3. Perdebatan
“Kenapa Anda melakukan itu, Tuan?” serang Mia begitu Julian masuk dan menutup pintu mobilnya.
Dengan alis melengkung tinggi, pria itu membalas, “Melakukan apa?”
“Menghentikan langkah saya di lobi dan terang-terangan menawarkan tumpangan,” sahut sang gadis bersamaan dengan gemuruh napas yang meningkat.
“Apakah ada yang salah?” timpal Julian sama sekali tanpa beban.
Mendapat respon semacam itu, sang sekretaris spontan melepas kekesalan di udara. “Tentu saja salah. Apakah Anda lupa sudah menjadi seorang CEO?”
Tanpa berpikir panjang, sang pria menggeleng. “Tidak.”
“Lalu kenapa Anda tidak menjaga reputasi seperti tadi?”
Tiba-tiba, mata Julian menyipit. “Apakah kau berpikir bahwa menawarimu tumpangan dapat merusak reputasiku?”
“Tentu saja. Semua yang melihat pasti akan berpikiran macam-macam tentang kita.”
Mendengar nada bicara yang mulai naik, sang pria menggeleng tak mengerti. “Selama dua tahun terakhir, kita selalu pulang bersama. Kenapa sekarang kau mendadak berpikir demikian dan keberatan?”
“Karena saya baru sadar. Seorang CEO tidak seharusnya terlalu dekat dengan sekretaris. Itu bisa menimbulkan rasa iri dalam hati pegawai lain,” jawab sang gadis dengan kerutan kecil di pangkal alis.
“Perkataanmu sungguh tidak masuk akal, Mia. Siapa pun pasti tahu bahwa seorang CEO memang paling dekat dengan sekretarisnya.”
“Tapi jam kerja telah berakhir, begitu pula dengan tugasku sebagai sekretaris. Sikap Anda tadi bisa menimbulkan kecurigaan dan kabar miring tentang kita. Mereka akan berpikir kalau kita sedang menjalin hubungan. Anda bisa dicap sebagai CEO yang tidak profesional dan berselera rendah,” sanggah Mia tegas.
Keheningan seketika mencekam. Julian baru saja membaca sesuatu dari bola mata sekretarisnya, sesuatu yang sejak dulu ia cari di sana. Kejujuran.
“Apakah itu alasanmu menolakku selama ini?” desah sang pria tak percaya. “Kau takut kalau hubungan kita menghancurkan reputasiku?”
Hanya dalam sekejap, Mia tersentak. Bibirnya bergetar tanpa kata. Ia telah mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya diketahui oleh Julian.
Demi menutupi isi hati yang telanjur terungkap, gadis itu menggeleng cepat. “Tidak. Jelas bukan itu alasannya.”
“Lalu apa?”
“Karena Anda bukan selera saya, Tuan. Seorang pria yang tidak memiliki keberanian ataupun pengendalian diri sama sekali tidak dapat diandalkan. Hal itu sering membuat saya muak.”
Mendengar pernyataan tersebut, napas Julian sontak menderu. Hatinya tercabik-cabik oleh gejolak rasa yang sulit untuk dideskripsikan.
“Apakah kau tidak pernah sedikit pun mencintaiku?” tanya sang CEO dengan nada rendah dan penuh penekanan.
Sembari mengepalkan tangan, Mia memaksakan kepalanya yang kaku untuk bergerak. “Ya, saya tidak pernah mencintai Anda, Tuan.”
“Omong kosong!” hardik Julian sukses membuat sang gadis menahan napas. “Kau jelas menyimpan perasaan yang sama denganku, Mia. Beberapa kali, aku melihatnya di matamu. Tapi kenapa kau selalu saja menyangkal?”
“Itu hanya imajinasi Anda, Tuan. Saya tidak pernah memiliki perasaan semacam itu. Hubungan kita hanya sebatas anak buah dan atasan.”
“Bohong!”
Sedetik kemudian, Julian mencengkeram kepala dan meringis. “Kalau kau tidak pernah mencintaiku, lalu kenapa kau selalu setia berada di sisiku?” erangnya lirih.
“Karena saya berutang budi pada keluarga Evans. Sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu Anda dalam segala kesulitan.”
Mendengar alasan semacam itu, sang pria menggeleng dan mendesah. “Tidak mungkin. Kau bahkan menangis saat aku hampir mati dulu. Kebaikan dan perhatianmu bukan hanya karena patuh, Mia, tapi karena cinta,” ucapnya dengan nada memelas. Pria itu telah tunduk pada emosi yang menyerupai roller coaster.
Tanda terduga, sang sekretaris mulai tertawa hambar.
“Saya heran kenapa Tuan bersikeras memercayai hal yang tidak nyata. Cinta di antara kita hanyalah angan-angan. Kalau Anda menganggap perhatian saya selama ini sebagai bentuk kasih sayang, maaf, Tuan. Anda salah. Ketimbang cinta, itu lebih mendekati iba,” ucap sang sekretaris dengan mata berkaca-kaca. Butuh segenap tenaga untuk gadis itu mampu melontarkan kata yang begitu kejam.
“Iba? Kau merasa kasihan padaku?” gumam Julian dengan alis melengkung maksimal.
Sambil mengeraskan rahang, Mia mengangguk. “Ya. Karena itu juga, saya tidak pernah mengutarakan alasan mengapa saya tidak bisa menerima Anda. Sudah jelas bahwa Tuan akan terluka, seperti saat ini. Maaf jika saya menyakiti perasaan Anda, tapi begitulah kenyataannya.”
Dalam keheningan, Julian menatap mata sang gadis lekat-lekat. Ia tidak melihat kejujuran di dalamnya. Namun mengapa, kata-kata sang sekretaris terdengar begitu mantap?
“Apa yang membuatmu merasa iba kepadaku?” tanya pria itu dengan suara pelan. Ia masih berharap menemukan celah untuk mendobrak pertahanan hati sang gadis.
“Seperti yang Anda katakan, kita sudah saling mengenal sejak kecil. Baik buruknya sifat Anda telah terdata dalam otak saya,” jawab Mia lancar.
“Kalau begitu, katakanlah. Bagaimana sosok Julian Evans di matamu? Apa saja yang membuatmu merasa iba?”
Mengetahui bahwa sang pria sedang menguji, Mia pun meninggikan dagu. “Bukankah tadi sudah saya sebutkan? Anda tidak memiliki keberanian. Dalam satu hari saja, jari tangan ini tidak cukup untuk menghitung berapa kali Anda meminta konfirmasi saya dalam pengambilan keputusan. Anda terlalu takut menghadapi risiko ataupun kesalahan.”
Belum sempat Julian menanggapi, sang sekretaris telah kembali menyambung bicara. “Selain itu, Anda juga tidak memiliki pengendalian diri. Apakah Tuan pernah menghitung berapa kali Anda meluapkan emosi dalam satu hari?”
“Kau selalu saja menyinggung dua hal itu. Apakah tidak ada yang lain?” tantang Julian yang masih menaruh harapan.
“Ada,” sahut Mia tanpa terduga. Padahal, sang pria mengira bahwa gadis itu akan tergagap atau kebingungan mencari alasan. “Julian Evans adalah pria paling egois yang pernah saya temui.”
Mendengar julukan baru tersebut, alis sang CEO otomatis berkerut. “Tunggu dulu. Aku terima jika dikatakan sebagai pengecut ataupun memiliki kontrol emosi yang rendah. Kau pasti tahu bahwa aku sedang berusaha memperbaiki dua hal itu. Tapi, egois? Sejak kapan kata itu menempel pada diriku?”
“Sejak Anda memaksakan kehendak terhadap saya. Apakah Tuan sadar setiap kali mengklaim bahwa cinta Anda berbalas? Kurasa sudah lebih dari ratusan, atau bahkan ribuan kali. Bukankah itu hanyalah keinginan Anda semata? Salah satu bentuk dari keegoisan.”
Tiba-tiba, Julian tertawa getir. Kegilaan dalam otaknya sudah hampir teraktifkan. “Aku berusaha menyadarkanmu agar menerima kenyataan, tapi kau malah menyebutku egois?” Sambil menggeleng tak percaya, pria itu mendengus. “Sungguh tidak adil,” gumamnya sembari menyalakan mesin.
“Jika Anda tidak ingin dipanggil egois, berhentilah mendesak saya untuk menerima cinta Anda,” pinta Mia lantang meski kerongkongan telah menyempit. Tekadnya untuk bertahan jauh lebih besar dari gejolak dalam dada.
Tanpa memberi jawaban, Julian menginjak pedal gas. Ia tidak peduli jika mesin mobilnya belum panas. Darahnya yang mendidih telah mencapai kepala. Jika perdebatan dilanjutkan, dirinya tidak akan mampu mengendalikan gemuruh napas dan air mata.
Mengetahui kemarahan sang pria, Mia akhirnya terdiam. Dengan tatapan lurus menembus kaca depan, ia mempertahankan tampang dingin. Sesungguhnya, jantung gadis itu juga berdetak tak karuan. Namun, keresahannya bukanlah sesuatu yang bisa diungkapkan.
“Inilah jalan terbaik,” batinnya menenangkan hati yang meronta-ronta. “Mia Sanders bukanlah gadis yang tidak tahu diri. Aku tegar dan mandiri. Rasa ini pasti akan berlalu asalkan Tuan Julian tidak mengungkitnya lagi. Aku hanya perlu bertahan sedikit lebih lama.”