Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kamu Cantik

"Sini, biar aku aja." Dimas meraih panci dari tangan Anjani. Mengisinya dengan air dan menaruhnya di atas kompor. "Kamu duduk aja, biar aku yang bikin," kata Dimas lagi, tentu saja sambil tersenyum.

Lelaki itu bahkan tak pernah sekalipun memperlihatkan wajah murungnya pada Anjani. Padahal Anjani selalu bersikap cuek padanya.

"Kan aku yang pengen makan mie. Kenapa jadi kamu yang repot."

Dimas tersenyum lagi, lalu meraih tangan Anjani. Membuat gadis itu terkejut.

"Nih, tanganmu yang kena minyak panas saja belum sembuh. Nanti kalau luka lagi gimana?"

Astaga Dimas. Sampai segitunya. Anjani benar-benar merasa tersentuh dengan sikap lembut suaminya.

"Udah nggak sakit kok." Tapi hatiku yang masih sakit gara-gara ibumu, batin Anjani. Perlahan gadis itu menarik tangannya dari genggaman Dimas. "Aku bantu potong sayur aja ya kalau gitu."

Dimas mengangguk lalu mulai memasukkan mie instan ke dalam panci. Sedangkan Anjani mengambil sayuran dan cabe dari lemari pendingin.

"Hati-hati." Dimas melirik Anjani yang tengah memotong sawi dan juga cabe.

"Iya," jawab Anjani tanpa menoleh pada suaminya.

"Bahu kamu sakit nggak?"

"Hm?" Anjani mengalihkan tatapannya. Tak paham dengan pertanyaan Dimas.

"Tadi waktu di bioskop kan ...."

"Oohh, nggak kok. Kamu bisa pules banget ya tidurnya,” kata Anjani sambil tersenyum, membayangkan bagaimana wajah Dimas saat tertidur lelap seperti bayi saat di bioskop tadi.

"Padahal seru lho filmnya." Anjani memasukkan sayuran ke panci.

"Oh ya? Kapan-kapan kita nonton lagi deh," sahut Dimas.

"Nggak ah, nanti kamu ketiduran lagi."

Dimas terkekeh, merasa sedikit malu.

"Lain kali aku temenin kamu nonton film action."

"Hm?" Dimas menoleh, hampir tak percaya dengan apa yang di dengarnya.

"Tadi kan kamu udah nemenin aku. Ya walaupun sepanjang film diputar kamu cuma tidur."

Dimas tertawa lagi. Sepertinya untuk beberapa hari ke depan, Anjani akan terus membahas masalah ini. Tidak apa-apa. Walaupun malu, tapi Dimas senang bisa melihat Anjani tertawa saat mengejeknya.

"Udah jadi nih. Kamu tunggu di meja makan ya. Aku siapin dulu,” kata Dimas setelah mematikan kompor.

Anjani mengangguk dan berjalan ke meja makan. Kemudian mengambil dua gelas air putih untuk mereka minum.

"Waah, kayaknya enak nih." Anjani mulai menyuap dan seketika dia tersenyum senang. "Enak bangeeet. Cobain deh punya kamu."

Dimas menatap semangkuk mie instan kuah di hadapannya dengan tatapan ngeri. Ada banyak potongan cabai di sana. Anjani nggak kira-kira ya masukin cabai tadi.

Perlahan Dimas menyuap mie instan itu ke dalam mulutnya. Dan benar saja, sensasi pedas dan terbakar langsung menyerang lidah dan tenggorokannya, hingga membuat Dimas terbatuk-batuk.

"Eh, minum dulu Dim." Anjani menyodorkan segelas air putih di depannya. Sesaat dia menatap wajah Dimas yang memerah dan dahinya yang mulai berkeringat.

"Kamu nggak bisa makan pedes ya?" tanya Anjani, kemudian mengambil tissue di atas meja, dan mulai mengelap butir-butir keringat di wajah Dimas.

"Muka kamu merah banget, sampai keringetan gitu," ucap Anjani sambil tersenyum geli, selama ini dia mengira kalau semua orang dewasa pasti menyukai rasa pedas, sampai dia melihat Dimas yang terlihat kesakitan hanya dengan satu suap mie instan campur cabe.

Dimas mengipasi mulutnya dengan sebelah tangan setelah menghabiskan satu gelas air putih. Rasa pedas dan panas yang melekat di lidahnya tak juga mau pergi.

"Lucu banget sih." Anjani malah tertawa melihat Dimas kesakitan dengan bibir merah bengkak yang sudah mirip orang yang habis dipukuli.

"Seneng ya liat orang menderita."

Bukannya berhenti tertawa, Anjani justru semakin terkikik geli.

"Ya udah, kamu makan mienya aja. Kuahnya nggak usah. Mau aku pisahin? Aku ambilin mangkuk lagi ya?"

"Nggak usah, biar aku aja," kata Dimas sambil menahan lengan Anjani.

"Nggak apa-apa, Dim. Sekali-sekali aku yang melayani kamu. Aku kan istrimu," kata Anjani, sambil berlalu meninggalkan Dimas yang masih tercengang dengan ucapan Anjani barusan.

Gadis itu sungguh baru menyadari kalau mereka berdua memang sudah menikah.

***

"Kemarin kalian pulang malam, ya?" tanya Bu Tejo pada Dimas dan Anjani yang sudah duduk di meja makan.

"Iya, Bu. Kita jalan-jalan sebentar."

Bu Tejo mengangguk-angguk. Tak ada raut kemarahan di wajahnya.

Tumben. Pikir Anjani yang sejak tadi hanya diam.

"Eh, Dim. Kamu inget nggak sama Melia."

Dimas mendongak, lalu mengerutkan dahi. Mengingat-ingat nama itu. Tapi dia tak mengingat apa pun.

"Melia siapa, Bu?"

"Itu lho, anaknya Bu Ajeng. Tetangga kita dulu."

"Oo, Amelia yang adek kelas waktu SMP itu, ya?"

"Nah itu kamu ingat,” sahut Bu Tejo dengan senyum lebar. “Tau nggak, kemarin ibu ketemu sama dia. Trus kita cerita macem-macem. Katanya sekarang dia sudah jadi dokter, dan mau buka klinik di dekat sini. Ibu perhatikan tambah cantik lho si Melia itu, ibu sampai pangling,” celoteh Bu Tejo berapi-api.

"Oh, ya?" jawab Dimas sekenanganya. Tidak tertarik sama sekali.

"Kemarin ibu juga dikirimin makanan, katanya masakan dia sendiri lho. Hebat kan? Sudah cantik, dokter, pinter masak lagi. Pasti bahagia itu calon suaminya," kata Bu Tejo, sambil melirik ke arah Anjani yang terlihat cuek dan cuma fokus pada roti lapis di hadapannya.

"Bapak mana, Bu?" tanya Dimas mengalihkan pembicaraan. Dia tak mau mendengar ibunya memuji-muji perempuan lain di hadapan istrinya.

"Oh, tadi pagi-pagi sekali sudah ke peternakan. Katanya ada yang mau beli sapi, buat hajatan," jelas Bu Tejo yang sepertinya sudah lupa dengan cerita tentang Amelia, si dokter cantik dan mantu idaman itu.

"Dimas berangkat dulu ya, Bu."

"Anjani juga." Anjani bangkit dari duduk, kemudian mencium tangan mertuanya. Lalu mengikuti Dimas keluar dari rumah.

"Aku jemput ya nanti,” kata Dimas setelah mereka berada di dalam mobil.

"Jangan. Aku mau pulang cepet. Mau bantuin ibu nyiapin makan malam."

"Maafin perkataan ibu tadi, ya,” ucap Dimas sungguh-sungguh.

Tiba-tiba, lelaki itu memajukan badannya mendekati Anjani. Perlahan ia mengulurkan tangan untuk memasang sabuk pengaman di kursi Anjani.

Sejenak gadis itu terkesiap, lagi-lagi jantungnya berdetak kencang hanya melihat wajah Dimas dalam jarak sedekat ini.

Tak bisa dipungkiri, Dimas memang tampan. Bisa dibilang dalam sekali tatap saja, seorang perempuan bisa jatuh hati padanya.

"Ah, nggak apa-apa kok," jawab Anjani sedikit salah tingkah.

"Ngomong-ngomong, perut kamu nggak sakit?"

"Hm?" Anjani menoleh, tak mengerti dengan pertanyaan Dimas.

"Habis makan mie kemarin."

Anjani tertawa sebentar, mengingat wajah Dimas yang memerah karena kepedasan.

"Nggak kok. Udah biasa kali. Aku emang suka makan pedes. Apalagi kalau lagi bete, kalau lagi seneng, kalau lagi sedih atau lagi marah. Makan pedes itu bikin mood aku berubah jadi baik."

Dimas tersenyum. "Bukannya mood jadi baik kalau habis makan yang manis-manis, ya?"

"Nggak ah, aku nggak begitu suka makan yang manis-manis. Takut nanti jadi gendut."

"Sekali-sekali nggak apa-apa kan? Lagian kamu nggak gendut kok. Kamu cantik."

Astaga!! Bilang apa dia tadi?

Tiba-tiba saja pipi Anjani terasa panas, dia pasti terlihat merona sekarang. Buru-buru Anjani memalingkan wajahnya ke jendela dan tersenyum-senyum sendiri.

Bukan kali pertama Dimas memujinya. Tapi tetap saja rasanya menyenangkan, saat dipuji oleh suami sendiri. Rasanya beda. Kayak ada manis-manisnya gitu.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel