Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Semangat Nara

Bab 3 Semangat Nara

“Uh, sudah pagi saja…!”

Nara menyangka kalau sang surya bersinar terlalu cepat. Atau waktu yang berputar kian berlari—entah sebenarnya Nara-lah yang salah. Semalam dia lebih bernafsu menghabiskan malam sendirian di kontrakan kecil, tempat tinggal barunya. Sudahlah, tak perlu disesali ataupun diratapi—takdir memihak kepada kehidupannya yang seperti ini.

Bayangan kejadian menyakitkan dalam keluarga kecilnya, tentu masih terngiang-ngiang di otak Nara—membuatnya enggan merasakan sengatan mentari pagi. Wanita yang sudah dikaruniai seorang anak laki-laki yang kini berusia 11 tahun harus merasakan pahitnya persaingan duniawi. Suaminya terlalu cepat lepas landas hingga tak bisa mengendalikan nafsu kejamnya.

Selimut seadanya dengan bantal baru yang sungguh menyiksa kepala Nara dengan senang hati ditarik kembali. Matanya kembali terlelap mumpung jam di handphonenya menunjukkan pukul 07.30 a.m. Semoga saja tidak seperti suami dan anaknya yang ia lahirkan bergantung nyawa—Nara berharap selimut dan bantal seadanya menjadi teman kala rindu menghantam tubuh lemahnya.

“Ya ampun, aku lupa…!” Nara menggerutu setelah dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul 11.00 a.m. Matanya menyatu pada pintu yang lupa ia tutup setelah pergi ke kamar mandi. Ternyata Nara lupa kalau saat ini dia tinggal sendiri. Dengan santainya, bisa-bisanya Nara lupa kalau dia harus masak dan membereskan ruangan kecilnya itu.

Nara perlahan mengikat rambutnya, melepaskan pelukan dari guling juga selimut yang menutupinya semalam. Melipatnya kembali kemudian menaruh di atas kasur dengan sprei baru yang ia beli saat pindah ke kos sempit itu.

Ting…ting…ting!

Nara menengok ke arah suara yang mengundang perut laparnya. Sudah diduga tukang bubur lewat depan deretan kosnya. Dengan semangat, Nara bangkit—sebelum itu ia meraih dompet yang berada di samping tempat tidur yang ternyata hanya sisa 15.000 rupiah. Itu pun cashback dari tuan kos sehabis membayar lunas uang muka sekaligus bayaran untuk sebulan.

"Mas, mas!" Nara bergegas menahan tukang bubur sebelum benar-benar lenyap dari sana. "Buburnya masih?"

Mas tukang bubur menggeleng pelan. Padahal dalam hati dia heran, kenapa jam segini baru niat beli bubur. "Maaf, mbak. Ini sudah hampir makan siang. Bubur saya dari pagi udah habis," sahutnya dengan muka malas.

"Lho... tapi, kok mas masih ketuk-ketuk mangkoknya?" Nara heran, padahal niatnya mau beli tapi masnya malah seperti tidak suka pada Nara. Apa karena pakaiannya yang kurang sopan? Ya sudahlah. Nara memilih pergi daripada mengintrogasi tukang bubur itu.

"Orang cuma iseng aja, eh taunya ada orang datang," bisik tukang bubur setelah Nara berlalu.

Nara bingung, perutnya sama sekali belum menyentuh sedikitpun makanan atau minuman. Tidurnya terlalu lelap setelah merasa tenang, sehari saja tidak berdebat ribut dengan Damian membuat hidupnya sedikit lebih baik.

Meskipun kesedihan tak bisa dilupakan. Bagaimana bisa? Puluhan tahun sudah masa-masa indah mereka lewati bersama. Suka maupun duka dijalani dengan seksama. Entah apa daya, jika perempuan itu tak datang. Mungkin hidupnya tidak begini.

Atau? Suaminya itu yang terlalu murahan. Apa kurangnya Nara coba? Berkali-kali pun Nara bertanya dalam hati--tak akan ada jawaban. Bahkan kenyataan tak kan berbalik menjadi lebih baik. Takdir tetaplah hari ini, hari di mana jalan yang harus ditempu mau tidak mau oleh Nara.

"Mau cari makan di mana nih? Aku gak tau di mana ya di sini ada makanan murah? Hmmm..." Nara berpikir lama. Makanan apapun itu, intinya Nara harus makan sekarang.

***

Beberapa minggu menjalani hari-hari. Nara semakin bosan dan kesepian. Saat diam justru dendamnya makin terpendam bersama angan-angan. Satu satunya solusi adalah Nara harus menyibukan diri agar bisa membalas dendam sekaligus memperbaiki diri.

"Aku juga bisa. Perempuan bisa hidup kok tanpa lelaki hidung belang semacam dia, Damian!!!"

Nara memutuskan mencari pekerjaan. Bermodal jalan kaki, Nara sanggup kok keliling kota meletakkan satu persatu surat lamarannya.

Nara menyetrika baju kemeja yang sangat kusut. Sekusut jalan kehidupannya. Pagi ini ia berharap semuanya membaik. Tak lupa ia mandi dan menyiapkan diri sesegar mungkin. Pendidikannya yang lumayan tinggi cukup membuat Nara percaya diri kalau pasti ada saja perusahaan yang tertarik dengan dirinya.

Sprshhh... sprshhh

Parfum beraroma lembut disemprotkan di sekujur pakaiannya. Tas digendong dan berkas-berkas di dalamnya sudah siap. Begitu juga senyum yang menandakan mood Nara yang sangat semangat hari ini.

"Semoga hari ini rencanaku sepihak dengan rencana Tuhan."

Nara bergegas Melangkah menuju tujuannya. Dengan tenaga penuh Nara percaya kalau hari ini dia pasti dapat kerja.

"Aku mulai dari mana ya?" Nara melihat daftar perusahaan di handphonenya yang sekiranya sesuai dengan kemampuan Nara.

Nara memutuskan mendatangi sebuah perusahaan yang dekat juga searah. Kali ini Nara harus hemat tenaga, kakinya harus memilih jalan lenih dekat dan searah.

Tepat di depan kantor tersebut, Nara melihat sepi saja. Apa tidak ada saingan interview? Atau memang sudah habis masa waktu lokernya. Nara bingung. Ia mencoba masuk. Perusahaan asuransi ternama, dengan logo yang cukup menarik.

Nara merasa yakin. Kalau lowongan yang ia temukan lewat internet lumayan bisa dipercaya, pikirnya panjang.

Nara melangkah maju menuju ruangan yang di sana bertuliskan sebuah nama perusahaan asuransi tersebut.

"Selamat pagi, Bu."

Nara yang sedang fokus membaca sebuah pengumuman dikejutkan oleh seorang satpam yang tiba-tiba saja sudah ada di belakangnya.

"Ouh, maaf Pak. Saya Nara." Nara mengangkat tangan bersalaman.

"Ya," jawab bapak itu singkat.

Cepat-cepat satpam tersebut menyeret Nara, menjauh dari tempat tersebut. Hingga mereka berdua sampai di depan gerbang tadi.

"Biar saya beritahu, ibu jangan datang ke sini lagi. Saya juga kena tipu. Dan sekarang saya mau mundur alon-alon dari perusahaan ini. Mereka tak tau kalau saya sudah peka dengan siasat mereka. Sudahlah Bu itu saja."

Nara termangu, perkataan bapak itu sungguh cepat . "Tapi..."

"Cepat pergi! Dasar orang gila, ini bukan hotel Bu, ini tempat asuransi!!!" teriak satpam itu sambil mengedipkan mata. Sedetik setelah dia menyadari kedatang manajernya.

"Maaf, Pak itu tadi ada yang kesasar. Rempong banget, sudah saya bilang kalau ini bukan hotel. Dia ngotot tetap bilang mau menginap," jelas satpam panjang lebar meyakinkan manajernya yang kiranya hendak keluar mendapati satpam mengusir salah satu klien tipuannya.

Nara yang sudah jauh dari tempat kejadian, terus memikirkan kenapa bapak itu baik sekali. Menyelamatkannya dari dunia tipu-tipu. Beruntung sekali hari ini. Setelah mencakupkan tangan pada Tuhan, mujur juga.

Hati Nara sedikit damai. Selangkah lagi mungkin Nara akan menemukan pekerjaan. Senyumnya masih terukir indah dengan sedikit polesan lipstik pemanis. Walaupun perut Nara semakin demo besar-besaran. Beruntung air yang menjadi bekal perjalannya bisa menahan sebentar sebelum akhirnya sampai ke tempat tujuan.

Melihat lewat aplikasi peta digital, Nara diberitahu kalau satu lagi harapan yang Nara tuju setelah melewati lima perusahaan lebih akan sampai dalam 30 menit dengan berjalan kaki lewat jalan pintas.

Sedangkan matahari semakin membuat kepala Nara kepanasan. Perutnya juga semakin berteriak kesal.

"Apa aku istirahat saja dulu?"

Tapi, Nara hanya membawa uang 10 ribu rupiah sisa membeli 2 buah mie instan 2 hari. Kalau sekarang ia harus membeli makanan yang lebih murah dari itu.

Akhirnya Nara sampai di salah satu perusahaan Yogurt yang lumayan naik daun akhir-akhir ini. Setelah membekali perutnya dengan dua mangkuk mie kuah yang dibeli depan gang tadi.

"Perkenalkan nama saya Satria," ucap seseorang yang menyambutnya dengan baik tadi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel