi Anjani sudah bete minta ampun gara-gara omelan ibu mertuanya.
Tapi karna candaan Dimas, perasaan Anjani jadi jauh lebih baik.
“Dimaaaaas!” panggil ibu dari lantai bawah, membuat Dimas dan Anjani saling tatap dalam senyum.
“Kita turun, yuk. Keburu ibu ngamuk lagi,” kata Dimas yang disambut tawa geli Anjani.
**