CIA DAN DECLAN
“Okhay. Nice shoot.” Fotografer memberikan jempol dan senyumannya setelah mengambil foto terakhir gadis bernama Acacia Ivy itu di set.
Cia membalas senyum itu dan langsung keluar dari set tempat berfoto menuju ruang wardrobe. Beberapa model lainnya juga sedang mempersiapkan diri untuk melakukan sesi foto mereka.
Sebenarnya Cia tidak terlalu suka dengan tempat ramai dan orang banyak. Terlalu merepotkan dan berisik. Sering kali Cia dianggap sebagai gadis yang arogan, sebab dia benar-benar tidak menyukai keadaan ruangan wardrobe saat ini. Itulah kenapa selama ini Cia selalu meminta ruang wardrobe sendiri. Tapi sepertinya terlalu sulit untuk dikabulkan. Gadis dengan rambut panjang sebatas pinggang itu duduk di sofa tunggal sudut ruangan. Dipegangnya ponsel dan memeriksa segala apa pun yang ada di dalam benda pipih itu tanpa peduli dengan sekitar.
“Mentang-mentang anaknya bapak Wiratama, jadi sombong banget nggak mau gabung sama yang lain.”
“Denger-denger dia sampe minta ruangan wardrobe sendiri. Untung aja pihak studio kali ini nggak mau ngabulin.”
“Lagian kenapa sih dia? Aneh banget nggak mau gabung sama orang. Mana sombong nggak pernah mau ngomong kalo kumpul sama kita-kita.”
“Dia punya penyakit kali. Senyum aja jarang banget.”
“Diliat-liat juga nggak cantik-cantik amat. Badannya juga nggak bagus-bagus banget. Brand laku kalo dia yang jadi model karena bapaknya sih itu.”
Baiklah! Harus berapa banyak sindiran lagi yang Cia dengar di sudut ruangan ini? Gadis berkulit bersih itu sebenarnya bukan tipe manusia yang sombong, Cia hanya tidak terlalu pandai berkomunikasi dengan orang lain dan memilih banyak diam karena tidak bisa mudah akrab di dalam kehidupan sosial. Cia cenderung menjadi canggung saat berhadapan dengan orang-orang banyak dan harus bercakap-cakap dengan orang lain. Apa ada yang salah dengan itu? Bukankah semua orang punya hal yang mereka sukai dan tidak mereka sukai? Dan sebagai manusia biasa, Cia juga punya perasaan seperti itu.
Lucu sekali mendengar kalimat-kalimat sarkas itu dari teman-teman sesama model yang sama-sama wanita itu. Hei, Cia tidak tuli dan bisa mendengar jelas ucapan teman-temannya itu. Cia bahkan tau pasti bahwa mereka sengaja memperbesar volume suara agar terdengar olehnya. Sering kali mengomentari bagaimana caranya harus tersenyum, bersosialisasi, dan melakukan body shaming pada perempuan lain. Apa mereka lupa bahwa body shaming sudah memiliki pasalnya sendiri?
Memang kenapa jika dia anak seoarang bapak Wiratama yang punya perusahaan smartphone terkenal di Indonesia? Apa kinerjanya benar-benar seburuk itu sampai brand yang laku terjual saat Cia menjadi model hanya karena dilihat darinya yang seorang anak Wiratama? Orang-orang bahkan baru mengetahui wajah putri dari bapak Wiratama karena pria paruh baya itu menjemput sang putri yang sudah tinggal lama di Korea saat di bandara. Orang Korea yang cenderung perfeksionis dan langsung membuang orang-orang yang tidak berkopeten pun sudah memakai jasanya sebagai model sejak sepuluh tahun yang lalu. Umur Cia bahkan belum genap dua puluh tahun saat itu.
Lalu saat kembali ke Indonesia, pihak agensinya dari Korea bahkan memberikan agensi rujukkan yang mereka percaya bisa menjaga Cia sebagai model andalan mereka. Cia tidak ingin nama keluarga Wiratama selalu disangkut pautkan dengan apa yang dia kerjakan selama ini.
Cia pergi ke Korea tepat saat kelulusan SMP. Melanjutkan SMA sambil mengikuti beberapa casting modelling yang sering diadakan di mall-mall besar Korea. Lalu kembali melanjutkan pendidikan ke negara itu sampai dia menyelesaikan kuliah modeling. Dan bertahan di sana beberapa tahun untuk mengasah kemampuan menjadi model. Catwalk dan photoshoot. Cia sudah melakukan pekerjaan ini hampir lima belas tahun. Tanpa membawa nama Wiratama diperjalanannya. Ironi. Orang-orang berkomentar buruk pada hal baik yang Cia kerjakan. Dan semakin memperburuk berita, saat dia benar-benar melakukan hal yang buruk. Lalu Cia harus bagaimana?
I am born to be a human being who I wanna be. Not a robot that you expect to be. So mind your own life bussiness. I’ll take care mine by myself. Easy!
Brak!! Cia melemparkan tas make-up di depannya ke atas meja yang menciptakan bunyi kuat dan membuat para model yang tadi sempat menggunjingnya langsung terkejut. Mereka terdiam dan hanya melihat Cia dengan tatapan waspada. Sebenarnya, mereka takut jika Cia melakukan sesuatu dan membuat karir mereka memburuk, karena bisa meminta sang ayah untuk membuat nama mereka buruk di media seperti apa yang mereka lakukan saat ini misalnya.
Thats what Indonesian, mostly, did to make them look better. But sorry, aku bukan manusia sepicik itu.
Dan, hei! Jika mereka masih takut akan karir mereka yang bisa saja hancur hanya karena anak seorang konglomerat seperti Cia, harusnya mereka tidak melakukan hal menjijikkan itu di belakang gadis yang sekarang mulai gerah dengan emosinya. Mengontrol emosi seorang tempramen sepertinya memang sangat sulit. Cia benar-benar berusaha sekuat mungkin untuk melatih dirinya tetap tenang dengan segala hal buruk yang terjadi padanya seperti saat ini. Selama ini Cia cenderung tidak peduli. Seolah tak mendengar. Seolah menjadi buta dengan apa yang terjadi di depannya. Cia hanya tidak ingin mengganggu orang lain. Jadi sepertinya, hidup gadis itupun pun layak untuk tidak diusik siapapun. Tapi kali ini, sepertinya, bermain-main sedikit akan membuat suasana menjadi seru. Cia langsung berdiri dari tempatnya duduk. Melihat mereka dengan wajah datar dan berlalu melewati mereka menuju pintu.
“Cia.” Suara itu membuat langkah Cia berhenti di kaki. Salah satu dari mereka memanggil. Cia menoleh, masih tidak tersenyum dan tidak menunjukkan ekspresi apa pun dari wajahnya. “Se- sesi foto lo udah abis?” Basa-basi terbasi. Cia mengangguk. “Terus lo mau kemana?”
“Ke mana aja, asal gak di sini,” Cia menggantung ucapannya sambil melihat sekitar dengan tangan mengibas di dekat leher. “Di sini, terlalu busuk,” sambungnya dengan senyuman tipis.
Mereka semua terkejut bercampur marah mendengar ucapan gadis itu. Cia tertawa kuat di dalam hati. Biarkan mereka semakin menganggapnya sombong, arogan, dan sifat buruk lainnya. Cia terlalu lelah untuk menjelaskan siapa dirinya yang sebenernya. Yang paling parah, dia harus menjelaskan pada orang-orang yang belum tentu mengerti. Buruknya, mereka tidak bisa melepas asumsi buruk tentang Cia meski mereka sudah mendengarkan penjelasan kebaikan dalam diri gadis yang punya senyuman manis itu. Merepotkan! Jadi biarkan saja mereka berpikir seburuk itu padanya. Dan Cia akan dengan senang hati membuat pemikiran mereka menjadi nyata. Cukup adil!
“Harusnya pihak studio ngabulin permintaan lo buat punya ruang wardrobe sendiri kan ya, Ci?” Penjilat lainnya sedang memaksakan diri untuk tersenyum.
Cia mendengus pelan. “Secepatnya, mereka bakal ngabulin kok. Hawa wardrobe di sini bener-bener penuh polusi kayaknya,” Kini senyuman Cia melebar. Dilihat mereka satu persatu yang air mukanya semakin mengeras. “Telinga gue juga sering panas gitu. Tingkat polusinya udah tinggi banget, sih.” Mereka diam. Dan lainnya hanya berdehem mengedar pandangan untuk tak bertatapan langsung dengan Cia. “Semoga sukses sesi fotonya ya,” Cia kembali menggantung ucapannya. Kembali dilihat mereka satu-satu. “Teman-teman,” sambungnya menekan dua kata yang menjadi pengakhir dia berbicara di sana.
Cia pergi tanpa lagi peduli dengan respon mereka lagi. Jika terus di sana, mungkin akan ada seseorang yang masuk rumah sakit. Cia memang tidak pandai pencak silat atau judo. Tapi dia ini perempuan, kukunya saja bahkan bisa menjadi senjata.
***
Tangan pria itu bergerak cepat di atas keyboard dengan mata yang terus fokus di layar monitor. Seperti tak terganggu dengan keadaan sekitar yang cukup ramai. Tak ada yang bisa mengganggunya saat bekerja.
Kecuali Langit. Hanya Langit yang boleh mendekati pria bernama Declan Alva Reuven ini saat bekerja.
Sebenarnya, Declan tidak juga marah-marah jika seseorang mengajaknya bicara saat kerja. Tapi daripada tidak mendapat jawaban dan hanya mendengar gumaman sembarangan, para kru lain memilih untuk nanti saja bicara dengan pria itu. Toh, setelah pekerjaannya selesai, Declan akan dengan senang hati mendengarkan segala laporan, keluhan, pendapat, kritik bahkan cerita dari para krunya. Si perfeksionis dalam bekerja. Semua kru tau bahwa Declan benar-benar pria seperti itu.
Sering kali dia merasa bersalah pada para kru jika pekerjaan mereka molor, tak tepat waktu. Atau dia juga akan rela lembur untuk membuat kru lain tidak terlalu banyak bekerja. Leader yang bertanggung jawab atas semua orang yang bekerja dengannya.
“Gimana, De?” Itu suara Langit.
“Bentar lagi selesai.” Wajah Declan tak beralih dari layar komputernya.
“Gue mau survey lapangan buat lokasi selanjutnya. Lo mau ikut?”
“Lo aja. Ajak masing-masing satu orang dari tiap devisi di kru. Biar pada tau dan bisa sounding sedikit sama anggotanya. Biar besok gak ribet-ribet banget waktu briefing.”
“Siap, Pak Ketua.” Langit memberi hormat.
Declan terkekeh tak menoleh. “Pergi sana lo. Berisik.”
“Oke, gue pergi dulu. Pulang entar malem bareng, ya. Awas lo duluan.” Langit pergi setelah mendengar gumaman dari Declan yang kini kembali dengan pekerjaannya.
Declan suka dunia broadcasting. Beruntungnya dia punya saudara seperti Langit yang punya perusahaan televisi besar pimpinan sang kakak. Declan jadi bisa menyalurkan hobinya dipekerjaan yang dia suka.
Meski harus ada yang dikorbankan, adalah Declan yang harus menyelesaikan pendidikan lebih lama daripada seharusnya. Enam tahun. Declan menyelesaikan pendidikannya dalam waktu enam tahun. Sang Mama bahkan sempat mengeluhkan sikapnya yang sering bolos kelas karena mengikuti Langit bekerja. Waktu itu dia belum menjadi karyawan tetap, tapi Langit terus memanggilnya jika ada projek. Sedang Declan akan dengan senang hati membantu.
Meski sangat terlambat, tapi Declan akhirnya benar-benar bisa menyelesaikan kuliah. Dan sekarang dia sudah terbebas dari segala tuntutan sang ibu untuk wisuda, sehingga bisa bekerja dengan sepenuhnya bersama Langit. Saat ini, Declan benar-benar menyukai dunianya.
***
“Gak bisa banget beneran sosialisasi sama mereka?” Cia bisa mendengar dengan jelas suara Daven yang begitu frustasi saat dia, lagi-lagi, meminta untuk memberikan ruang wardrobe pribadi hanya untuk dirinya sendiri.
“Gimana mau sosialisasi kalo ngeliat muka gue aja mereka udah asumsi yang enggak-enggak?” balas Cia sekenanya.
Daven melepaskan napasnya pelan. Daven adalah salah satu fotografer yang Cia kenali sejak masih di Korea. Dia sering melakukan projek di Korea dan Cia dipilih untuk menjadi modelnya karena pihak agensi mempertimbangkan gadis itu yang juga seorang Indonesia. Cia dan Daven bahkan masih akrab sampai sekarang.
Daven menghempaskan bokongnya di sisi sofa kosong di samping Cia. “Lo-nya tuh yang kayak gak bisa terjamah sama manusia lain. Punya muka nyolot banget sih.”
“Daven, lo udah menghina ciptaan Tuhan lho. Dosa lo.” Cia mendelik ke arah sang sahabat.
Lagi-lagi Daven menghela. “Jadi mau lo beneran punya ruang wardrobe sendiri?” Cia mengangguk cepat dengan senyuman lebar. Sang sahabat mencebik. “Cantik banget kali, Ci, kalo lo senyum sebegitu lebar sama yang lain.”
Gadis dengan kulit bersih itu mendorong tubuh Daven yang bergeser dengan kekehan. “Masih aja di bahas. Awal ketemu lo juga dulu gue gak kayak gini. Bisa senyum-senyum lebar begini karena lo temen deket gue.”
“Tapi karna lo boyish banget, rada mudah sih ngajak lo ngomong waktu itu. Mereka cuma belum paham aja sama lo, Cia. Jadi ngeliat muka jutek lo langsung dikira lo gak suka sama mereka.”
Gadis tinggi itu mengangguk kecil membenarkan ucapan Daven. Itulah salah satu alasan kenapa dia tidak bertindak gegabah dengan mengajak teman-teman model yang tidak menyukainya berkelahi secara wanita. Karena Cia pikir, setiap orang punya pandangan masing-masing dan pemikiran mereka sendiri-sendiri. Tapi Cia juga tidak bisa mengubah ekspresi wajahnya. Bahkan sekarang jauh lebih baik karena Cia sudah punya teman dekat seperti Daven, Aqila (asisten pribadinya) dan Mbak Remi (menejernya). Meski bersama mereka berawal dari sebuah pekerjaan, tapi Cia benar-benar bisa menjadi dirinya sendiri saat bersama mereka tanpa harus memikirkan akan tersinggung atau tidakkah mereka dengan sikapnya ini.
“Gue mungkin gak bakal punya temen kalo gak ada lo, Qila sama mbak Remi, Dav,” ujar Cia lirih sambil menunduk.
Sebuah rangkulan yang terasa di bahu membuat Cia menoleh ke arah Daven yang sudah tersenyum lebar. “Semua orang punya jodoh mereka masing-masing. Entah itu soal pasangan hidup, teman, tempat lo tinggal, atau bahkan soal pekerjaan sekalipun. Lo masih punya kita yang ngerti sama kejutekan muka lo itu, kok. Dan jangan khawatir, karena gue, Qila sama mbak Remi, gak bakal ninggalin lo sendiri.”
Gadis dengan bulu mata panjang itu tidak pernah ingin terlihat melankolis seperti ini. Tapi kali ini, dia sedang benar-benar serius mengungkapkan isi hatinya. Dengan segala kesadaran, Cia memeluk Daven yang terkekeh lalu membalas pelukan. “Gue sayang lo, Daven. Sayang banget,” ucap Cia semakin erat memeluk sang sahabat.
“Gue bentar lagi mau kawin, Ci. Tapi gak papa deh, gue tetep sayang kok sama lo,” balas Daven.
Cia memukul punggung Daven yang bergetar karena kekehan. Setidaknya, Cia tidak merasa terlalu buruk menjadi apa ada dirinya. Daven benar, masih ada orang yang mengerti dengan apa yang menjadi prinsip hidupnya selama ini.
***