Tuan Heinze
"Bangun Suci…." Suara bariton terdengar di telinga wanita berwajah mulus tanpa noda itu.
Manik mata cokelat tuanya terbuka perlahan, dan tertegun menatap wajah tampan di depannya.
"Ayo bangun, kita sudah sampai…," ujar suara itu lagi.
Seakan tersadar, Suci melompat bangun dari tidurnya dan menyadari kalau dia tengah berada di dalam sebuah mobil.
"Aku di mana?"
Rey berdecak menatap Suci tajam. "Tentu saja ada di bumi, kamu pikir kamu ada di bulan sekarang!"
Suci menatap ke sekelilingnya, mendapati mobil yang sedang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah gedung mewah yang terlihat seperti hotel.
"Ayo turun!" ajak Rey lagi.
Pria berkulit pucat itu keluar lebih dulu meninggalkan Suci yang masih kebingungan di kursi mobil.
Wanita itu bergegas turun saat menyadari Rey sudah meninggalkannya di mobil. Dengan pikiran yang bertanya-tanya, Suci berjalan mengikuti Rey dari belakang.
Kenapa aku bisa ada disini? Bukannya tadi aku sedang tidur di sofa? Astaga … apa mungkin Pak Rey yang menggendongku sampai ke mobil? Tapi, kenapa dia tidak membangunkan aku? Suci larut dalam pikirannya sendiri, dan tidak menyadari kalau Rey sudah jauh meninggalkan dia di depan.
"Suci…!" teriak pria berambut putih itu kesal.
"Iya, Pak…." Suci berlari mengikuti atasannya masuk ke dalam lift.
"Lain kali kalo kamu masih terlalu banyak menghayal begitu, aku tinggalkan kamu!" sentak Rey menekan tombol lift.
"Maaf, Pak. Aku hanya kaget saja kenapa kita sudah ada disini," sahut Suci menunduk.
"Tidak perlu kaget, kamu tidur seperti orang mati tadi! Kalau tidak mengingat aku butuh asisten sekarang, sudah aku tinggalkan kamu sendirian di apartemen!"
Suci menelan salivanya kasar, terus menunduk tidak berani menatap pria bermata biru itu. Benarkah dia tidak bangun saat Rey membangunkannya? Lagi-lagi dia harus dibentak oleh pria ini karena keteledorannya sendiri.
Terus mengikuti atasannya dari belakang, mereka berhenti di depan pintu kamar hotel di lantai dua belas.
"Kita mau apa kesini, Pak?" tanya Suci memberanikan diri. Terlalu penasaran sampai dia akhirnya mau buka suara bertanya lebih dulu.
Mereka masuk ke sebuah kamar presidential suite dengan dekorasi mewah hampir di setiap sudut ruangannya.
"Kita akan menemui rekan bisnisku sejam lagi. Persiapkan dirimu dengan baik karena kamu yang akan memimpin presentasi nanti!"
"A-apa, Pak? Kenapa tiba-tiba begitu? Aku tidak punya persiapan apa-apa, Pak." keluh Suci duduk di depan atasannya.
Rey duduk bersandar di kursi sofa sambil bersedekap dada. "Kalau begitu kamu bisa mulai belajar dari sekarang."
"Tapi, Pak-"
"Aku mau istirahat, jangan menggangguku!" potong Rey bangkit meninggalkan Suci.
Wanita berkulit kuning langsat itu hanya bisa pasrah saat Rey berjalan masuk ke dalam kamar. Suci langsung menyambar laptop milik atasannya yang kebetulan ada di atas meja.
Begitu menyalakannya, Suci terkejut mendapati layar desktop dengan gambar atasannya yang setengah telanjang. Perut kotak yang pernah dia lihat dan dia sentuh dalam mimpinya, membuat pikiran wanita itu berlarian entah kemana.
Apa yang aku pikirkan?! Suci merutuki dirinya sendiri, menggelengkan kepala kuat menepis pikiran-pikiran aneh di kepalanya.
Satu jam kemudian, atasan dan bawahan itu sudah bersiap untuk menemui rekan bisnis mereka di lantai satu gedung.
Rey berjalan di samping Suci dan berbisik padanya sebelum mereka masuk. "Jangan mempermalukan aku!"
Sedikit mendongak karena tubuh pria itu jauh lebih tinggi darinya, Suci mengangguk penuh keyakinan.
Rey melangkah lebih dulu, mendekati seorang pria yang terlihat berumur lebih dari setengah abad, duduk dengan tenang menunggu kedatangan mereka.
Disampingnya berdiri dua orang berbadan besar dengan kacamata hitam bertengger di hidung mereka masing-masing.
Suci duduk mengikuti Rey setelah menyapa pria itu. Dia sedikit gugup saat sapaannya hanya disambut anggukan olehnya.
"Terima kasih sudah mau bertemu dengan perusahaan kami Tuan Heinze. Asisten saya akan menjelaskan secara rinci tentang kerja sama proyek kita kali ini."
Rey menunjuk Suci dan memberikan kode pada wanita itu untuk segera memulaikan presentasi pembangunan jembatan mereka di kota Hamburg, Jerman.
Suci maju dan mulai memaparkan apa yang sempat dia pelajari tadi, dan memberikan satu buah berkas laporan pembangunan yang mereka rencanakan pada tuan Heinze.
"Tunggu!" tahan pria itu menyentuh tangan halus Suci.
Suci tersentak, kaget dengan perlakuan tiba-tiba pemilik perusahaan lain yang bekerja sama dengan tempatnya bekerja.
"A-ada apa Tuan?"
"Baumu sangat wangi, sabun apa yang kamu pakai?"
"Hah?" Suci bengong sendiri mendengar ucapan pria lebih dari setengah abad itu.
Apa dia sedang menggodaku saat ini? Suci sontak merasa risih dengan kelakuan tuan Heinze padanya.
Rey hanya diam memperhatikan bagaimana rekan bisnisnya mengusap-usap punggung tangan Suci.
"Aku hanya memakai parfum saja, Tuan. Maaf." Suci menarik tangannya dari genggaman tuan Heinze.
"Kalau begitu aku harus membeli parfummu nanti, aku sangat menyukai wanginya."
Suci hanya tersenyum keki dan kembali melanjutkan tugasnya dengan baik. Pria lebih dari setengah abad itu terlihat menatapnya dengan pandangan yang menurut Suci sangat aneh.
Entah apa yang sedang pria itu pikirkan, tapi perasaan Suci mendadak tidak enak karenanya.
"Terima kasih, paparanmu sangat luar biasa menarik. Aku senang asistenmu sangat cekatan Tuan Rey…," puji tuan Heinze menatap berbinar wanita di depannya.
"Aku ikut senang kalau Tuan Heinze pun senang," sahut Rey dingin. "Jadi ... apa kita sudah bisa menandatangani surat perjanjian kontrak kerja samanya Tuan?"
"Tentu, tentu saja. Di mana yang harus saya tanda tangani?" jawabnya bersemangat.
Rey tersenyum tipis, meminta Suci menyerahkan dokumen kontrak kerja sama yang sudah dipersiapkan mereka sebelumnya.
Takut-takut Suci kembali mendekati tuan Heinze, dan menyodorkan dokumen tersebut kepadanya.
"Terima kasih," sahut pria itu asik membaui aroma tubuh Suci.
Suci mengangguk sopan dengan perasaan jijik dihati. Dia mulai kesal melihat tingkah tuan Heinze yang dianggapnya sebagai pria tua pecinta daun muda sepertinya.
"Baiklah, terima kasih untuk kerjasamanya Tuan Heinze. Semoga kita bisa meraup keuntungan dalam pembangunan jembatan ini!" Rey bangkit dari kursi, menyalami pria lebih dari setengah abad itu.
Sedikit meremasnya, tuan Heinze sempat meringis merasakan genggaman Rey padanya.
"Ayo, Suci!" Rey mendorong tubuh wanita itu agar berjalan lebih dulu di depannya. Dia sampai menarik tangan Suci agar bergegas meninggalkan tempat pertemuan mereka.
