Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Dari Hati Ke Hati

Bab 5 Dari Hati Ke Hati

"Aku itu kesalt dengan istriku, Nara. Kemarin katanya dia janji tidakak akan pulang malam lagi. Tapi, nyatanya saat aku pulang malam, dia lebih malam dari aku," tutur Satria sambil mengambil pesanan minuman yang datang.

Nara diajak makan siang hari ini, dengan senang hati ia mendengarkan curhatan Satria. Bahwa, perbuatan istri Satria membuatnyan kesal. Nara bisa merasakan kalau dirinya selama jadi istri Damian tak pernah seperti itu. Malahan Damian lah yang berselingkuh.

"Maaf ya, Sat. Aku baru tahu kalau kamu sudah nikah. Tapi, sebelum kamu nikah dengan dia, apa sudah lama kenal?"

Satria mengangguk. "Intinya aku tidak tahu lagi bagaimana caranya mengubah kebiasaan buruk dia. Aku sayang dia, Nara."

"Hmm... menurut aku sih, kamu pelan-pelan saja. Memang pengantin baru harus butuh waktu untuk saling menyesuaikan." Nara menengahi masalah mereka.

Satria yang terlalu galau tak tahu berbicara pada orang yang juga punya masalah rumah tangga lebih hancur dari dirinya. Tidak! Justru sudah hancur dan berakhir.

Mereka yang tengah asik mengobrol dikagetkan kedatangan seorang perempuan. Seketika kantin kantor senyap. Ya iya senyap, yang ada di sana hanyalah Satria dan Nara. Kini yang datang melotot terkesiap. Aruna. Dia datang ke kantor Satria.

Satria mengelap bibirnya sesaat sehabis meneguk minuman berperisa jeruk. "Sayang, kamu tumben ke kantor aku," sapa Satria pada istrinya, Aruna. Meskipun semalam ribut, kesabaran hati Satria sanggup menciptakan suasana biasa aja hari ini.

Aruna hanya tersenyum kecut. Seraya melirik Nara di sampingnya. Matanya menatap hina perempuan yang semeja dengan suaminya.

"Nara ini istri aku," ucap Satria. "Sayang, dia SPV baru di perusahaanku." Satria pun menjelaskan juga pada istrinya yang baru datang.

Nara mengangguk melayangkan senyum pada Satria. Tetapi tidak pada Nara.

"Terima kasih, Pak untuk makan siang yang lezat ini." Nara pergi setelah saling bertatapan kejam dengan Aruna. Tanpa menjaga image untuk berkenalan terlebih dahulu dengan istri manajernya itu sebelum lenyap dari hadapan mereka.

"Wanita sialan itu ternyata istri Satria. Tak kuduga pria sebaik Satria mendapat wanita PHO seperti Aruna. Dasar jalang!" Di pikiran Nara mulai memikirkan hal-hal yang membangkitkan dendamnya.

***

Burung bersiul menyambut Nara saat matahari mulai terbit. Bertemu seorang wanita pembawa toxic membuatnya lumayan lelah.

"Sudahlah, yang penting aku harus bangun sekarang. Karena sebentar lagi aku harus ketemu Rafael," lirih Nara.

Tok... tok... tok...

Nara membuka sendiri pintu rumah Damian, sebab sapaan dan ketukan sopan tak membuat mantan suaminya itu membukakan pintu.

Didapatinya Aruna sedang duduk di ruang tamu bersama Damian. Kalau dibilang sakit, pasti sakit. Kalau dibilang tidak, Nara memang sudah rela suaminya menalaknya.

"Aku jemput Rafael," ucapnya singkat menatap mereka berdua di satu sofa yang sama. Damian mengangguk tanpa menjaga sedikit pun perasaan Nara. Belasan tahun bersama Nara tak membuat Damian mengasihaninya sedikit pun.

Wanita PHO itu memiliki pengaruh lebih kuat dibanding dirinya yang sudah beranak seorang putra itu.

Nara bergegas menuju kamar tidur Rafael. Didapatinya Rafael masih tidur. Rafael nampaknya terlalu emosi dulu, hingga menolak kehadiran ibu kandungnya itu.

Seorang ibu memang harus tetap sabar meskipun anaknya menolak dirinya yang melahirkan. Betapa sakitnya hal tersebut, tapi itulah seorang ibu yang tak kan lepas dari kata yang namanya pengorbanan.

"Rafael."

"Sayang, bangun dong. Sudah siang nih. Katanya mau pergi dengan mama," ucap Nara sembari menitikan air mata. Ia rindu sekali putranya itu. Tak terasa umurnya sudah 11 tahun. Baru kemarin rasanya mengandung 9 bulan. Mau apa-apa susah, makanan tidak bebas apalagi sewaktu melahirkan rasanya mau mati. Tak cukup sampai di sana saat membesarkan pun perlu pengorbanan tenaga, waktu, fisik dan pikiran.

Nara senang melakukannya untuk putranya. Namun, yang membuatnya sakit saat ini adalah harus berpisah dengan salah seorang bagian keluarganya. Terutama Damian juga, belasan tahun bersama tapi ia lebih memilih wanita yang lebih mirip lonte.

"Mama?"

Cepat-cepat Nara menghapus air mata. Ia takut Rafael melihatnya, didikan dari contoh seorang ibu sangat ia tekankan. Terutama harus terlihat bahagia, kuat dan bijaksana.

Memang sulit kalau harus setiap saat berdrama di depan anak agar kesehatan mentalnya terjaga dan bisa tumbuh berkembang dengan baik.

"Rafael sayang, ayo bangun! Nanti mama ajak kamu sarapan ya..."

"Iya, Ma." Rafael setuju dengan permintaan mamanya. Apa dia sadar atau sekedar merindukan mamanya? Entah, Rafael kali ini terlihat lebih baik.

***

Setelah sarapan, Nara melanjutkan perjalanan ke Mall. Dia ingin Rafael bisa lebih dekat lagi dengannya setelah lama tidak bertemu.

"Nak, apa kamu tahu hubungan Ayah kamu dengan tante itu?" Nara bertanya to the point pada Rafael.

Rafael menggeleng berkata, "maksud mama?"

Nara menghela napas, harusnya Rafael tidak boleh ikut dalam masalahnya. "Maaf, sayang. Mama mau tanya, itu tante yang tadi sama Ayah kamu. Apa mereka sering bertemu?"

"Iya, Ma. Sering kok. Tapi, Rafael taunya di rumah aja. Ayah juga sering bilang mau keluar sama dia," jelas Rafael.

Nara ragu. "Apa kamu disuruh sendirian di rumah?"

"Iya, Ma. Aku sendirian di rumah."

Mereka menaiki eskalator sambil bercakap-cakap. Tak perlu keliling di lantai 1 mereka memilih pergi langsung ke lantai 3.

"Ma, Ayah juga sering beliin tante Aruna banyak pakaian sama tas," ujar putranya.

Nara tak ingin melanjutkannya lagi. Terlebih anaknya juga seorang lelaki. "Rafael, mama mau pesan sama kamu, mama tahu saat kamu benci sama mama itu wajar. Kamu masih kecil, masih dikuasai oleh hal yang bukan dari kamu sendiri. Cuma mama mau pesan sama kamu. Rafael harus bisa berpikir jernih ya sayang, turuti mana yang baik dan abaikan yang buruk," ujar Nara sambil menggengam tangan anaknya.

"Misalnya kamu disuruh membenci mama yang melahirkan dan merawat kamu. Apa kamu mau nurut? Coba pikirkan!" Nada Nara halus. Membekali anaknya sesuatu untuk hidup ke depannya.

Rafael mulai berpikir, ia berkata "iya, Ma. Aku seharusnya bisa menengahi Ayah dan Mama saat bertengkar. Bukan malah membenci satu pihak yaitu Mama. Maaf ya Ma." Rafael yang memang terlatih dari kecil untuk berpikir dengan logika cepat menyadari maksud mamanya itu.

"Iya, sayang. Ini bukan salah kamu, mama dan ayah yang salah. Kamu hanyalah korban. Mama hanya mau kamu lebih tegar dan menyayangi mama dan ayah meski tidak bersama lagi. Ingat kalau sudah besar nanti jangan turuti sifat ayah yang suka menduakan mama. Tapi, tiru sayang ayah ke kamu dan semangat kerjanya. Menyakiti istri sama dengan menyakiti mama kamu sayang…" Nara duduk di kursi mall sebentar.

Rafael mendengarkan dengan baik meski usinya terbilang belum dewasa. Memang anak broken home ada 2 sisi, kadang akan sangat tegar dan bisa jadi liar.

"Iya, Ma. Sudah mama jangan sedih lagi. Lebih baik kita happy-happy dulu di sini. Sebelum Ayah meminta kita pulang," ujar Rafael bersemangat.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel