Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Ganteng Dan Perhatian

“Suaminya diladeni to, An. Jangan diem aja,” perintah ibu mertuanya, yang sudah selesai mengambilkan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk dan sayur untuk Pak Sutejo.

Anjani mengangguk lalu meraih piring yang ada di depan Dimas, namun lelaki itu menahan tangannya, sambil menggeleng pelan ke arah Anjani.

“Dimas bisa ambil sendiri kok, Bu,” tukasnya lalu berdiri mengambil makanannya sendiri, membuat ibunya melirik Anjani dengan tatapan jengkel.

“Gimana kerjaanmu, Dim?” suara bapak memecah keheningan dan memudarkan kerutan di dahi Bu Tejo, yang sejak tadi tak henti ngedumel di dalam hati.

“Alhamdulillah lancar,” jawab Dimas setelah mengunyah makanannya. “Kamu gimana, An? Sibuk nggak di kantor tadi?” tanya Dimas pada istrinya.

Anjani yang sejak tadi hanya mengaduk-aduk isi piringnya kemudian menoleh menatap Dimas, lalu menggeleng. “Biasa aja,” jawab Anjani memaksakan satu senyum untuk Dimas.

“Mendingan kamu itu di rumah aja, An. Bantuin ibu, atau belajar masak. Biar nggak heboh teriak-teriak kalau lagi di depan kompor.” Bu Tejo mulai buka suara, sambil melirik sinis ke arah menantunya yang sejak tadi hanya menunduk.

“Anjani ini seorang fashion designer, Bu. Jadi maklum kalau agak kaku di depan kompor,” bela Dimas.

“Halah, kamu tau kan mantunya Bu Rosma yang dokter itu? Jago masak juga lho dia, kemarin ibu dikirimi rendang, lengkap sama cumi sambel ijonya.”

“Dia kan sudah sepuluh tahun menikah sama anaknya Bu Rosma, ya jangan dibandingin sama Anjani to, Bu.” Dimas masih membela, sedangkan istrinya yang sejak tadi jadi bahan pembicaraan masih belum mau mendongakkan wajahnya. Ia telan semua cibiran yang dilontarkan oleh ibunya Dimas kepadanya.

“Makanya belajar. Mau sudah nikah dua puluh tahun pun, kalau nggak mau belajar dan malah sibuk diluar ya tetep saja ndak bisa. Gimana mau melayani suami, kalau mengurus diri sendiri saja masih kerepotan,” sambar ibunya Dimas lagi.

"Ibu ini ngomong opo to?" bapak yang sejak tadi diam mulai angkat bicara. "Dari tadi kuperhatikan kok ngomel terus. Nanti mantu kita ini nggak betah lho tinggal disini. Mereka ini kan baru saja menikah, ya wajar kalau masih sering melakukan kesalahan. Bapak juga paham. Ibu juga harusnya paham."

Dimas melirik Anjani yang sejak tadi hanya diam. Dia tau Anjani sedang berusaha menahan gejolak hatinya. Dengan sedikit keberanian, Dimas mengusap punggung Anjani perlahan dan gadis itu menoleh. Dimas pun tersenyum kecil, memberi kekuatan dan secara tidak langsung dia ingin menyampaikan pada Anjani, bahwa dia akan selalu mendukung dan berada di pihak istrinya itu.

Apa pun yang terjadi. Apa pun yang nantinya akan mereka lalui.

***

"Pulang kerja nyalon, yuk!" ajak Dita sehabis mereka sholat dhuhur, di mushola kecil yang ada di sudut kantor.

Ingin sekali rasanya mengiyakan ajakan Dita, tapi Anjani tak sanggup kalau harus mendengar nyinyiran ibu mertuanya lagi hari ini.

Apalagi minggu ini kerjaannya sedang padat. Banyak customer yang memesan baju di butik Nince. Beberapa bahkan minta di revisi, jadi Anjani harus memperbaiki sketsanya sebelum diserahkan ke bagian produksi.

"Lain kali deh," jawab Anjani dengan wajah cemberut.

"Yaaah, sendirian dong. Nasib deh jadi jomblo. Ke mana-mana nggak ada yang peduli," keluh Dita sambil memoyongkan bibirnya.

"Makanya buruan cari jodoh."

"Udah dari jaman batu kali dicari. Tapi itu jodoh ngumpet di mana nggak tau deh, belum ketemu juga sampai sekarang."

Anjani tertawa mendengar keluhan Dita, yang selalu sama di setiap waktu. Dita ini sebenarnya cantik, tapi dia terlalu agresif sebagai seorang perempuan. Jadi kadang-kadang para lelaki akan takut mendekatinya.

"Apa aku pergi nonton aja ya, siapa tau ketemu jodoh disana,” ucap Dita sambil mengetukkan jari telunjuknya ke pelipis, seolah sedang berfikir.

"Jadi pengen nonton juga," lirih Anjani yang terdengar oleh Dita, seketika gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya.

"Kamu sih enak, mau nonton ada yang nemenin. Ada yang mau antri beliin tiket, beliin popcorn dan cola. Ada bahu yang siap menopang kepala, daaaan bisa merasakan atmosfir keromantisan di dalam bioskop yang gelap gulita. Naaah kalau aku?! Cuma bisa nangis di pojokan kali," geram Dita menatap Anjani dengan wajah memelas, yang justru membuat Anjani tak bisa menahan tawanya.

"Lagi ngomongin apose, cyiiiin? Seru amat kayaknya.” Nince tiba-tiba keluar dari dalam ruangannya yang selalu tertutup rapat.

Kalau sedang konsentrasi membuat desain, Nince tak pernah mau di ganggu kecuali kalau orang itu mau nganter makanan. Rejeki nggak boleh di tolak kaaan?!

"Dita tuh, Bos. Pengen nonton tapi nggak punya temen.” Tunjuk Anjani pada Dita yang masih cemberut.

"Iyeee deh, gue temenin. Tapi jangan nonton film horor ya, sereem. Eike takut." Nince begidik ngeri. Kemudian terdengar suara ponsel Anjani berbunyi. Gadis itu buru-buru mengaduk isi tasnya mencari benda yang mengeluarkan bunyi nyaring itu.

"Halo, Dim?"

"Assalamu'alaikum," suara lembut Dimas mengucapkan salam, membuat Anjani sedikit malu. Dia jarang sekali mengangkat telponnya dengan ucapan salam.

"Wa'alaikumsalam. Kenapa, Dim?" tanyanya lagi.

"Nanti sore jangan pulang duluan ya. Tunggu aku jemput kamu."

"Tapi ibu ...."

"Udah, kamu nggak usah mikirin ibu dulu. Sebenarnya aku mau ajak kamu makan malam diluar, sekalian kita jalan ke mana gitu."

Nonton!! Pekik Anjani dalam hati, tapi tak sanggup dia ucapkan. Kalaupun harus nonton, lebih baik dia pergi bersama Dita dan Nince, dari pada pergi berduaan dengan Dimas dan menikmati sepanjang perjalanan dengan perasaan canggung luar biasa.

"Ke mana?" tanya Anjani sedikit berharap Dimas akan mengajaknya nonton.

"Belum tau juga. Nanti deh kita pikirin sambil jalan."

Anjani mengangguk. Sedikit kecewa.

"Kamu sudah sholat dhuhur?" tanya Dimas.

"Udah, tadi sehabis makan siang."

"Ya udah, sampai ketemu nanti sore ya."

Anjani menutup telponnya setelah membalas salam yang diucapkan oleh suaminya. Begitu ia menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas, Anjani baru menyadari bahwa dua orang di hadapannya ini sedang mengawasinya sejak tadi.

"Mas Dimas, ya?" tanya Nince seketika, dengan senyum di wajahnya yang penuh arti.

Anjani mengangguk pelan.

"Duh, gemes banget sih. Udah ganteng, perhatian lagi. Punya saudara kandung nggak sih mas Dimas itu? Kalau ada, kenalin gih sama Dita. Kasian tuh bocah, ngenes banget hidupnya. Hampa tanpa cinta,” seloroh Nince sambil cekikikan.

Sialan! Maki Dita dalam hati.

"Gimana nih? Jadi nonton nggak?" seru Dita mengalihkan pembicaraan. Nasibnya yang jomblo sudah terasa menyedihkan, jangan lagi di tambah dia jadi bahan olok-olok orang-orang di butik juga.

"Of course, Sayaaaaang!" seru Nince bersorak riang.

"Aku sama Dimas boleh gabung, nggak?" celutuk Anjani tiba-tiba.

"Serius?? Boleh banget dooong!!" pekik Nince kegirangan.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel