Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Perpisahan

Bab 2 Perpisahan

Sejak semalam Nara tidak bisa tidur, mereka masih satu rumah tetapi sebentar lagi berpisah. Nara harus apa, bertahan sama saja membenarkan apa yang suaminya lakukan. Bila berpisah anaknya pasti akan benci. Pilihan satu-satunya ia ingi lenyap dari dunia ini. Sayang Nara tidak punya keberanian untuk itu. Dia juga masih ingin mendapat masa depan yang lebih baik.

Pikiran Nara tidak bisa untuk menerima semua ini. Tapi hatinya seperti membaik, ada satu hal yang tidak bisa ia ikhlaskan. Anak satu-satunya yang ia miliki mungkinkah mau hidup susah dengannya?

Tanpa ia pungkiri ternyata di meja hijau adalah akhir dari hubungan mereka. Ternyata benar, bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Nara kini hanya bisa pasrah, entah ia akan mati besok atau bagaimana yang penting ia sekarang berjuang untuk bertahan.

Suaminya yang sebentar lagi akan menjadi mantan sama sekali tidak peduli, di sini ia sendiri yang merasa hatinya perih dan makin menyepi. Anaknya juga nampak menjauh darinya. Belum apa-apa dia sudah rapuh seperti ini, hingga dalam lubuk hati ia merasa bahwa tidak akan sanggup untuk hidup ke depannya.

Palu diketuk, putusan telah menyatakan bahwa mereka resmi bercerai. Hak asuh anak jatuh kepada suaminya. Nara tidak bisa mendapat hak asuh karena dia divonis bukan ibu yang baik dan dia tidak akan bisa membiayai anaknya setelah bercerai.

Hati Nara mencelos, tak menyangka bahwa akhirnya tak ada yang dapat ia perjuangkan. Anak yang ia kandung selama sembilan bulan tak juga memperlihatkan kepedulian terhadap dirinya. Di saat seperti ini adalah masa yang paling bawah dalam hidupnya. Ia harus berusaha agar bisa mengikhlaskan semuanya. Mungkin ini adalah jalan baru baginya.

“Rafa!” panggil Nara pada anaknya yang hampir pergi bersama ayahnya tanpa menengok sedikit pun ke arahnya.

Karena tidak kunjung dipedulikan. Nara langsung dengan paksa menarik tangan Rafael. Terlihat sekali wajahnya begitu kesal saat Nara mencoba menatap begitu penjelasan. Sungguh ini sangat menyakitkan.

“Kamu kenapa begitu? Mama manggil kamu!” marah Nara. Apa sebenarnya yang sudah dikatakan ayahnya sehingga Rafael berubah seperti ini. Dia seperti sangat membenci ibu kandungnya.

“Kamu bukan mamaku lagi,” tangis Rafael tiba-tiba. Damian yang ada di sana memberi kesempatan keduanya untuk berbincang.

“Kenapa kamu berbicara seperti itu?” Nara tidak dapat lagi membendung lagi amarah bercampur kesedihannya.

Rafael menangis sesenggukan, nampaknya dia pun tidak rela keluarganya terpecah belah seperti ini. Namun apa daya dia bukanlah apa-apa dan tidak bisa mengubah keadaan.

“Mama kenapa tega meninggalkan kita? Apa mama ingin mencari keluarga baru? Mama tidak sayang Rafael?” tanya Rafael begitu sedih.

“Bukan begitu sayang, Mama melakukan ini demi kebaikan kita,” sanggah Nara yang juga tidak berani mengatakan kalau sebenarnya pemimpin mereka sedang mencoba untuk kabur dan diam-diam membentuk keluarga baru. Bukan untuk apa, Nara sengaja diam agar anaknya tidak terpuruk akan semua ini. Nara tahu bahwa anaknya sangat sayang dan patuh dengan ayahnya. Jadi lebih baik dia mengikhlaskan semuanya.

“Kebaikan apa, Ma? Jelas-jelas Mama mengorbankan perasaan Mama demi orang lain!” teriak Rafael sangat marah dengan Nara.

Nara hanya mampu terdiam tak bisa berucap, apapun yang sekarang terjadi sudah terlanjur. Tidak akan ada kepercayaan lagi untuk dirinya.

Rafael langsung berbalik arah saat mengetahui Nara terdiam seakan tak mampu menjawab pertanyaannya.

Untuk ke berapa kalinya, Nara pasrah tetapi masih kuat untuk menjalani semuanya demi tujuan barunya. Dia sudah lelah memikirkan semuanya, lebih baik dia melupakan semuanya dan melanjutkan hidupnya sendiri. Dia memang harus berani mengambil keputusan, meski status barunya akan membuat kehidupan sosialnya menjadi terhambat.

Nara berjalan tanpa arah, ke mana ia harus melangkah. Sudah tidak ada lagi rumah yang bisa ia pijak. Belum lagi penghakiman yang harus ia terima dari semua orang. Mereka kerap kali mengatakan perempuan yang tega meninggalkan anaknya, padahal semuanya tidak benar. Kalau saja pemimpinnya baik, untuk apa dia pergi. Mungkin untuk berniat saja tidak akan ada.

Lalu apa yang harus Nara lakukan, apa dia harus bertahan dengan siksaan yang perlahan menghancurkannya.

“AAHHH! Sudahlah, ini memang pilihanku. Tapi kenapa semuanya serasa berat!” teriaknya saat berjalan menyusuri gang. Nara berjalan dari tempat pengadilan, dia tidak punya apa-apa untuk sekedar membayar semuanya. Uangnya sudah habis untuk biaya perkara.

Nara duduk sebentar, semua masih seperti mimpi. Rasanya baru kemarin ia berkencan dengan suaminya. Sekarang itu cuma kenangan yang menyesakkan.

Tanpa sisa uang, Nara mencoba untuk mencari kos sembari mencari pekerjaan. Semoga ada yang bisa menyewakan kos tanpa uang muka. Nara sudah tidak tahu lagi harus ke mana. Tidak mungkin dia menginap di hotel merah putih alias pertamina, bisa-bisa dia dikira wanita tidak benar.

Merasa kakinya lelah, Nara kembali duduk. Dia tidak bisa kalau begini terus. Bisa-bisa dia mati sia-sia di jalanan. Dan sekarang perutnya lapar. Tetapi sekejap dia bangkit kembali.

“Tidak, aku tidak bisa seperti ini. Semuanya masih belum terlambat,” Nara kembali menyemangati dirinya sendiri meski ia merasa tidak ada topangan lagi yang bisa menyangga hidupnya.

Sampailah Nara pada kos di mana ia dulu pernah lewati, ia tahu di daerah sini banyak ada kos-kosan. Mungkin salah satu dari mereka ada yang mau untuk memberikan membayar belakangan.

Tepat sekali ada rumah yang berisi plang “menerima kos”. Nara sangat senang, semoga ia bisa mendapatkan tempat berteduh, bekal satu-satunya adalah ijazahnya.

Tapi sayang nampaknya Nara kurang beruntung, rumah itu sepi. Nara juga tidak dapat berbuat apa, mau memanggil pun takut jika menganggu apalagi dia tidak akan membayar dulu. Ini akan sangat memalukan, Nara merasa sudah tidak punya wajah lagi.

Lelah kembali melanda Nara. Dia terpaksa duduk di tepi jalan sembari merilekskan kakinya yang sudah mulai pegal.

“Pokoknya kamu jangan mau dekat-dekat dengan ibumu itu. Ayah tidak suka, dia sudah tega meninggalkan kita,” ujar Damian dalam mobil kepada anaknya. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam sebenarnya ia tidak rela kalau Nara memilih meninggalkannya. Damian tahu ini salahnya, tapi karena Nara bak menantangnya mau tidak mau dia sebagai lelaki harus menerima semuanya. Harga dirinya tidak boleh diinjak seorang wanita. Lagi pula dia tetap mempunyai hak atas anaknya, sedangkan wanita yang sudah bukan lagi istrinya tidak mendapatkan apa-apa. Warisan pun tidak. Jadi, tidak ada untungnya Nara pergi sedangkan ia meraup banyak keuntungan sekarang. Dia bisa bebas untuk memadu kasih dengan Aruna.

“Iya, Ayah,” jawab Rafael pelan. Tidak ada yang bisa mengerti perasaannya, dia ingin bersama ibunya tetapi dia juga marah atas keputusan ibunya. Entahlah dia merasa hidupnya tak bermakna.

Rafael hanya bisa terdiam memikirkan bahwa semua ini bukanlah mimpi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel