2. Kejujuran
“Memangnya apa yang kau lakukan? Apakah ada yang berbeda dari cara yang biasa?” selidik Gabriella dengan nada santai.
Mendapat pertanyaan semacam itu, sang CEO sontak meringis. Ia baru sadar bahwa emosinya telah mengacaukan rencana. “Tidak ada. Aku hendak memancingnya untuk memberi pendapat tentang diriku. Tapi, aku gagal.”
“Dasar gegabah,” celetuk wanita di seberang ponsel.
Sedetik kemudian, ocehan bayi terdengar seolah menyambung ucapan ibunya. “Yayayaya ....”
“Dengarlah, bahkan keponakanmu setuju denganku.”
Selang satu embusan napas cepat, Julian mengangguk samar. “Benar. Aku memang gegabah.”
“Nanti, cobalah dengan lebih tenang. Jika terus gagal mengendalikan emosi, kau tidak akan pernah mendapat kejelasan darinya. Wanita tidak suka didesak, Julian. Buatlah Mia bicara tanpa tekanan ataupun paksaan.”
Sambil menarik napas panjang, mengumpulkan asa, Julian kembali menegakkan badan. “Baiklah. Aku akan mencobanya lagi.”
“Ingat! Jangan sampai emosimu meledak lagi! Aku tidak mau menerima laporan ke-1000,” tegas Gabriella, sukses mewarnai wajah Julian dengan kengerian.
“Ya. Jika itu sampai terjadi, sepertinya ... kau harus segera mengirimku ke rumah sakit jiwa.”
Setelah obrolan berakhir, Julian beranjak meninggalkan ruangan. Ia sadar bahwa dirinya tidak boleh patah semangat. Namun, begitu membuka pintu, mata pria itu melebar dan lamunannya buyar. Untuk pertama kalinya, ia tidak menemukan sang sekretaris di meja kerja.
“Apakah Mia sudah pulang? Kenapa dia tidak menungguku?” gumam pria itu sambil memeriksa kolong meja. Sesuai dugaan, tidak ada satu pun tas yang tergantung di sana. “Mia benar-benar meninggalkanku?”
Selang perenungan singkat, Julian terkesiap. Sesuatu telah melintas dalam benaknya. Tanpa membuang waktu, ia berjalan cepat, berusaha untuk menemukan sang sekretaris.
“Mia sudah terbiasa menghadapi ledakan emosiku. Tidak mungkin dia marah,” gumam sang pria, menyangkal pemikiran sendiri. Ia tidak bisa membayangkan jika kesabaran sang gadis tidak bersisa. Bagaimana cara mendapatkan hati Mia jika gadis itu tidak lagi mau mendengarkan kata-katanya?
Tepat ketika Julian berbelok, matanya menangkap bayangan sang sekretaris. Gadis itu baru saja memasuki lift.
“Mia!” panggil sang CEO tanpa memperhatikan volume suaranya. Sedetik kemudian, pria itu berlari menghampiri. “Mia!”
Malangnya, ketika ia tiba, pintu telah menutup dan angka pada layar mulai bergerak turun.
“Ck, kenapa dia tidak menggubris panggilanku?” gerutu Julian dengan napas yang mulai menderu. “Apakah dia benar-benar marah?”
Sambil berdecak kesal, sang CEO bergegas masuk ke lift sebelah. Ia tidak tahu bahwa sang sekretaris juga sedang memikirkan hal yang sama tentang dirinya.
“Apakah Tuan Julian marah karena aku pulang begitu saja?” batin sang gadis dengan alis berkerut. Sembari mencengkeram tali tasnya lebih erat, ia menghela napas cepat. “Tidak, tidak. Aku tidak boleh goyah. Mulai sekarang, aku harus bersikap lebih tegas. Tidak boleh ada perhatian lagi. Jangan sampai Tuan Julian menaruh harapan. Pemikirannya tentang aku menyukai Tuan Max sudah melampaui batas. Semua ini harus segera dihentikan sebelum timbul pemikiran lain yang lebih menyesatkan.”
Tiba-tiba, lift berdenting. Begitu pintu terbuka, dua orang staf perempuan masuk sambil tertawa lepas. Namun, begitu melihat sang sekretaris, mereka langsung tertunduk dan bungkam.
“Kenapa dia bisa menggunakan lift umum?” bisik staf yang berambut lebih panjang.
“Mungkin dia sedang bertengkar dengan Tuan CEO,” sahut rekannya sambil melihat pantulan wajah Mia di pintu lift yang mengilap. “Atau mungkin, dia sudah bosan mengejarnya. Dia gagal mendapatkan Tuan Max. Lalu sekarang, sudah dua tahun lebih, Tuan Julian masih belum juga melamarnya. Dia pasti kecewa karena hubungan mereka digantungkan.”
Mendengar omongan semacam itu, hati Mia mendadak panas. Namun, sebisa mungkin, ia mempertahankan tampang datar.
“Kudengar, dia anak seorang pelayan keluarga Evans,” bisik staf yang berbibir tipis itu lagi.
“Benarkah?”
“Entahlah. Tapi, jika itu benar dan dia masih berusaha mendekati Tuan CEO, dia sungguh tidak tahu malu. Sekalipun jabatannya adalah sekretaris, tetap saja dia berasal dari kasta rendah. Derajat keluarga Evans bisa jatuh jika Tuan Julian menikahinya.”
Tanpa memikirkan perasaan Mia, staf yang berambut panjang langsung mengangguk. “Benar. Lihatlah Tuan Max sebagai contohnya. Setelah menikahi gadis miskin itu, dia langsung ditendang dari perusahaan oleh ayahnya sendiri. Meskipun sekarang dia mulai bangkit, tetap saja, derajatnya sudah turun di mata semua orang di Quebracha.”
“Tapi, aku bisa memaklumi jika Tuan Max jatuh cinta kepada Gabriella. Apakah kau pernah melihatnya secara langsung? Dia benar-benar cantik. Kudengar, dia juga seorang jenius. Wajar jika Tuan Max menjadikannya seorang istri.”
“Benar juga. Dan putra mereka ... apakah kau sudah melihatnya? Dia sangat lucu. Aku mengikuti kesehariannya lewat media sosial. Dia sangat menggemaskan,” sahut wanita yang mulai lupa mengontrol suara. Ia seakan tidak peduli jika Mia dapat mendengar.
Tiba-tiba, wanita berbibir tipis menepuk lengan rekannya. “Lalu, apakah kau bisa membayangkan jika Tuan Julian menikahi Nona Sekretaris? Tidak ada yang hebat darinya. Anak mereka pasti tidak akan selucu putra Tuan Max dan Gabriella. Apa yang bisa mereka andalkan untuk mempertahankan derajat?”
Udara dalam paru-paru Mia semakin bergemuruh, sementara air mata telah bersiap melapisi penglihatan. Gadis itu tidak tahu berapa lama lagi ia sanggup bertahan.
Beruntung, lift tiba-tiba berdenting. Begitu pintu terbuka, segerombolan pegawai langsung menyerbu masuk.
Berada di dekat orang sebanyak itu, omongan miring tentang Nona Sekretaris pun tidak dilanjutkan. Kesedihan perlahan mulai memudar. Mia akhirnya dapat menarik napas panjang dari mulutnya.
“Syukurlah,” batinnya sembari melirik ke arah para wanita yang memasang tampang polos. Kedua orang itu sama sekali tidak merasa bersalah. Mereka tidak peduli jika di balik ekspresi dingin sang sekretaris, tersimpan kesedihan yang mendalam.
Setibanya di lobi, Mia berjalan dengan langkah gontai. Pikirannya masih tertuju pada perkataan para staf, hingga tiba-tiba, seseorang menyentak lengannya.
“Kenapa kau pergi tanpa mengabariku?”
Hanya dalam sekejap, mata sang gadis terbuka lebar. Dengan desah napas tak percaya, ia memeriksa keadaan sekitar. Orang-orang sedang heboh menyaksikan kelakuan CEO mereka. Julian harus segera disadarkan.
“M-maaf, Tuan. Tapi, saya sedang terburu-buru,” ucap Mia datar. Dengan raut kaku, ia mendorong tangan sang pria agar melepasnya.
“Memangnya kau mau ke mana?”
Secepat kilat, Mia mengarang alasan. “Menemui ibu saya, Tuan.”
“Ada apa dengan Bibi?” tanya Julian tanpa memedulikan keadaan sekitar.
“Tidak ada apa-apa, Tuan. Saya berjanji untuk meluangkan waktu berbincang dengannya sepulang kerja. Akhir-akhir ini, saya terlalu sibuk dengan pekerjaan,” ucap Mia dengan wajah yang agak tertunduk. Tidak biasanya ia khawatir jika kebohongannya terdeteksi.
“Kalau begitu, ayo pergi bersama. Aku juga harus ke sana. Cayden sudah menungguku,” ajak Julian dengan anggukan tegas.
Mia spontan melirik ke sekelilingnya. Banyak mata masih mengamati gerak-gerik mereka. Jika ia menolak, pasti akan terjadi keributan ataupun kesalahpahaman. Dengan kondisi semacam itu, sang gadis akhirnya terpaksa menerima tawaran. “Baiklah.”
Tanpa menunggu Julian, Mia berjalan ke lift khusus CEO. Gadis itu tidak ingin menjadi tontonan lebih lama. Semakin cepat ia menghilang dari tatapan sinis para pegawai wanita, semakin cepat pula dirinya dapat memarahi sang CEO atas tindakan yang sangat tidak rasional.