4. Mencari Pencerahan
“Halo, Pangeran Kecil!”
Seorang wanita yang sedang memegangi putranya dalam bak mandi pun menoleh. Begitu melihat kehadiran Julian, ia langsung melambaikan jari-jari mungil sang bayi. “Halo, Paman,” ucapnya meniru suara anak kecil.
Begitu tangannya lepas dari genggaman sang ibu, Cayden langsung menepuk-nepuk air dengan gembira.
“Kenapa dia mandi malam-malam begini?” tanya Julian sembari ikut duduk di tepi bak mandi.
“Max memberinya sekotak es krim,” jawab Gabriella tanpa perlu menyertakan detail. Sang kakak ipar sudah bisa membayangkan apa yang terjadi selanjutnya.
“Di mana adikku itu?” tanya Julian setelah mengangguk-angguk sejenak.
Sambil mengangkat sang bayi keluar dari air hangat, wanita itu menjawab, “Di ruang kerja, sedang menerima telepon dari klien.”
Selang keheningan sejenak, Gabriella akhirnya menoleh ke arah pintu. “Lalu, di mana Mia? Kupikir kalian akan ke sini bersama-sama.”
Mendengar nama itu, helaan napas lelah langsung berembus dari mulut sang pria. “Itulah yang ingin kubahas denganmu. Kami bertengkar hebat tadi, dan dia akhirnya mengatakan alasannya enggan menerima cintaku.”
Sembari membungkus Cayden dengan handuk, sang wanita menaikkan alis. “Apa alasannya?”
“Karena aku pengecut, tidak bisa mengendalikan diri, dan egois. Tapi aku yakin, itu semua hanya karangan. Dia pasti masih menyimpan alasan yang sesungguhnya.”
“Mia berkata seperti itu?” tanya Gabriella dengan nada tak percaya. Setelah berkedip-kedip cepat, ia berjalan menuju kamar dengan bayi yang asyik memainkan bulu-bulu halus di sekeliling tubuhnya.
“Ya. Dia bahkan mengatakan bahwa kebaikan dan perhatiannya kepadaku selama ini adalah bentuk dari rasa iba. Apakah kau bisa membayangkan kondisi hatiku?”
Tanpa berpikir panjang, Gabriella menggeleng cepat. “Aku tidak percaya seorang Mia bisa berkata seperti itu. Kita tidak sedang membicarakan Amber, ‘kan?” celetuknya sembari membaringkan Cayden di atas ranjang.
Mendengar nama yang telah lama hilang, raut Julian mendadak kaku. “Apa mungkin ... Mia bersikap begitu karena Amber telah kembali? Dia mengancam Mia lagi?”
“Tidak mungkin. Amber baru saja melakukan live video di media sosialnya. Dia sedang bermain seluncur salju entah di negara mana. Mungkin, perempuan itu mulai bisa melupakanmu.”
“Mustahil,” celetuk pria yang mulai asyik menemani keponakannya bermain handuk selagi Gabriella membuka lemari. “Perempuan licik seperti Amber tidak boleh mudah dipercaya. Dia mempunyai sejuta cara untuk mendapatkan keinginannya. Apakah kau tidak ingat betapa gigihnya dia saat mengincar suamimu?”
Sedetik kemudian, tawa kecil terlepas dari mulut Gabriella. “Ya, dia memang terlalu gigih. Tapi kau jangan lupa. Pada akhirnya, dia melepas Max dan beralih kepadamu. Setelah itu, tidak ada kabar tentang laki-laki lain di sekitarnya. Jadi, kemungkinan besar, dia masih menginginkanmu.”
Bosan membahas tentang sang mantan kekasih, Julian pun menghela napas. “Bagaimana kalau kita kembali fokus pada masalah utama. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku merasa kalau Mia semakin jauh dariku.”
“Yayayaya ...” oceh Cayden sukses menguraikan kerutan di pangkal alis pamannya.
“Benar. Kau harus mendengarkan perkataan Pangeran Kecil, Julian. Anak seusianya saja tahu harus bagaimana,” timpal Gabriella sembari mengoleskan lotion pada tubuh putranya.
Menyaksikan kerja sama ibu dan anak itu, sang pria pun mengerjap. “Memangnya, apa yang Cayden katakan?”
“Jangan menyerah dan teruslah berusaha.”
Mendapat jawaban yang begitu umum, Julian spontan meringis. “Aku sudah mencoba semua cara dan hasilnya malah seperti ini, Gabriella,” ucapnya hampir putus asa. “Kurasa, sebelum alasan Mia yang sebenarnya terungkap, aku akan tetap berada di titik yang sama.”
“Bagaimana kalau kau mengabaikan kecurigaanmu? Anggaplah alasan yang dijabarkan oleh Mia tadi sebagai suatu kejujuran. Apa yang akan kau lakukan?” tanya wanita itu sembari memakaikan popok sang bayi.
“Kalau itu alasan yang sesungguhnya, maka aku harus segera memperbaiki diri.”
Tiba-tiba, Gabriella menjentikkan jari. “Itulah jawabannya. Mengapa tidak kau tunjukkan kesungguhanmu untuk memenuhi kriterianya? Mungkin saja, Mia bisa tersentuh dan mau membuka hati. Kalau perlu, pintalah tantangan darinya.”
“Tantangan?”
Sang wanita spontan menyunggingkan senyum penuh makna meski matanya terus tertuju pada Cayden. Selang beberapa saat, barulah Gabriella mengangguk-angguk. “Ya. Anggap saja tantangan itu sebagai tiket untuk mendapatkan hati Mia. Semakin besar tantangan yang berhasil kau taklukkan, semakin mudah dirimu mendekatinya.”
“Tapi, bagaimana jika dia menolak untuk memberiku tantangan?” timpal sang pria dengan nada ragu.
“Kenapa kau takut sekali dengan risiko, Julian? Jangan pesimis kalau belum mencoba.”
Mendengar ucapan spontan sang adik ipar, pria itu seketika teringat tentang perdebatan dengan Nona Sekretaris. Seiring dengan bangkitnya kesadaran, udara dalam paru-paru Julian mulai bergemuruh.
“Benar. Terlepas dari jujur atau tidaknya omongan itu, aku tetap perlu memperbaiki diri. Aku harus bisa menjadi pria yang berani.”
Mendengar keseriusan dalam ucapan si kakak ipar, sudut bibir Gabriella sontak melengkung naik.
“Bagus! Jagalah semangat itu! Sekarang, karena kau telah menemukan solusi, silakan bermain dengan keponakanmu. Bersantailah dan lepaskan beban pikiran selama beberapa saat. Aku harus mengurus sesuatu,” ujar wanita itu sembari menyerahkan putranya yang telah rapi dan wangi.
“Mengurus Max, maksudmu? Hei, kalian tidak memanfaatkanku agar bisa bermesraan, ‘kan?” tuduh Julian dengan sebelah alis melengkungkan kecurigaan.
“Maklumilah kami. Kau akan merasakannya nanti,” celetuk Gabriella sebelum berlari ke ruang kerja. Ia tahu, waktu bebasnya sangat terbatas.
Melihat kelakuan adik iparnya, Julian hanya menggeleng pasrah. Namun, begitu melihat bayi bermata bulat yang menggapai-gapai ke arahnya, bibir pria itu langsung membentuk lengkung yang sama.
“Hai, Pangeran Kecil! Apakah kau sudah siap memiliki adik?” tanya Julian sembari memiringkan kepala.
Tanpa terduga, Cayden bertepuk tangan dengan riang. “Yayayaya ....”
Menyaksikan kelucuan itu, Julian pun menarik napas panjang. “Kapan aku bisa memiliki anak kalau keadaannya terus begini?” batinnya resah. Selang perenungan sejenak, ia kembali melebarkan senyuman. “Doakan Paman, Cayden. Semoga saja, Paman bisa memberimu teman bermain secepatnya.”
***
“Kenapa wajahmu tertekuk begitu?” selidik Minnie yang sedari tadi memperhatikan gelagat sang putri.
“Tidak apa-apa, Bu. Hanya sedang memikirkan pekerjaan,” sahut Mia dengan senyum kecil di wajah kurusnya.
Sedetik kemudian, sang pelayan melepas rajutan ke pangkuan. Dengan lembut, ia menepuk-nepuk pipi sang gadis. “Jangan bekerja terlalu keras, Mia. Kau juga memiliki kehidupan di luar kantor.”
Sembari memperlebar senyuman, gadis itu mengangguk. “Ya, Bu.”
“Kalau bisa, luangkan waktumu untuk mencari pacar. Melihat Tuan Herbert menimang cucu, Ibu juga ingin seperti itu,” ujar Minnie sukses mengubah makna dari sorot mata Mia. Gadis itu kembali menemui kesedihan. Namun, sebelum terdeteksi oleh sang ibu, dengus kecil telah menghapus kekakuan.
“Yang seharusnya mencari itu laki-laki, Bu. Perempuan lebih baik menunggu,” timpal Mia ringan.
Tanpa terduga, sang pelayan mengibaskan telapak tangan di depan wajah. “Sejak kapan anak Ibu kuno begini? Zaman sekarang, perempuan juga harus mencari. Jika terus diam di balik meja kerja, jodoh tidak akan bisa melihat.”
Sedetik kemudian, ibu dan anak itu kompak tertawa. Suasana kini menjadi lebih hangat.
“Baiklah, nanti aku akan mengambil cuti. Sepertinya, aku juga perlu penyegaran,” gumam Mia sambil mengangguk-angguk meyakinkan diri sendiri.
“Omong-omong, bagaimana kabar Tuan CEO? Apakah dia masih berharap padamu?” tanya sang ibu dengan hati-hati.
Mengetahui arah pembicaraan, Mia otomatis memasang tampang serius. Setelah merendahkan pandangan, gadis itu mengangguk. “Masih, Bu.”