Dialah Dimas Prasetya
Empat puluh lima menit setelah azan magrib, Dimas tiba di butik tempat Anjani bekerja.
Lelaki itu turun dari mobil dengan setelan batik yang membuatnya tampak lebih tampan dan gagah.
Belum sempat Dimas membuka pintu masuk, ternyata pintu itu sudah terbuka dari dalam. Namun yang dia lihat bukanlah Anjani, melainkan Nince yang heboh melihat kedatangan Dimas.
"Haiii, Mas Dimas. Aduuuh cucok banget siiih. Sini-sini masuk dulu,” Nince menggamit lengan Dimas dan menariknya masuk ke dalam butik. Lelaki itu tak bisa berkutik, tentu saja tenaganya kalah dengan Nince yang berperawakan tinggi besar macam Ivan Gunawan.
"Anjani ada?" tanya Dimas sambil pelan-pelan melepaskan tangan Nince dari lengannya.
"Masih ke toilet kayaknya. Mas Dimas duduk aja dulu. Oh iya, mau minum apa? Panas atau dingin? Teh, kopi, cola, jamu ...."
"Ah, air putih aja," sela Dimas cepat, agar lelaki abal-abal ini segera pergi dari hadapannya.
"Aku ambilin dulu ya, jangan ke mana-mana. Okey!" Jemari lentik Nince menunjuk wajah Dimas dengan tatapan memicing, sebelum ia berbalik meninggalkan Dimas di ruang tunggu.
Dimas menghela napas lega saat melihat Nince sudah menghilang entah ke mana, untuk mengambil minum. Sesaat kemudian Anjani muncul di hadapannya.
"Aku baru selesai sholat," kata Anjani, lalu duduk di sofa yang agak jauh dari tempat Dimas duduk.
Anjani masih saja menjaga jarak, pikir Dimas dalam hati.
"Pengantin baru kok duduknya jauh-jauhan siiiih, geser dong ah!" Dita yang baru datang entah dari mana tiba-tiba saja mendorong tubuh Anjani hingga perempuan itu sempoyongan dan akhirnya mendarat terduduk di pelukan Dimas.
Mereka berdua yang sama-sama terkejut hanya bisa saling menatap dalam diam.
"Nah gitu doooong!" seru Dita sambil tersenyum puas.
"Apaan sih, Dit. Nggak lucu tau,” geruru Anjani berpura-pura memperbaiki duduknya. Padahal jantungnya hampir saja copot tadi, saat mata Dimas menatapnya dari jarak yang begitu dekat.
"Si bos mana sih? Keburu mulai nih filmnya?" Dita celingukan mencari di mana bos Nince berada.
"Film?" tanya Dimas yang tak tahu apa-apa tentang rencana mereka.
"Iya, kita mau nonton film berempat. Emang Anjani nggak kasih tau kamu?" tanya Dita menatap Dimas dan Anjani bergantian.
"An, kita mau nonton? Berempat?" Dimas menuntut penjelasan.
Anjani mengangguk. "Iya, berempat. Aku, kamu, Dita dan ...."
"Dan eike cyiiin!!" pekik Nince yang baru keluar menenteng beberapa baju yang masih di gantung, bersama seorang asisten yang membawa minuman dingin untuk Dimas. "Oh, iya. Ini baju jahitan eike sendiri lho, Mas. Rancangan tangan ajaibku. Kalau Mas Dimas mau, ambil aja. Anggap saja kado pernikahan." Nince menyodorkan beberapa kemeja dan juga atasan batik pada Dimas yang masih bengong tak mengerti.
"Ambil satu aja. Biar dia seneng," bisik Anjani yang membuat Dimas mengangguk mengerti.
"Yang ini aja."
"Kok cuma satu siiih."
“Satu aja cukup," kata Dimas canggung, sembari mengambil satu kemeja lengan pendek dengan bahan katun bermotif minimalis dan bersaku dada. Sepertinya kemeja tersebut memiliki ukuran yang pas untuk badan Dimas.
"Pakai dong, Mas," perintah Nince dengan suara khasnya yang manja menggoda.
"Sekarang?"
"Iya dong sekarang, masa ke bioskop pake baju batik. Emang mau kondangan," goda Nince dengan kemayu.
Akhirnya Dimas menurut, untuk mengganti baju batik kantornya dengan kemeja pemberian Nince.
"Tuh kaaan, cucok meong deh kamu, Mas,” puji Nince dengan tatapan kagum. “Mau nggak kapan-kapan jadi model katalog butik eike? Mau ya, Maaaas ...." rengek Nince, yang hanya dibalas senyum oleh Dimas.
***
"Ibu gimana? Nggak apa-apa kita pulang malam?" tanya Anjani begitu dia masuk ke dalam mobil suaminya.
Sedangkan Dita dan Nince ngeyel mau naik mobil terpisah. Anjani tau apa maksud mereka. Pasti mereka sengaja memberi kesempatan untuk Anjani dan Dimas agar bisa berduaan.
"Kamu lupa kalau kita sudah menikah? Bicaramu kok seolah-seolah hubungan kita ini terlarang untuk keluar sampai malam." Dimas melirik Anjani sekilas.
"Bukan itu maksudku, tapi ....”
"Iya aku paham,” potong Dimas cepat. "Aku minta maaf ya kalau perkataan ibu sering menyinggung perasaanmu."
Bukan lagi! Batin Anjani kesal.
Kalau ingat bagaimana ibu mertuanya itu saat bicara padanya, hati Anjani masih terasa sakit.
Cara bicaranya itu lho, nggak ada halus-halusnya sama sekali. Ingin rasanya Anjani pulang ke rumah ibunya, tapi nggak mungkin. Ibunya pasti marah dan menuduh Anjani yang sudah bersikap tidak sopan pada mertuanya itu.
"Aku memang pantas diperlakukan seperti itu, Dim. Mungkin ibumu punya feeling kalau aku nggak serius sama pernikahan ini."
Deg!
Hati Dimas rasanya seperti dicubit. Sakit sekali.
Jadi, selama ini Anjani masih menganggap pernikahan mereka main-main? Ya Tuhan, ternyata Anjani belum berubah.
Sesaat berlalu dalam diam, perasaan canggung di antara Anjani dan Dimas belum juga mencair.
Seberapa sering Dimas berusaha, kalau Anjani belum mau membuka hatinya, ya percuma saja, kan?
"Duduknya misah-misah nih?" keluh Nince yang kecewa tak bisa duduk berdekatan dengan Dimas.
"Tenang aja bos, kan ada saya," ujar Dita sambil mengedipkan sebelah matanya.
Nince mencebik, lalu Dita buru-buru menarik lengan besar bosnya itu untuk masuk ke dalam bioskop, meninggalkan Dimas dan Anjani yang masih berdiri dalam diam.
"Yuk!" Dimas berjalan mendahului Anjani, dan gadis itu mengekori di belakangnya.
***
Dari dulu, Anjani suka sekali nonton film romance. Yang sedih-sedih, yang bikin nangis dari awal sampai akhir.
Begitu pula malam ini, mereka menonton film romance favorit Anjani. Gadis itu bahkan sudah sesenggukan sejak tadi.
Di tengah-tengah Anjani menikmati kesedihannya dan larut dalam cerita film tersebut, tiba-tiba sesuatu jatuh di pundak Anjani.
Saat gadis itu menoleh, dia mendapati kepala Dimas sudah bersandar di pundaknya, suaminya itu tertidur pulas. Matanya tertutup rapat dan napasnya terdengar teratur.
"Bisa-bisanya dia tidur," gumam Anjani. Pelan-pelan dia membetulkan kepala Dimas agar lebih nyaman.
Entah mengapa, hanya melihat Dimas tertidur lelap membuat hatinya nyaman. Walau bagaimana pun, Dimas selalu bersikap baik padanya selama ini. Dia yang selalu tulus dan tak pernah berharap apapun pada Anjani.
Satu-satu harapan Dimas yang selalu dia ucapkan hanyalah ingin Anjani menerima Dimas sebagai suaminya.
"Sst, Dim, Dimas. Hei, bangun." Anjani menepuk pundak Dimas perlahan. "Dimas, hei ...."
"Hm?" Lelaki itu membuka mata dan seketika terkejut saat menyadari dia sedang bersandar di pundak Anjani. "Ah, maaf ya, An. Aku ketiduran,” kata Dimas sambil mengusap matanya.
"Ngebosenin ya filmnya?"
Dimas tersenyum. "Aku lebih suka film action, sih."
"Pantes kamu ngantuk." Anjani mengambil tasnya dan bangkit dari duduknya. Namun tiba-tiba Dimas menarik lengan Anjani, hingga gadis itu terduduk lagi di kursinya.
"Tunggu dulu, masih rame. Nanti kamu jatuh,” kata Dimas, masih memegang lengan Anjani. Gadis itu pun hanya menurut.
Ddrrt! Ddrrt!
Ponsel Anjani bergetar, dan terlihat nama Dita di layarnya.
"Ya, Dit?"
"Aku pulang duluan, ya."
"Oh, ya udah."
"Salam buat mas Dimas ya!!" teriakan Nince terdengar samar.
Anjani tersenyum sebentar. "Hati-hati ya, Dit."
Telepon di tutup dan bioskop sudah mulai sepi.
"Kamu mau makan apa?" tanya Dimas pada Anjani yang sibuk memasukkan ponsel ke dalam tas.
"Ehmm ... Aku mau makan mie instan pake telur dan cabe yang banyak."
"Ha? Mie instan?"
Anjani mengangguk. "Kalau kamu?"
"Ya udah kita beli mie instan, yuk."
Anjani tersenyum lebar lalu berdiri hendak berjalan menuruni tangga. Namun dengan gerakan cepat, Dimas menggenggam tangan Anjani. Gadis itu sempat terkejut dan menatap ke arah Dimas, hendak protes karna Dimas tiba-tiba menyentuhnya.
"Pelan-pelan. Nanti kamu jatuh," kata Dimas dengan suaranya yang lembut.
Suara yang di dengarnya setiap hari melantunkan ayat-ayat suci Al-qur’an selepas salat fardu.
Dialah Dimas Prasetya, suami yang bahkan belum bisa dia cintai dengan sepenuh hati. Tapi rela menyerahkan sepenuh hatinya hanya untuk Anjani. Istri yang teramat dia cintai.
**