5. Meminta Tantangan
Mendapat jawaban yang ditakuti, Minnie spontan mengembuskan napas cepat dari mulutnya. “Kenapa dia gigih sekali? Padahal, di luar sana banyak gadis yang setara dengannya. Kenapa harus mencari istri dari kalangan rendah seperti kita?” gumam wanita tua itu dengan alis berkerut.
Mengerti keresahan sang ibu, Mia pun mengusap lengan wanita itu. “Tapi Ibu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan terpengaruh oleh rayuannya. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan menerima cintanya.”
“Apakah kau yakin?” selidik Minnie dengan suara tipis.
“Yakin, Bu. Jika tidak, mana mungkin aku bisa bertahan sampai selama ini.”
Melihat senyum kecil putrinya, sang pelayan menghela napas lega. “Terima kasih, Mia. Kau sudah tumbuh menjadi wanita dewasa yang sangat bijak. Maaf jika Ibu tidak merestui hubungan kalian. Ibu tidak ingin putriku yang cantik ditindas karena menikah dengan pria dari kalangan atas.”
“Ya. Aku mengerti, Bu,” angguk Mia tanpa menambahkan embel-embel. Ia tidak mau jika sang ibu mengetahui kesehariannya di kantor, di mana orang-orang sudah ramai membicarakan tentang dirinya.
“Sekarang, apa yang akan kau lakukan, Mia? Apakah kau hanya ingin menunggu sampai Tuan CEO menyerah? Atau memilih jalan pintas?” tanya sang pelayan, membuyarkan lamunan putrinya.
“Jalan pintas?”
Sang wanita tua pun menaikkan alis dan berkedip-kedip mencari penjelasan yang tepat. “Begini ... apakah kau keberatan jika dikenalkan dengan putra teman Ibu? Mungkin, jika dirimu dekat dengan laki-laki lain, Tuan CEO tidak akan mengejarmu lagi.”
Mendengar ide sang ibu, Mia pun bergeming. Dalam diam, ia mempertimbangkan konsekuensi yang harus dihadapi jika nekat setuju.
“Tapi, jika ternyata dia menyukaiku sedangkan aku tidak, bukankah akan ada lebih banyak hati yang terluka?” ucap Mia pelan dan datar.
Dalam sekejap, antusiasme Minnie menciut. Ekspresi sang putri jelas menampakkan keberatan. “Apakah kau tidak mau mencoba dulu? Siapa tahu, pria itu sesuai dengan pilihan hatimu.”
Dengan senyum terkulum, Mia menggeleng sopan. “Tidak, Bu. Lebih baik, jangan. Aku tidak ingin menambah satu orang gila di muka bumi ini.”
Mendengar gurauan sang putri, Minnie akhirnya tertawa kecil. “Putri Ibu memang sangat menarik. Tidak heran banyak laki-laki yang jatuh hati padamu.”
“Percuma banyak kalau belum ada yang berhasil masuk ke dalam hatiku, Bu,” celetuk Mia sambil mengangkat pundak ringan.
“Tidak apa-apa. Jodoh pasti datang di saat yang tepat. Lagipula, kau masih muda. Ibu saja yang tergesa-gesa mengharapkan cucu.”
Mengetahui bahwa sang ibu sama sekali tidak curiga, Mia diam-diam menarik napas lega. Hatinya memang masih harus dijaga ketat agar tak seorang pun mencuri rahasianya, termasuk sang ibu. Ia tidak dapat membayangkan jika Minnie mengetahui bahwa putri semata wayangnya telah gagal mengendalikan perasaan. Gadis itu tidak ingin sang ibu mengasihani cintanya yang sangat menyedihkan.
***
“Apakah kau berniat untuk bungkam seharian?” tanya Julian yang tidak nyaman dengan suasana beku di sekitarnya.
Mia hanya bersuara untuk menjawab pertanyaan, sementara bibirnya hanya melengkung untuk menyapa orang lain yang bahkan tidak tersenyum kepadanya.
“Ya,” sahut gadis itu tanpa beban.
“Kenapa?”
“Karena saya sudah memutuskan untuk berhenti membuat Anda salah paham,” jawab sang sekretaris sukses membuat Julian memijat pelipis.
Setelah berhasil mengumpulkan kesabaran, pria itu mencondongkan badan ke depan dan meletakkan siku di atas meja. “Aku sedang tidak ingin bertengkar. Tapi, ada hal penting yang harus segera kukatakan,” ucapnya tegas.
“Jika soal pekerjaan, akan kudengarkan,” angguk Mia tanpa sedikit pun keraguan.
“Aku ingin membuktikan bahwa diriku bisa berubah,” ujar Julian, mengabaikan peringatan sang gadis.
Mengetahui arah pembicaraan sang CEO, Mia langsung berbalik dan berjalan menuju pintu. Tak ingin membiarkan gadis itu lolos, Julian segera beranjak dan menahan lengan kurus sang sekretaris.
“Kumohon, dengarkan aku, Mia. Aku tidak akan bisa fokus bekerja jika kau terus bersikap seperti ini. Apakah kau tega mengganggu kinerja Quebracha?”
Selang satu dengusan, sang gadis menaikkan dagu. “Apa yang ingin Tuan sampaikan? Katakan dengan singkat, jelas, dan padat.”
“Beri aku tantangan.”
Mendengar kalimat yang terlalu ringkas, alis sang sekretaris otomatis melengkung menggambarkan kebingungan. “Apa maksud Anda?”
“Aku ingin membuktikan bahwa diriku bisa menjadi pria yang kau andalkan. Yang memiliki keberanian, pengendalian diri, dan tidak egois. Karena itu, berilah aku tantangan.”
Melihat kesungguhan sang CEO, Mia pun memiringkan kepala. “Apakah Anda yakin?”
“Ya. Tentu saja. Jika aku bisa menyelesaikan semua tantangan, kuharap tidak ada lagi keraguan dalam hatimu. Aku memang serius mencintaimu dan rela melakukan apa saja demi bisa hidup bersamamu.”
“Apakah Tuan sedang melamar saya?” tanya sang sekretaris tanpa terduga.
“Jangan mengalihkan pembicaraan, Mia. Berikan saja tantangan yang harus kutaklukkan.”
Mengetahui bahwa dirinya tidak akan bisa lolos dari keinginan sang CEO, gadis itu pun mengerutkan sebelah alis. “Baiklah, kalau Anda menginginkan tantangan. Berikan saya waktu untuk memikirkannya.”
“Satu hari,” ucap Julian sambil mengacungkan telunjuk dengan penuh semangat. Ia tidak menduga bahwa saran Gabriella ternyata berguna. “Besok, kau harus menyampaikan apa saja tantangan itu.”
“Deal.”
“Deal!”
***
“Jadi, tantangan apa yang sudah kau siapkan untukku, Mia?” tanya Julian dengan mata berbinar-binar. Sudut bibir pria itu telah terangkat setinggi semangatnya.
“Ini masih jam kerja, Tuan. Tidak bisakah Anda menunggu sampai waktunya pulang? Saya tidak ingin memengaruhi kinerja CEO Quebracha.”
“Memengaruhi bagaimana?” selidik Julian dengan alis yang sedikit berkerut.
Senyum misterius seketika menghiasi wajah sang sekretaris. “Saya rasa, tantangan itu akan menghantui pikiran Anda seharian. Saya tidak mau Anda terbebani oleh hal itu dan kehilangan fokus.”
Sedetik kemudian, sang pria mendesah tak percaya. “Apakah kau sedang meremehkanku? Tenang saja, aku tidak akan terpengaruh. Lagipula, hari ini sudah tidak ada pertemuan yang harus kita hadiri. Jadi, kau bisa mengatakannya sekarang,” angguk Julian yakin.
“Begitukah?”
Sekali lagi, sang pria mengangguk.
“Baiklah,” gumam Mia sembari menarik kursi di depan meja sang CEO lalu duduk di sana.
“Saya telah memikirkan tiga tantangan untuk Anda. Masing-masing merepresentasikan keberanian, pengendalian diri, dan kemanusiaan.”
“Kemanusiaan?” tanya Julian dengan sebelah alis menciut.
Setelah berkedip tanpa dosa, Mia membenarkan. “Bukankah itu berlawanan dengan sifat egois? Jika egoisme berarti hanya mementingkan diri sendiri, rasa kemanusiaan justru merujuk pada kepedulian terhadap orang lain.”
Selang satu helaan napas lelah, sang pria mengangkat telunjuk, mengirimkan sinyal kepada Mia untuk berhenti bicara. “Apakah mungkin, kau memintaku untuk mengadakan bakti sosial?” terka Julian.
Dengan ringan, sang sekretaris mengangkat bahu. “Entahlah, tantangan kedua dan ketiga belum boleh diberitahu.”
“Kenapa?”
“Karena Tuan belum melewati tantangan pertama. Untuk apa dijelaskan jika nanti tidak terlaksana. Itu hanya akan membuang waktu dan suara saja,” sahut Mia, sukses membuat sang CEO kembali menghela napas.
“Ternyata, kau memang meremehkanku?” gerutu Julian sambil menggeleng kecewa.
Sedetik kemudian, sang sekretaris menjawab, “Bukan meremehkan, tapi memprediksi masa depan. Kemungkinan Anda berhasil melewati tantangan ini hanya 20%, Tuan.”
Mendengar angka yang begitu kecil, tangan sang pria otomatis mengepal. “Kenapa serendah itu? Memangnya, apa yang kau siapkan?”
Tiba-tiba, sebelah sudut bibir Mia terangkat misterius.