2. Dia Amnesia
***
“Amnesia? Bisakah dia dipercaya?”
Noura masih belum jelas cerita lengkapnya. Sekarang dia memang mengalah, tapi tetap saja masih ragu sepenuhnya pada pria itu.
Bagaimanapun, sebagai seorang wartawan yang memiliki intuisi kuat, Noura tetap ingin mengetahui asal usul Prawira. “Jika sekarang pria itu terlihat baik, bukan berarti latar belakangnya juga baik, kan?”
Setelah makan malam, Noura akhirnya kembali menanyakan tentang bagaimana Prawira bisa berada di rumah ini. Seserius apa kecelakaan yang didapat hingga menyebabkan pria itu hilang ingatan. Pak Sugiarto yang menjabat sebagai Lurah selama empat tahun itu pun menceritakan pada Noura.
Semua itu terjadi pada lebih tiga bulan yang lalu, saat beberapa orang yang hendak ke ladang di kaki bukit. Mereka menemukan seorang pria dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Tubuh penuh luka, pakaian compang camping. Tuhan sangat baik karena pria itu masih bernyawa walau tanda kehidupannya lemah.
Pria itu di bawa ke rumah sakit daerah. Pak Sugiarto satu-satunya orang yang bisa dijadikan jaminan biaya. Selain menjadi lurah, Pak Sugiarto juga terbilang cukup kaya di Kampung Ciptoasih. Dia juga sangat baik dan mampu memajukan pembangunan hanya dalam kurun waktu dua tahun.
Setelah dokter melakukan penanganan medis, Prawira masih tidak sadarkan diri selama sepuluh hari. Hingga saat bangun, pria itu tak bisa mengenali dirinya sendiri. Akibat dari terlambatnya penanganan dan kehilangan banyak darah, sehingga pasokan oksigen ke otak berkurang dan menyebabkan amnesia. Akhirnya Pak Sugiarto memutuskan unt uk merawat pria yang diberi nama sementara Jaka tersebut.
"Jadi, Ayah membiarkan dia tinggal di rumah kita?" Jika bukan karena niat sang ayah menjodohkannya dengan pria itu, rasa keingin tahuan Noura tidak akan sebesar ini.
"Iya, Nou … tidak ada cara lain. Sebagai Lurah Ayah harus bertanggung jawab, karena kecelakaan yang Jaka alami terjadi di kampung kita. Satu lagi alasan, selain Ayah, tidak ada yang mau bantu. Melihat kehidupan kita yang selama ini jauh lebih baik dari warga kampung."
Hembusan napas Noura terlihat berat. Bukan itu saja alasan yang dia pikirkan. Semua juga karena Ayahnya terlalu baik dengan warga, jadi tentu saja mereka akan mengandalkan Lurahnya.
Selama beberapa hari dia di rumah, baru ini dia menanyakan cerita keseluruhan. Sebelumnya Noura terlihat cuek karena dia berpikir pria yang kehilangan ingatannya itu hanyalah pekerja biasa di warung bakso sang ayah. Terlebih lagi kesan pertama pertemuan mereka yang membuat Noura tak menyukai pria itu.
Noura kemudian terdiam. Tampaknya dia masih ingin membujuk sang ayah untuk membatalkan perjodohan. Namun, Pak Sugiarto sebagai orang yang membesarkan gadis itu tau bagaimana menghadapinya.
"Nou ... ayah tahu kamu masih berpikir untuk menolak pernikahan ini. Ayah minta maaf jika kamu merasa terpaksa. Ayah mengerti kamu sangat mencintai pekerjaanmu, Nak. Ayah sangat bangga dengan pencapaian karir kamu di usia segini. Ayah bangga dengan semua yang kamu lakukan. Tapi, lebih bagus lagi jika kamu juga bisa menikah di usia sekarang. Dengan begini ayah menjadi semakin tenang melepas kamu di kota besar, Nak.” Perkataan Pak Sugiarto terhenti sejenak, merasakan keharuan karena kasih sayangnya pada sang putri.
Melihat itu, Noura pun ikut merasa sedih. Mengingat bagaimana perjuangan sang ayah membesarkannya setelah sang ibu meninggal sejak dia kecil. Noura menjadi tidak tega untuk menolak niat menjodohkannya dengan Prawira. Tubuh pria itu pun direngkuhnya, membawa dalam dekapan hangat.
“Selama ini ayah khawatir, terlebih lagi dengan resiko pekerjaan kamu yang tidak mudah. Lebih bagus lagi kalau kamu berhenti bekerja, Nou. Serahkan semua tanggung jawab pada suami nanti."
Mendengar itu, Noura melepas pelukannya. "Nggak,Yah. Noura tetap mau kerja walau udah nikah sekalipun. Lagipula Noura masih mau ngejar karir, Yah. Belum mikirin nikah."
"Loh, kenapa? Umur kamu udah cukup buat nikah, Nou. Liat temen-temen kamu, ada yang anaknya sudah SMP."
"Ayah jangan samakan Noura sama mereka, Yah. Mereka nikah muda, dan hidup hanya bergantung sama suami. Noura mau mandiri, dan nggak mau menyusahkan orang lain."
"Tapi, kalau kamu nikah, akan ada yang gantiin Ayah menjaga kamu, Nak. Ayah sudah tua, Nou. Udah kangen mau gendong cucu," ucap Pak Sugiarto mengiba.
"Iya, Yah. Noura ngerti."
Gadis itu akhirnya mengalah. Demi membahagiakan orangtua satu-satunya. Tapi, dia tetap akan terus bekerja. Karirnya baru saja naik, bagaimana dia akan melepaskan begitu saja, hanya karena mau jadi ibu rumah tangga.
“Alhamdulillah ... jadi kamu setuju kan, Nou, dengan pernikahan ini?”
Noura hanya mengangguk memberi persetujuan. Senyum bahagia terpancar dari wajah pria paruh baya itu. Membuat Noura juga ikut merasakan kebahagiaan itu.
.
.
Sementara di sisi lain. Jaka mengingat lagi, malam ketika Pak Sugiarto memintanya untuk menikahi Noura. Tentu saja dia sangat terkejut, kenapa pria yang telah berbaik hati menerimanya di rumah ini, serta memberinya pekerjaan, mau menjadikannya menantu?
"Saya yakin kamu pria yang baik, Jaka. Atau saya harus mulai pangil kamu Prawira sekarang? Walau saya tidak tau latar belakang kamu, saya yakin kamu bisa menjaga Noura. Jadi, saya minta kamu menerima anak saya sebagai istrimu."
Sebuah dompet yang diletakkan di atas meja oleh Pak Sugiarto, Jaka megambil. Benda yang terbuat dari kulit berwarna coklat itu dia buka. Terdapat kartu identitas dan beberapa kartu lainnya. Jaka mengeluarkan kartu tanda penduduk yang tertera nama 'Prawira Bisma' di sana, dan itu nama aslinya. Tahun ini dia berumur tiga puluh tahun.
"Melihat isi dompet itu, sepertinya kamu bukan orang biasa," tutur Pak Sugiarto, dan Jaka menoleh padanya. "Saya rasa kamu pasti ingin tau latar belakang kamu sebenarnya."
Prawira tampak menunduk. Namun, raut wajah datar dan tenangnya tak dapat diartikan, apa sebenarnya yang pria itu pikirkan. Pak Sugiarto menduga, Prawira pasti sedang memikirkan ucapannya.
"Nak Prawira?"
Dia masih diam untuk beberapa saat. Lalu mengangkat kepala dan menatap mata pria paruh baya di depannya. Prawira menghela napas. "Apakah Bapak percaya pada saya? Kenapa Bapak mau menyerahkan putri kesayangan Bapak pada orang yang tidak mengenal dirinya sendiri?" tanyanya, dia juga harus tau alasan di balik semua permintaan ini.
"Saya … butuh bantuan kamu. Noura butuh pendamping. Saya …."
Prawira menghirup oksigen banyak-banyak. Perkataan Pak Sugiarto malam itu kembali teringat. Permintaan dari seorang ayah yang sangat ingin anaknya terlindungi. Prawira tak dapat menolak, anggap saja ini merupakan caranya untuk membalas budi.
.
.
"Mas Jaka.”
“Ya.”
Tiba-tiba sebuah suara mebuyarkan lamunan pria yang tenggah duduk di depan kamarnya. Sebuah pavilun belakang rumah utama. Dia pun menoleh ke belakang. Noura telah berdiri dengan melipat lengannya di bawah dada.
“Bukan. Harusnya sekarang saya panggil Prawira. Mas Pra ... wira,” ujarnya dengan penekanan. Tampak semburat tidak suka dari wajah wanita itu.
“Ya.”
“Kita harus bicara!"
Prawira pun menghela napas ringan, pastinya mereka akan membicarakan masalah ini dengan serius.
"Baiklah," balas pria itu datar. Dia pun berdiri dan mengajak Noura duduk menggantikannya. Karena hanya ada satu kursi di sana. "Silakan."
"Tidak perlu, saya hanya mau menyampaikan satu hal,” tolak wanita itu. “Jangan pikir saya sudah menerima begitu saja pernikahan ini. Saya tidak bisa menolak kemauan Ayah. Jadi, saya terpaksa, saya juga belum bisa percaya sepenuhnya sama kamu." Manik mata Noura menatap tajam.
"Terserah kamu, ini juga karena permintaan Ayah kamu. Saya hanya membalas budi beliau," kata Prawira datar.
"Baguslah." Tanpa berkata apa-apa lagi, Noura berbalik dam masuk kembali ke dalam rumah.
Pria yang tetap datar menanggapi situasi itu, memandangi Noura. "Wanita keras kepala," batin Prawira kemudian.
Sampai pada keesokan harinya, siang itu, Prawira tanpa sengaja mendengar percakapan Noura dengan seseorang di telepon.
"Sayang, maaf. Aku nggak maksud khianati kamu. Ayah maksa aku nikah! Aku nggak bisa nolak, aku nggak mau ngelawan keinginan Ayah."
Prawira yang ingin masuk ke rumah utama. Diam-diam menguping dari balik tembok. Mendengar suara Noura yang sedang berada di halaman belakang rumah. Prawira sadar, Pernikahan ini Noura terima karena terpaksa, dan ternyata alasan lainnya juga karena sudah memiliki tambatan hati. Lalu kenapa mereka tidak merencanakan pernikahan saja, apakah Noura belum mengenalkan kekasihnya itu kepada ayahnya? Sehingga kini dia diminta untuk menikah segera. Pemikiran itu seketika Prawira bayangkan.
"Iya, Sayang, aku janji. Pernikahan ini hanya untuk sementara, agar ayah senang, nggak lebih dari itu. Aku juga akan minta dia menandatangani perjanjian." Suara Noura terdengar memohon.
***