6. Kesepakatan
“Sebelum membahas lebih jauh, saya ingin memperjelas hadiah dan hukuman dari tantangan ini. Kemarin, Tuan berkata ingin membuktikan diri. Mari kita anggap pembuktian itu sebagai hadiah,” ujar Mia tanpa sedikit pun keraguan.
Tak ingin sang sekretaris menjelaskan lebih panjang, tangan Julian pun menggebrak meja dengan semangat. “Baiklah! Kalau begitu, kau harus mengakui bahwa aku bisa diandalkan jika berhasil menaklukkan kesulitan.”
Sambil melipat tangan di depan dada, sang gadis mengangguk. “Ya. Tapi jika sebaliknya, Anda harus berhenti untuk mendesak saya membalas perasaan Anda.”
Seketika, nyali sang pria menciut. “Kenapa begitu? Itu hukuman yang terlalu kejam,” protesnya dengan mata bulat.
“Kenapa? Apakah Anda sudah memiliki firasat akan gagal?” tantang Mia seraya memiringkan kepala.
Mendapat cibiran semacam itu, Julian berdecak kesal. “Baiklah! Lagipula, kegagalan itu tidak akan menjadi nyata. Aku pasti bisa melewati tantangan.”
Mendengar persetujuan sang CEO, bibir Mia otomatis melengkung misterius.
“Jadi, apakah Anda siap menghadapinya akhir pekan ini? Saya akan mengosongkan jadwal jika Anda memberi izin.”
“Tentu saja siap. Lalu, apakah kita bisa menganggapnya sebagai kencan?” tanya pria yang tiba-tiba melembutkan suara.
Mengabaikan rayuan, sang wanita menyodorkan tablet yang menampilkan sebuah foto kerangka besi raksasa.
“Apa ini?” tanya Julian sembari meneliti gambar dengan lebih saksama.
“Bungee jumping. Jika Anda bisa melakukannya tanpa pingsan, itu berarti Anda sudah berhasil menjadi pria pemberani yang tidak takut mengambil risiko.”
Dengan mata terbuka maksimal, bibir Julian mulai memucat. “T-tunggu dulu. Apakah kau serius? Bukankah kau tahu bahwa aku fobia ketinggian?”
“Jika Anda takut, menyerah saja sekarang,” sahut Mia tanpa sedikit pun iba.
“T-tapi, bagaimana dengan kondisiku? Bukankah itu berbahaya? Kalau jahitan ususku kembali terbuka, apakah kau mau bertanggung jawab?” tanya Julian sembari memegangi perutnya yang memiliki banyak bekas luka.
“Jangan khawatir. Saya sudah bertanya kepada seorang teman yang bekerja di sana. Dia mengatakan bahwa kondisi fisik Anda memenuhi persyaratan.”
Mendengar jawaban santai Mia, alis sang pria terangkat lebih tinggi. “Dan kau memercayai ucapannya? Dia bekerja di sana, Mia. Tentu saja dia menjawab begitu. Temanmu itu ingin mendapatkan keuntungan. Dia tidak akan peduli jika ususku berhamburan di udara.”
“Jangan berburuk sangka seperti itu, Tuan. Pagi tadi, saya juga bertanya kepada dokter. Jawabannya sama. Kondisi Anda aman untuk melakukan bungee jumping.”
Mengetahui harapannya semakin menipis, sang CEO mulai meringis. “Tapi, itu terlihat tinggi sekali, Mia,” gerutunya seperti anak kecil.
“Memang. Ketinggiannya sekitar 70 kaki.”
“T-tujuh puluh kaki? Itu sama dengan ketinggian gedung tujuh lantai!” seru pria yang mengira telinganya salah mendengar. Namun, begitu sang sekretaris mengangguk, helaan napas pasrah lolos dari mulutnya.
“Jadi, apakah Tuan ingin mundur dari tantangan ini?” tanya Mia dengan tampang tanpa dosa. Gadis itu ternyata tidak main-main ingin membuat sang CEO menyerah.
Melihat wajah gadis yang menanti jawaban, Julian mendadak bimbang. “Ck, apa yang harus kulakukan sekarang? Jika aku menerima tantangan, kemungkinan besar, aku akan mati terkena serangan jantung di udara. Tapi, jika aku menolak, Mia akan selalu menganggapku sebagai laki-laki pengecut yang tak bisa diandalkan,” batin pria berwajah pucat itu.
“Apakah aku boleh mengajak orang lain untuk terjun bersamaku?” tanya Julian selang keheningan sejenak.
“Memangnya, Tuan ingin mengajak siapa?”
“Siapa saja yang bersedia. Max, atau Sebastian. Aku hanya perlu terjun dan tetap sadar, ‘kan?” tutur pria yang tidak malu mengakui ketakutannya.
Tanpa terduga, Mia menggeleng tegas. “Tuan Max tidak boleh melakukan bungee jumping.”
“Kenapa?”
Tangan sang gadis seketika terangkat menyentuh kepala. “Karena dia pernah mengalami gegar otak.”
“Ini sungguh tidak adil. Max yang hanya mengalami benturan saja tidak boleh, sedangkan aku yang pernah menjalani operasi lebih besar malah diperbolehkan?” protes sang CEO terdengar kekanakan.
“Anda seharusnya bersyukur, Tuan. Kondisi Anda lebih fit ketimbang Tuan Max,” ucap Mia datar. Ia tidak habis pikir mengapa dirinya bisa jatuh cinta pada pria “selemah” Julian. “Jadi, apakah Anda mau menerima tantangan?”
Sambil bersandar menatap langit-langit, sang CEO menghela napas tak berdaya. “Baiklah, aku akan menghadapinya,” ujarnya lesu.
Sedetik kemudian, sang pria memejamkan mata, berusaha meredakan tekanan hebat dalam kepala. Ternyata, Mia memang sangat mengenal dirinya. Tantangan itu bukan hanya membuyarkan konsentrasi, melainkan juga merampas semangatnya.
***
“Ada apa dengan wajahmu?” tanya Max begitu melihat sang kakak datang dengan langkah gontai.
Setelah mengempaskan tubuh di kursi yang berseberangan dengan Gabriella, Julian membalas tatapan sang adik dengan wajah tanpa harapan. “Mia sudah memberitahu tantangan yang pertama,” ucapnya datar.
“Apa?” tanya Max dan Gabriella kompak.
“Bungee jumping.”
Pasangan suami istri itu sontak mengembuskan tawa. Bayi yang sedang asyik menjilati sendoknya bahkan ikut menyuarakan keceriaan.
“Tak kusangka, Mia secerdas ini,” celetuk Max sambil menggelengkan kepala.
“Ya, dia berhasil menemukan solusi yang cocok untuk mengasah keberanian Julian,” sambung Gabriella sembari memeriksa keadaan bayi di sampingnya. “Benar begitu, Cayden?”
“Yayayaya ....”
Melihat kekompakan keluarga sang adik, pria berwajah pucat pun menggeleng-geleng kecewa. “Kenapa kalian malah mendukung Mia? Apakah kalian tidak kasihan padaku? Ini jelas bukan tantangan, melainkan pembunuhan berencana.”
Menyadari sikap Julian yang sama sekali belum berubah, Max sontak mengulurkan tangan, menepuk pundak sang kakak. “Sudahlah, daripada mengeluh, lebih baik kau terima saja. Itu bagus untukmu.”
“Ya, bagus kalau aku tidak mati, Max,” sambung Julian dengan nada putus asa.
“Kau tidak akan mati, Julian. Itu hanya melompat dengan tali pengaman,” ujar Gabriella mencoba menenangkan.
Sambil menggeleng, sang CEO meratapi nasibnya. “Karena itulah, aku menyiapkan surat warisan untuk Cayden. Jika nyaliku tidak cukup, pengacaraku akan menemui kalian.”
“Yaya?” oceh sang bayi dengan mata bulat.
“Ya, kamu akan menjadi penerus Quebracha, Cayden,” angguk Gabriella sambil membersihkan pipi sang putra dari bubur.
“Nananana,” oceh Pangeran Kecil sembari menggelengkan kepala. Telunjuknya terayun-ayun seperti sedang menasihati pamannya.
Menyaksikan kelucuan sang keponakan, wajah Julian akhirnya sedikit berwarna. “Apakah Cayden sedang memarahi Paman?”
“Dia ingin kau berhenti mengeluh. Bahkan seorang bayi pun risih dengan sikapmu ini, Julian,” celetuk Max sebelum melahap salad dari piringnya.
Selang perenungan kilat, Julian akhirnya menghela napas pasrah. “Benar juga. Aku sungguh perlu diperbaiki,” ucapnya penuh sesal. Sedetik kemudian, ia menepuk tangan hingga Cayden tersentak. “Baiklah! Mulai sekarang, aku akan menjadi Julian yang baru. Aku akan selalu optimis dan berani menghadapi tantangan.”
“Apa yang sedang kalian bahas?”
Hanya dalam sekejap, semua mata tertuju ke arah pintu. Begitu melihat seorang pria tua yang berjalan dengan tongkat, Julian terkesiap. “Papa?”
“Kenapa terkejut seperti itu? Apakah kedatanganku tidak diharapkan?” tanya Herbert, sukses membuat Gabriella beranjak. Dengan sigap, wanita itu menarik kursi di sampingnya untuk sang mertua.
“Kami justru senang karena Papa datang. Lihatlah, Cayden bahkan mengabaikan buburnya,” ujar Gabriella sembari tersenyum ke arah bayi yang melonjak-lonjak kesenangan. Tawa Pangeran Kecil semakin kencang saat sang kakek membelai kepalanya.
“Seharusnya Papa memberi kabar kalau mau datang kemari. Kita bisa makan malam bersama,” celetuk Max sembari memberi sinyal kepada pelayan untuk menyiapkan piring tambahan.
Sambil duduk di kursi yang disediakan, Herbert terkekeh. “Tidak perlu, Max. Aku memiliki janji makan malam setelah ini. Hanya mampir sebentar untuk melihat Cayden,” terang pria tua itu sebelum mencondongkan badan, membalas tatapan bayi yang mengintipnya dari balik tubuh sang ibu. “Jadi, apa yang sedang kalian bahas?”
Hanya dalam sekejap, ketegangan kembali menegakkan punggung sang CEO. Diam-diam, pria itu menelan ludah, membasahi kerongkongan yang mendadak kering.