Berlumuran Darah
Tepat pukul tujuh pagi, Suci tiba di depan pintu apartemen bosnya. Menekan tombol bel cukup lama, pria berkulit tubuh pucat itu akhirnya membukakan pintu untuknya.
Rey hanya memakai celana boxer berwarna nude dengan tubuh bagian atas yang polos. Pemandangan itu berhasil mengalihkan perhatian Suci yang kaget melihat perut kotak-kotaknya.
"Lain kali kamu tidak perlu menekan bel lagi! Password apartemenku adalah ulang tahunmu!" Rey berjalan masuk meninggalkan Suci di depan pintu.
"A-apa, Pak? Ulang tahunku?" tanya Suci memastikan.
"Iya. Jangan menggangguku, aku mau tidur sebentar." Rey masuk ke dalam kamar dan membanting pintu cukup kuat.
Kenapa lagi dengan pria itu? Suci mengernyit, melangkah masuk ke dalam apartemen mewah bosnya.
Apa benar Pak Rey memakai tanggal ulang tahunku untuk password apartemennya? Suci bergumam sendiri, memperhatikan ruangan di depannya yang penuh dengan guci-guci antik.
Wanita itu meletakkan tas tangannya ke atas kursi sofa hitam berbahan beludru, bersiap untuk duduk.
Baru saja akan menjatuhkan dirinya di sana, Rey keluar lagi dalam kamar dan membuat Suci kaget.
"Buatkan aku sarapan! Aku ingin saat aku bangun, semuanya sudah ada di atas meja!" perintah Rey membanting pintu kamarnya lagi.
Suci sontak terpaku bingung di tempatnya. Apa-apaan pria tukang perintah itu? Apa dia pikir aku ini asisten rumah tangganya sampai harus memasakkan makanan untuknya?! Suci kesal sendiri dalam hati.
Wanita itu membuang nafas kasar, dan mulai berjalan mencari di mana dapur Rey berada.
Apartemen mewah milik bosnya punya ruangan yang jauh lebih luas dari ruang tamunya di rumah. Ada dua buah pintu yang diyakininya sebagai kamar disini, di mana salah satunya adalah kamar Rey.
Di samping kiri ada ruang kerja berdinding kaca, dengan balkon berada di lorong depannya. Apartemen yang di cat berwarna hitam dan abu-abu itu, sangat cocok dengan kepribadian Rey yang dingin dan misterius.
Suci berjalan ke arah kanan dan menemukan sebuah dapur berukuran cukup luas dengan perabotan lengkap di dalamnya.
Apa mungkin pria yang suka membentak itu punya hobi memasak? Bahkan perabotan di rumahnya saja tidak selengkap disini, pikir Suci.
Memakai apron berwarna hitam, Suci mulai mengambil bahan-bahan di dalam kulkas dua pintu dan memilih bahan makanan yang akan dimasak pagi ini. Semuanya bahkan sangat lengkap, isi lemari pendingin pria itu seperti milik ibu-ibu rumah tangga.
Suci memutuskan membuat sepiring omelette serta roti bakar untuk Rey.
Sedang sibuk-sibuknya memasak, Suci tiba-tiba merasakan tubuhnya sesak seperti di peluk dari belakang. Lehernya terasa panas dengan sapuan lembut di belakang telinganya.
Tidak ada siapapun di sana, wanita itu sontak merinding merasakan keanehan itu. Kenapa perasaanku jadi tidak enak begini? Apa di apartemen semewah ini ada hantunya?
Suci menggelengkan kepala, semakin mempercepat pekerjaanya di dapur. Dia tidak mau berlama-lama di sana dan berakhir dengan rasa merinding di tubuhnya lagi.
Tidak sampai lima menit setelah kejadian aneh itu, Rey keluar dari kamar masih memakai boxer dengan tubuh bagian atasnya yang polos.
"Pa-pak," kaget Suci.
"Sudah siap?"
"Su-sudah Pak," sahutnya terbata, mengalihkan pandangannya dari Rey.
Suci bisa merasakan wajahnya pasti sudah memerah saat ini, perut kotak dengan dada bidang dan kulit putih pucat atasannya itu, berhasil membuat dia salah tingkah.
Astaga … apa pria ini tidak bisa pakai baju dulu? Kenapa dia santai sekali menunjukkan tubuhnya di depanku? Bahkan sesuatu di balik celana boxer yang dipakai Rey terbentuk sempurna dari pandangan matanya. Ah sial, masih pagi begini mataku malah ternoda karena pria gila ini, gumam Suci.
"Apa yang kamu masak?"
"Omelette dan roti bakar, Pak. Silahkan…." Suci menyerahkan sepiring omelette dan juga roti bakar yang dilapisi selai strawberry.
Tidak ada yang bisa dijadikan selai selain itu di sana, mungkin Rey memang menyukai selai dengan rasa manis dan asam tersebut hingga hanya itu yang Suci temukan di dapurnya.
Rey mengangguk dan mulai menikmati sarapan pagi yang dibuat Suci.
"Kenapa berdiri? Ayo duduk," perintahnya menunjuk kursi di dekatnya.
Suci mengangguk cepat, duduk dengan tenang sembari makan bersama atasannya.
Sejak tadi Rey hanya diam tidak ingin berkata terima kasih ataupun memuji makanan yang sudah Suci buatkan untuknya. Wanita itu dibuat penasaran dan membuka suara bertanya lebih dulu.
"Apa makanannya tidak enak, Pak?"
"Enak," sahut Rey singkat.
Suci tersenyum tipis, melanjutkan makannya dalam diam. Meski terkesan dingin dengan ucapannya, tapi Suci sudah cukup puas mendapatkan jawaban dari pria di depannya.
"Kita akan ke kota Hamburg setelah ini…."
"Baik, Pak."
"Telpon Michael dan minta dia datang kesini satu jam lagi."
"Baik, Pak. Ada lagi?"
Rey mengusap bibir merah mudanya dengan serbet dan menatap Suci dalam. "Kalau kita sedang berdua seperti ini, aku tidak mau kamu memanggilku dengan sebutan, Pak lagi!"
"Tapi Pak-"
"Jangan membantah!" potong Rey, berdiri dari kursi meja makan.
"Terima kasih juga untuk makanannya…." sambung pria itu tulus dan berlalu masuk kembali ke kamar.
Suci menatap badan kekar Rey dari belakang, hingga pria itu menghilang di balik pintu. "Tahu berterima kasih juga ternyata dia."
Pria yang tidak suka dibantah itu kembali bertingkah semaunya. Entah apa selanjutnya yang akan dia minta padanya, pikir Suci.
Selesai membersihkan piring bekas mereka di atas meja, wanita itu pun menghubungi Michael seperti perintah atasannya tadi.
Suci duduk di kursi sofa menunggu Rey yang tidak kunjung keluar dari kamarnya. Tanpa sadar wanita itu jatuh tertidur di sana.
Dalam tidurnya, Suci lagi-lagi bermimpi. Rey datang memeluk dan mengusap pipinya lembut. Pria itu tersenyum sangat manis dengan dua gigi runcing yang terlihat keluar menyilaukan manik mata coklat tuanya. Suci mengernyit dan mengerjapkan matanya berulang kali.
"Jangan takut, aku hanya ingin mengambil darahmu sedikit My Lady." ujar Rey masih mengusap pipi Suci.
"Aku butuh itu, sudah cukup lama aku tidak meminum darahmu. Aku harus memuaskan dahagaku agar tubuhku bisa kuat kembali." sambungnya menyibakkan rambut panjang Suci.
Suci terdiam dengan tubuh yang membeku seketika, Rey terlihat menakutkan. Mata birunya berubah menjadi merah tua dengan seringai yang tidak bisa digambarkan olehnya.
Pria itu mulai mendekatkan wajahnya ke ceruk leher Suci. Dia bisa merasakan dengan jelas, bagaimana dua gigi runcing tersebut mulai tertancap di sana.
Nafas Suci tercekat, matanya membola sempurna merasakan sakit yang luar biasa. Rasa perih dan berdenyut ini seperti yang pernah dia rasakan waktu itu. Gigitan pria ini selalu terasa sangat nyata untuknya.
Rey semakin kuat menghisap dan memperdalam tancapan gigi runcing dia yang tajam ke ceruk leher jenjang Suci.
Bahkan suara Rey seperti sedang meminum air terdengar begitu jelas di telinga Suci. Pria ini benar-benar seperti orang kesetanan yang sedang memuaskan hasratnya akan sesuatu.
"Sa-sakit," keluh Suci merasakan kepalanya mulai berdengung hebat.
Darahnya pasti sudah terkuras habis sekarang, detak jantungnya mulai berdebar tidak karuan dengan mata yang mulai sayu.
Rey sadar kalau dia sudah terlalu banyak mengambil darah Suci, pria itu segera menjauhkan dirinya dari ceruk leher wanita itu.
Suci kembali tertidur, menutup matanya rapat. Tidak ada lagi yang dia ingat selain bibir Rey yang berlumuran darah.
