Bab 3
"Bu, apa Ibu menganggapku sebagai pengemis?"
Ibu terkejut, tetapi sikapnya kembali berubah acuh.
Dia menjawab dingin, "Kalau tidak mau ya sudah. Intinya, malam ini kamu tidak bisa tidur di rumah."
Aku bertanya getir, "Bagaimana dengan Dikka? Apa dia juga berpikiran sama seperti kalian?"
Sejak kecil sampai dewasa, aku selalu sangat menyayangi Dikka.
Karena dia punya penyakit jantung, aku memutuskan belajar kedokteran dan menjadi kardiolog.
Aku tumbuh dan memiliki ikatan yang kuat dengannya. Tiga tahun lalu, aku sedang mempersiapkan diri untuk mendapatkan izin praktik kedokteran saat di rumah sakit.
Namun, ketika mendengar bahwa Dikka akan dipenjara karena menabrak seseorang hingga meninggal, orang tuaku tidak punya pilihan selain memohon kepadaku untuk menggantikannya dipenjara selama tiga tahun.
Karena aku begitu menyayangi Dikka, aku menyetujuinya.
Pada saat itu, adikku, Dikka Saramaedi keluar dengan mengantuk dari kamarnya dan berkata kepadaku tanpa ragu-ragu, "Nidia, kamu itu kakak yang paling aku sayangi. Aku pasti ada di pihakmu. Kalau kamu memaksa untuk tinggal di sini, aku akan membersihkan semua barang-barang di kamarku untukmu."
Melihat adikku masih peduli padaku seperti dulu, hatiku terasa sedikit lebih nyaman dan mengangguk pelan, "Kalau begitu, aku akan tinggal di sini sebentar."
Aku berpikir bahwa Dikka akhirnya punya hati nurani. Namun, aku tidak menyangka kalau dia juga sudah berubah.
Mendengar aku mengatakan itu, ekspresi Dikka tiba-tiba menegang dan hanya berdiri diam di sana. Dia terlihat ingin mengatakan sesuatu, tetapi kemudian menghentikannya.
Raisa berjalan ke arahku dan berteriak dengan lantang, "Hei, mantan napi, apa kamu jadi tidak waras karena terlalu lama mendekam di penjara? Kamu tidak pengertian sekali! Kamu tidak lihat kalau rumah sudah sempit? Kalaupun ada ruang kosong, kita akan menggunakannya untuk kamar bayi. Kamu sudah besar, tidak tahu diri sekali masih mau tinggal di sini? Apa kamu tidak peka?"
Dia sangat marah, mengira aku akan tinggal di sini untuk waktu yang lama dan berebut kekayaan dengannya.
Hatiku begitu pahit. Aku tidak bisa menahan diri lagi dan berkata dengan suara serak, "Raisa, ini rumahku. Bukankah wajar kalau aku pulang ke rumah selama beberapa hari?"
"Rumahmu? Sekarang, rumah ini atas namaku dan suamiku. Adikmu sudah menikah, kamu juga sudah dewasa, tega sekali kamu tinggal di rumah adikmu?" Raisa tidak basa-basi, sorot matanya dipenuhi rasa jijik.
Aku menatap Dikka. Dia terdiam dan melihat ke sekeliling, tidak berani menatap mataku.
Aku melihat ibuku, wajahnya terlihat tidak bersahabat. Jelas, dia tidak memiliki niat untuk membelaku.
Ayah berdiri dengan tenang di sana, bersikap seolah semua ini tidak ada hubungannya dengannya.
Hanya aku yang berdiri di sana dengan canggung, tidak ada yang bisa aku lakukan.
Hatiku terasa seperti ditusuk jarum, sangat menyakitkan.
Aku melihat keluarga yang pernah mencintaiku, lalu bertanya dengan tidak percaya, "Apa aku melakukan sesuatu yang salah? Kenapa kalian semua tiba-tiba seperti ini?"
Ini adalah pertama kalinya aku merasa sangat tidak berdaya dan tersiksa rumah sendiri.
Rasanya seperti tidak ada lagi yang bisa aku andalkan di dunia ini.
Sebelum aku masuk penjara, semua orang memperlakukanku dengan sangat baik.
Kenapa semuanya berubah setelah aku keluar dari penjara?
Raisa berkata tanpa ragu, "Sebelumnya, kamu bisa mencari uang dan menafkahi keluarga. Jadi, kami bisa hidup tenang bersamamu."
"Tapi sekarang, kamu hanyalah seorang mantan narapidana, kamu pasti akan kesulitan untuk menikah, apalagi mendapatkan pekerjaan yang layak."
"Dengan keadaanmu yang seperti ini, apa lagi yang bisa kamu lakukan selain merepotkan kami? Untuk apa kami harus bersikap baik padamu?"
Hatiku tenggelam ke dasar, lalu berkata dengan sedih, "Jadi, kalian tidak menyukaiku karena aku tidak berguna lagi, berpikir bahwa aku hanya akan merepotkan kalian? Karena itulah kalian tidak lagi memperlakukanku dengan baik?"
Ibuku menatapku dan akhirnya mengatakan pemikirannya yang sebenarnya, "Nidia, ini bukan salah kami. Bagaimanapun juga, kami tidak kaya dan tidak mampu menghidupi pengangguran. Lebih baik kamu keluar dari rumah ini dan menyewa rumah sendiri. Hidupi dirimu sendiri dan jangan menyusahkan kami."
"Aku menyusahkan kalian?" Aku menatap ibuku dengan sedih. "Bu, saat itu kalianlah yang menangis dan memohon padaku untuk menanggung hukuman untuk Dikka. Kalian bahkan mengatakan bahwa jika aku yang menanggung kesalahan atas kejahatan ini, aku akan menjadi dermawan yang baik untuk keluarga ini, kalian akan membalasnya. Aku baru keluar dari penjara, bahkan tidak mendapatkan seteguk air pun dari kalian, tapi, kalian bilang aku menyusahkan kalian?"
"Aku sudah berkorban begitu banyak untuk keluarga ini. Aku memberikan semua gajiku, aku juga memberikan uang saat kalian membeli rumah ini. Aku bahkan dipenjara tiga tahun untuk menggantikan Dikka, kehilangan tiga tahun masa mudaku. Apa semua ini masih tidak bisa membuatku tinggal di rumah?" Suaraku parau, menumpahkan semua kemarahan dan kesedihan di dalam hatiku.
"Nidia, aku tahu kamu marah karena dipenjara tiga tahun, kita juga tidak lebih baik dari kamu."
"Kalau ada mantan napi di rumah, kita pasti akan dicibir ke mana pun kita pergi."
"Kalau kamu tinggal di rumah, kami akan diejek."
Dikka akhirnya mengungkapkan pemikirannya. Baginya, aku hanyalah beban, membuat mereka malu. Semua usaha dan perjuanganku hanya menjadi lelucon.