Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Bertengkar

Bab 7 Bertengkar

Aruna tidak terima kalau wanita dari kekasih gelapnya mau merebut suaminya. Baginya Satria adalah aset penting untuknya. Jangan sampai wanita sekelas Nara bisa merebut suaminya yang tampan, kaya dan baik.

Datanglah Aruna ke tempat kerja Nara yang sekaligus perusahaan milik suaminya. Dia harus memberi pelajaran kepada wanita itu. Beranui-beraninya wanita cecunguk itu akan mengambil milkinya.

“Nara harus tahu akibatnya kalau berani berhadapan denganku,” geramnya dalam hati. Aruna sudah berada di jalan, sebentar lagi dia akan sampai.

Bukannya Aruna sadar diri, dia malah tak merelakan kalau suaminya diambil orang tetapi dia malah merebut suami orang.

Sampainya di depan kantor, ia tidak bertemu dengan suaminya. Dia juga tidak mau kalau Satria tahu kalau dia tahu Nara. Dan saut lagi, Nara tidak boleh sampai memberitahukan hal ini pada Satria serta jangan sampai Damian tahu kalau ternyata dia sudah punya suami.

Tanpa ada yang curiga, Aruna masuk ke ruangan Nara.

BLAGG!!!

Tanpa permisi Aruna langsung masuk begitu saja. Hingga sontak membuat Nara yang sedang asik duduk bekerja sampai terkejut. Dia menganga melihat siapa yang datang. Ternyata istri bos sekaligus selingkuhan suaminya datang ke sini. Untuk apa? Apa karena hal kemarin itu.

Nara tak mau memulai pembicaraan. Dibiarkan wanita itu mendahului, toh juga dia yang ada keperluan. Sama sekali tiada gunanya berbicara dengan wanita picik ini. Bahkan melihat wajahnya saja tak sudi aplagi untuk membuang suara indahnya hanya untuk memulai pembicaraan. Lama keduanya sepertri ada perdebatan batin, sampai akhirnya Nara yang kalah. Dia juga sadar kalau harus tetap profesional kalau di depannya ini adalah istri dari bosnya.

“Ada apa?” tanyanya pendek tanpa senyum. Dia hanya memandang datar ke arah Aruna. Sepertinya wanita itu sengaja membuat Nara kesal.

“Jika kau masih berani mendekati suamiku, aku pastikan kau tidak akan bisa lagi bahagia!” tandasnya langsung tanpa basa-basi.

Nara marah, dia tak terima dibeginikan oleh Aruna. Dia sendiri yang telah merebut suami orang dan sekarang dengan mudahnya dia berbicara seperti itu, seakan menjadi wanita paling suci dan Nara hanyalah perebut.

“Apa kamu tidak sadar, apa yang kamu lakukan tentu akan berbalik lagi kepadamu. Tidak usah kau takut suamimu diambil orang, harusnya kau takut lebih dulu sebelum merebut suamiku!” jawab Nara tidak peduli kalau setelah ini ia akan dipecat. Terpenting hatinya lega bisa mengeluarkan unek-unek yang selama ini ia tahan. Meski kurang kasar ia tetap bersyukur dapat menyindir orang di depannya.

Reaksi Aruna bukannya marah dan bagaimana, ia malah diam lalu mengacak dan menampar dirinya sendiri juga menggores wajah dengan kukunya sendiri. Dengan lihainya dia juga mengacak bajunya setelah itu menjatuhkan dirinya ke lantai. Sebagai manusia biasanya Nara tentu bingung, ada apa dengan wanita di depannya. Nara hanya terdiam menyaksikan.

“TOLONG! Seseorang tolonglah saya!” teriaknya sambil menangis terisak bak insan yang paling tersakiti di dunia ini.

Nara mengernyit, sama sekali tidak paham dengan wanita ini. Kenapa dia menggunakan cara serendah itu untuk membalas Nara. Awalnya dia tidak peduli, membiarkan saja Aruna melakukan apa yang dia mau. Meski ada rasa khawatir Nara tetap mempongahkan diri bahwa dia lah di sini yang benar.

Isak tangis Aruna makin mengeras sampai-sampai saat ini beberapa karyawan masuk secara paksa ke ruangannya.

Aruna langsung menggunakan kesempatan untuk melancarkan aksinya.

“Aduh! Tolongin saya, wanita ini menyerang saya bahkan dia juga menggoda suami saya,” ujarnya megada-ada dengan begitu matangnya. Karyawan yang tahu bahwa Aruna adalah istri bosnya langsung saja menatap Nara dengan penuh benci.

“Cepat panggil Pak Satria,” ujar salah satunya. Sedangkan yang satu membantu Aruna bangun.

“Hey! Kalian percayalah, aku tidak melakukan itu. Wanita ini berbohong!” teriak Nara mulai panik saat salah satu karyawan akan memanggil bos mereka. Dalam hati Nara malah percaya kalau sebentar lagi dia pasti akan dipecat. Harusnya tadi dia tidak melawan dan membiarkan saja.

“Ibu kenapa jadi seperti ini? Dia pegawai baru di sini, Bu.” Salah satu teman kerja Nara yang menurutnya agak menjengkelkan sok-sokan cari muka.

Belum sempat menjawab, tuan besar mereka datang. Sontak Nara hanya mampu menunduk, sangat takut. Dia mungkin lebih bersyukur dipecat ketimbang harus dibawa ke jalur hukum.

“Ada apa ini?” tanya Satria dingin, auranya sungguh menakutkan. Tubuh Nara dadakan panas dingin.

Tidak ada yang berani menyahut tetapi Aruna malah mengeraskan tangis palsunya lalu mendekat ke arah suaminya dengan manja.

“Lihat sayang, dia berbuat jahat kepadaku,” adunya. Satria melirik Nara yang menunduk, dia tidak percaya kalau benar Nara melakukan hal serendah ini, apalagi Aruna adalah istrinya. Satria diam sejenak.

“Apa masalahnya?” tanya Satria pada istrinya yang begitu erat menggenggam tangannya. Jujur Aruna sudah berhasil membuat Satria percaya.

“Dia ingin kalau aku menjauh darimu dan bercerai darimu, awalnya aku mau ke ruanganmu tetapi dia menyeretku ke mari dan langsung mengancam,” bohong Aruna.

“TIDAK, Pak! Tidak seperti itu,” sanggah Nara. Sayang Satria tidak percaya karena dia juga merasa kalau Nara seperti sengaja mendekatinya seperti waktu itu.

“Kamu diam! Kali ini saya maafkan,” ujar Satria dan langsung pergi ke luar ruangan menggandeng tanan istrinya. Sepersekian detik serasa Nara kehilangan wajahnya, dia seperti jatuh dari ketinggian kemudian jatuh di atas batu karang dan tubuhnya remuk lalu tenggelam.

Nara terus merunduk, air matanya sudah mengalir deras. Setidaknya dia harus berterima kasih karena tidak dipecat.

“Jangan ke-GR-an kamu, bos tidak memecatmu karena belum ada pengganti!” tohok teman yang memang resek dan nampak iri dengan Nara sejak pertama ia interview di sini.

Nara pasrah saja. Setelah ini pasti dia akan dipojokkan, benar-benar memalukan. Nanti juga semua pegawai pasti akan melihat sebelah mata kepadanya. Nara harus menyiapkan hati untuk hari-harinya yang akan lebih berat. Mulai sekarang ia harus membuat perjanjian dengan mulutnya agar tidak melawan apa pun yang terjadi. Setidaknya ia bisa tetap aman dengan tutup mulut. Meski itu sangat menyakitkan.

‘Ternyata jadi pelakor itu tidak mudah,’ ejeknya pada diri sendiri dengan senyuman miring. Nara sudah tidak mood bekerja, lebih baik dia pulang saja dulu. Hatinya sedang hancur, kenapa perempuan itu sangat picik. Ternyata selain pandai mengambil milik orang lain, dia pun pandai untuk berdrama. Harusnya Nara berjuang untuk menyembuhkan diri baru kemudian dia membalas semuanya.

Benar saja, saat ia keluar ruangan tatapan teman-temannya begitu terlihat menghakimi. Entah perasaannya atau bagaiamana yang jelas berhasil membuatnya tidak nyaman dan terpojokkan atas suasana ini. Ia jadi ragu kalau besok masih berani datang ke kantor ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel