3. Tanggung jawab
***
"Saya terima nikah dan kawinnya Noura Arumi binti Sugiarto dengan mas kawin seperangkat alat shalat serta uang satu juta rupiah dibayar tunai!"
"Sah?"
"Sah!"
"Sah …!"
Dengan sekali hembusan napas, Prawira mengucapkan lafas akad, dan resmi menjadikan Noura sebagai istrinya. Dia tidak menyangka, akan selega ini rasanya. Seakan seluruh beban yang tak dia harapkan terasa ringan seketika. Statusnya telah berubah, menjadi seorangpun suami. Otomatis tanggung jawab pun kian bertambah. Semua janji yang dia ucapkan di depan saksi, penghulu serta dihadapan tamu, akan menjadi pertanggungjawaban di hari akhir kelak. Namun, pernikahan ini baru awal dari sebuah perjalanan. Akankah dia bisa menjalani rumah tangga dengan wanita itu?
Di sisi lain, setetes air mata jatuh tanpa dipaksa di pipi wanita yang kini telah resmi menjadi seorang istri. Semua karena keterpaksaan yang membuatnya harus mengalah demi kebahagiaan sang Ayah. Pria yang merupakan cinta pertama, yang melakukan banyak hal demi hidupnya. Noura menangis tanpa suara. Rasa haru serta sedih harus dia terima, menerima pria yang tidak dia cintai sebagai suami. Aliran darah terasa berdesir hebat tatkala mengingat status pria di samping.
Wanita itu terus membatin, "ini hanya sementara, demi Ayah."
Setelah penghulu membacakan doa, Prawira pun diminta untuk mencium sang istri. Tubuhnya diputar ke kiri, begitu pun Noura memutar ke kanan. Tangannya diangkat mengarah ke kepala Noura yang sedang tertunduk. Hal pertama yang harus dia lakukan sebagai suami. Walau raut wajahnya terlihat tenang, tapi tidak dengan batin Parawira saat ini. Terlihat dari tangan yang bergetar saat menyentuh puncak kepala istrinya, Prawira gugup, dan Noura merasakannya.
"Allahumma inni as-aluka khairaha wa khaira maa jabaltaha alaihi, wa a'udzubika min syarriha wa syarri maa jabaltaha alaihi." (Ya Allah, aku memohon darimu kebaikan istriku dan kebaikan dari tabiat yang kau simpankan pada dirinya. Dan aku berlindung kepadamu dari keburukan istriku, dan keburukan dari tabiat yang Kau simpankan pada dirinya).
Doa yang dipanjatkan mengundang banyak pasang mata tersentuh, menahan haru, pertanda mereka menyadari betapa seriusnya Prawira akan tanggung jawab. Benar, Prawira akan bertanggung jawab, apapun yang terjadi pada istrinya. Itulah janjinya kini.
Hal yang sama pun dirasakan wanita cantik bergaun pengantin itu. Desiran kini dua kali lebih hebat dari yang pertama dia rasakan. Setelah suara pria yang kini sah menjadi imamnya, mendoakan dirinya. Sangat tulus terdengar dari indera miliknya. Hingga Noura merasakan keningnya dikecup oleh kelembutan untuk beberapa saat. Apakah ini? Kenapa dia tampak merasa sangat senang? Apakah tanpa sadar dia telah menerima pernikahan ini? Noura tersenyum disertai tetesan air mata. Kemudian mengecup punggung tangan sang suami tanpa dipaksa.
Acara akad selesai, sekarang berlanjut dengan acara resepsi sederhana. Para tamu undangan berjejer menunggu antrian memberi selamat serta doa kepada kedua mempelai. Yang membuat kedua pengantin itu terkejut, bagaimana bisa persiapan yang hanya tiga hari bisa mendatangkan tamu sebanyak ini? Tidak hanya warga kampung Ciptoasih, beberapa warga dari kampung lain juga datang ke acara dadakan ini. Biarpun hanya sederhana, Pak Sugiarto sepertinya sudah mempersiapkan segala kemungkinan. Sengaja makanan dipersiapkan dengan jumlah banyak. Tidak hanya tamu undangan, siapa pun warga yang datang akan disambut dengan baik.
Senyuman manis tidak pernah hilang dari wajah kedua mempelai. Entah karena terpaksa atau harus tampak bahagia. Tentu saja pengantin baru harus terlihat bahagia. Pernikahan yang Noura anggap palsu, tidak begitu bagi pandangan orang-orang. Mereka dipuji sebagai pasangan pengantin paling serasi. Tampan dan cantik, bak Raja dan Ratu di atas pelaminan.
***
Prawira baru selesai melaksanakan shalat magrib serta isya yang dijamak. Kerumunan tamu undangan masih ada hingga pukul delapan malam. Dan mereka baru bisa istirahat, setelah memutuskan untuk meninggalkan acara lebih dulu. Pria itu melipat sajadah dan menyampirkan di punggung kursi, lalu mendekat pada Noura yang telentang di tempat tidur.
"Nou, bersih-bersih dulu, terus sholat," tutur Prawira lembut sambil menggoyangkan bahu istrinya.
Noura yang tidak tidur, membuka matanya malas. Dia melenguh dan mencoba untuk bangkit. Tanpa melihat sang suami, Noura langsung menuju kamar mandi. Tiga puluh menit kemudian, Noura keluar dan langsung terjingkat kaget. Menatap pria yang tengah bersila di tepi tempat tidur sambil mengaji. Noura menggeleng, seketika dia teringat, bahwa pria itu telah resmi menjadi suaminya.
Setelah selesai sholat, Noura tak melihat Prawira ada di kamar. Entah kemana perginya pria itu. "Biarlah, apa peduliku," batinnya.
Namun, beberapa menit kemudian, Prawira kembali masuk dengan membawa nampan berisikan dua piring makanan, lengkap dengan dua gelas air putih. Ternyata suaminya itu pergi mengambilkan makanan untuk mereka.
Prawira meletakkan nampan di meja yang biasa digunakan Noura untuk belajar dulu. Dia pun mengalihkan pandangan pada sang istri yang sedang duduk menghadap cermin meja rias. Noura yang sedang memoles wajah dengan krim malam. Tanpa sengaja mata mereka bersitatap dari pantulan cermin. Prawira menoleh kearah lain dengan cepat, begitu pun juga dengan Noura.
"Ayo, makan dulu, Nou." Prawira memberikan makanan serta air bagian Noura, lalu meletakkan di depan wanita itu. "Saya tidak tahu apa kesukaan kamu, Saya ambilkan yang sekiranya kamu mau."
Noura melihat isi piring itu. Nasi dengan porsi yang cukup, ikan nila goreng, sayur nangka, pucuk ubi rebus dan sambal tomat kesukaannya. Tanpa sadar bibirnya melebar ke samping. Seperti puas dengan pilihan makanan yang diberikan. "Terima kasih, Mas Jak … ehh, Mas ... Prawira," ucap Noura sedikit ragu.”
"Prawira … mulai sekarang panggil nama asli saya saja. Saya ingin terbiasa dengan identitas asli saya," ujar Prawira. Dia pun berbalik dan duduk memakan makanan miliknya.
Wanita itu tersenyum tipis, perasaan asing perlahan berkurang. Mendapat perhatian yang belum pernah dia dapatkan seistimewa ini, membuat hatinya sedikit menghangat. "Boleh juga, perhatiannya," batin Noura. "Tapi, tetap saja dia penuh misteri." Baginya Prawira masih sosok misterius.
Mereka akhirnya makan tanpa suara. Setenang suasana di tepian danau yang jarang didatangi makhluk hidup. Padahal suara musik masih terdengar cukup keras di luar sana. Seolah mereka tidak mempedulikan apa pun yang terjadi di luar.
Beberapa menit kemudian, suasana hening masih saja terjadi. Setelah Prawira meletakkan piring makanan di dapur, dan kembali duduk di kursi meja belajar. Noura tampak membuka salah satu laci pada meja rias, mengeluarkan secarik kertas putih dengan beberapa baris kalimat di atasnya. Parawira hanya mengamati setiap gerak gerik istrinya itu.
Noura bangkit dan meletakkan kertas itu di hadapan Prawira. "Mas Prawira … saya rasa ini saatnya kita membuat kesepakatan. Saya sudah menulis beberapa poin di sini. Mas juga bisa menambahkan poin sendiri, asal tidak merugikan saya."
“Surat perjanjian?”
“Ya, tentu saja. Tempo hari saya sudah bilang, kan. Saya tidak menyetujui pernikahan ini begitu saja. Jadi inilah yang harus saya lakukan.”
***