Tuan Heinze Dua
"Kita akan menginap disini, Pak?" Rey mengangguk dan menjatuhkan dirinya ke sofa kamar hotel.
"Apa aku boleh pulang saja, Pak?" tanya Suci lagi.
"Kenapa memangnya? Apa kamar yang aku pesan ini tidak cukup bagus untukmu?"
Suci mengangkat dua tangan ke atas dada dan mengayunkannya dengan cepat. "Bukan, bukan begitu, Pak. Aku hanya—"
"Tidurlah disini, kita akan pulang besok pagi!" potong Rey bangkit dari sofa.
"Tapi, Pak. Aku tidur di mana nanti?"
"Kamu bisa tidur di sofa kalau kamu mau," sahut Rey santai.
Suci melongo, tidak menyangka atasannya akan berkata begitu padanya. Bagaimana mungkin pria berambut putih itu menyuruhnya tidur di sofa? Apa dia tidak bisa memesankan satu kamar lagi untuknya?
Kesal, Suci menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Dia ingin sekali protes, tapi Rey sudah lebih dulu masuk ke kamar, tidak peduli dengan dia yang keberatan dan menderita di luar sini.
Wanita itu hanya bisa pasrah terduduk di kursi sofa. Selain punya hobby membentak, ternyata atasannya itu pelit juga, pikir Suci.
"Halo, Mom…."
"Ada apa Suci?" tanya Susi dari ujung telepon.
"Maaf, Mom. Aku tidak bisa pulang malam ini."
"Apa? Kenapa?"
"Aku sedang dinas di luar kota bersama atasanku, Mom. Kami baru bisa pulang besok pagi."
"Apa?!" pekik Susi kaget.
Suci sampai menjauhkan ponsel dari telinga saking kencangnya suara ibunya di ujung sana.
"Kamu sekamar dengan atasan kamu, hah?!" ujar wanita paruh baya itu lagi.
"No, Mom … tentu saja tidak. Mana mungkin kami sekamar," bohong Suci. "Aku di kamar hotel sendiri, tenang saja. Besok pagi kami akan langsung kembali…," sambungnya lagi berusaha terdengar meyakinkan.
"Baiklah, jaga dirimu sayang. Mommy harap kamu bisa dekat dengan atasanmu nanti," goda Susi cekikikan di telepon.
Suci memutar bola mata malas dan menutup panggilan itu setelah dia mengucapkan selamat malam.
Kalau saja ibunya tahu bagaimana tersiksanya dia sekarang, mungkin ibunya akan berhenti menggoda dia dengan atasan pelitnya itu gumam Suci.
"Ah, aku sangat lapar…." Suci mengeluh sendiri sembari berbaring di atas sofa.
Wanita itu mendongak menatap pintu kamar di mana Rey berada masih tertutup. Bagaimana ini, apa dia harus membangunkan Rey untuk memesan makanan? Tapi kalau dia dibentak lagi bagaimana? Suci jadi ragu sendiri karenanya.
Dia pun memutuskan turun ke restoran hotel memesan makanan untuknya dan Rey. Bisa saja pria itu akan kelaparan dan kembali memarahinya karena tidak peka menyiapkan makanan untuk atasannya.
Suci kembali turun ke lantai satu di mana restoran hotel berada, di sana dia tidak sengaja bertemu lagi dengan tuan Heinze.
Pria lebih dari setengah abad itu tersenyum sumringah menatap Suci yang sedang duduk memesan makanannya.
Sembari menyeret kaki tuanya, tuan Heinze berjalan menyapa Suci. "Halo Nona, kita bertemu lagi."
Suci berjengkit kaget melihat pria itu sudah berdiri di dekatnya, bersama dua orang berbadan besar yang tadi menemani dia juga saat pertemuan bisnis mereka.
"Halo Tuan," sahut Suci tidak nyaman.
"Kamu hanya sendiri?"
"Tidak, aku bersama dengan bosku. Dia sedang ke toilet sebentar," jawab Suci berbohong.
Suci tidak mau pria yang terlihat mesum ini berpikir kalau dia sedang sendirian di sana. Dia geli memikirkan bagaimana rekan bisnis Rey akan bertingkah macam-macam padanya.
"Kalau begitu … apa aku bisa duduk denganmu sambil menunggu tuan Rey datang?" tanya tuan Heinze menjatuhkan dirinya di kursi samping Suci.
Wanita itu makin was-was dengan kelakuan tuan Heinze yang tanpa seizinnya malah duduk di dekat dia.
"Tapi kami mungkin tidak akan lama Tuan, kami hanya akan memesan dan makan di kamar…," sahut Suci beralasan. Jangan sampai pria ini tahu kalau dia sedang berbohong.
"Tidak apa-apa, aku akan menunggu sampai kalian selesai memesan. Aku ingin berbincang-bincang sedikit bersama kalian sebelum aku kembali ke Berlin."
Suci berdecak dalam hati, semakin kesal dengan kelakuan pria ini yang justru memaksa ingin menunggu bersamanya. Sial! Aku tidak bisa berbuat apa-apa sekarang.
Duduk berdampingan bersama pria lebih dari setengah abad itu sungguh membuat Suci tidak tenang. Apalagi sejak tadi tuan Heinze terus menatapnya dengan seksama.
"Kalau boleh saya tahu, Nona Suci punya hubungan apa dengan tuan Rey?" tanya tuan Heinze memecah keheningan diantara mereka.
Suci mengernyit. "Maksud Tuan?"
"Ya itu, maksud aku apa kamu punya hubungan lebih dari sekedar asistennya di kantor?" Suci diam mencoba memahami maksud pertanyaan Tuan Heinze.
"Jika tidak, bolehkah aku meminjammu sebentar padanya?" sambung pria dengan keriput di wajahnya menyeringai penuh arti.
Suci seketika sadar setelah mendengar pertanyaan terakhir tuan Heinze padanya. Brengsek! Apa dia pikir aku ini wanita murahan?! Suci mengepalkan tangannya kuat mencengkram ujung rok.
"Maaf Tuan Heinze, aku menghormatimu sebagai rekan bisnis dari atasanku. Jadi tolong, jangan berkata yang tidak masuk akal lagi padaku!" kesal Suci berdiri dari kursi restoran hotel.
"Tunggu Nona Suci," tahan pria itu memegang tangannya.
Suci buru-buru menarik tangannya dari cengkraman Tuan Heinze dengan wajah marah. Dia semakin risih dengan tingkah pria lebih dari setengah abad itu. Apalagi kini mereka mulai menjadi pusat perhatian beberapa orang yang duduk di dekat meja mereka.
"Maaf, aku tidak bermaksud begitu Nona Suci. Duduklah kembali, tunggu sebentar disini. Aku hanya ingin menemanimu saja," pinta tuan Heinze memohon.
"Tidak terimakasih! Aku permisi." Suci segera beranjak dari sana sebelum pria gila itu makin bertingkah menyebalkan dan berbuat aneh padanya.
Sial! Ingin hati mau mengisi perut, aku malah bertemu dengan pria mesum itu! Kesal Suci mempercepat langkah kakinya masuk ke dalam lift.
"Tuan…," seorang penjaganya membungkuk di samping tuan Heinze.
"Kau sudah punya informasi?" tanyanya setelah mereka berada di tempat yang sepi.
"Dia adalah orang yang kita cari Tuan…."
"Kau yakin?" tanya tuan Heinze memastikan.
"Yakin Tuan, dialah orang yang sempat dilaporkan pengikut kita kemarin."
Tuan Heinze menganggukan kepala mengerti. Sepertinya wangi aroma khas dari tubuh wanita tadi benar-benar membuktikan kecurigaan dia padanya.
Pria itu yakin kalau Rey sengaja menyimpannya untuk menarik perhatian mereka.
"Cari informasi lebih banyak lagi tentangnya, aku ingin semuanya jelas sampai hal yang paling kecil sekalipun!" titah tuan Heinze tersenyum jahat.
