Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Surat perjanjian

***

“Mas Prawira ... kita sudah sepakat, kan?”

“Ya.”

Mata Prawira kini tertuju pada kertas tersebut. Sungguh miris, ternyata pernikahan ini benar-benar akan menjadi seperti ini. Sesuai dengan perkataan wanita itu tempo hari, dan Noura mewujudkannya sekarang, dengan menyodorkan surat perjanjian pernikahan. Prawira pun membaca poin pertama hingga ke lima.

Pernikahan hanya akan berlangsung selama satu tahun. Tidak akan ada hubungan suami-istri. Bersikap layaknya pasangan, terutama di depan ayah. Jangan mencampuri urusan pribadi masing-masing. Dan yang terakhir, jika sebelum setahun salah satu pihak merasa tidak mungkin melanjutkan pernikahan, boleh mengakhiri terlebih dahulu.

Prawira menghela napas berat. Tidak tahukah wanita itu? Hal yang dipikirkan Prawira sudah tidak sama. Sejak setelah dia melafalkan akad, sejak pertama dia mengecup kening wanita itu. Prawira telah berjanji dalam hatinya, janjinya bukan sekedar amanah, bukan juga karena sekedar rasa balas budi. Tetapi, kesungguhan yang akan dia pertanggungjawaban di hadapan Allah.

"Bagaimana, Mas? Ada poin yang harus ditambahkan?" tanya Noura dan prawira mengeleng. "Kalau begitu, silakan tanda tangan." Dia menyerahkan pulpen hitam di hadapan Prawira.

Tanpa kerelaan dalam hati, Prawira pun menandatangani perjanjian itu. Tangannya bergetar, tanpa bisa dia kendalikan. Sebuah pernikahan seharusnya tidak boleh dibuat seperti ini. Salah, tentu saja ini salah. Namun, dia juga tidak bisa memaksa sang istri untuk menerima dirinya kini. Biarkanlah sekarang berjalan apa adanya.

"Terima kasih, Mas Prawira." Noura pun menandatangani bagiannya.

Kini mereka kembali terdiam setelah urusan perjanjian selesai. Prawira tampak ingin mengatakan sesuatu. Akan tetapi, niatnya itu dia urungkan. Hingga Noura akhirnya membuka suara memecah kesunyian.

"Maaf, saya harus membuat perjanjian ini," ucap Noura lirih. Mencoba menatap pria dihadapannya, dan berkata sejujur-jujurnya.

Prawira tetap dengan posisi tegapnya. "Bukankah ini yang kamu mau, kenapa meminta maaf?" Dia menatap lurus kedepan, menghindari tatapan wanita itu. Wajahnya terlihat datar dan menahan amarah.

"Iya, Mas. Saya punya alasan melakukam hal ini. Selain karena kita belum terlalu saling kenal, masih ada alasan utama." Noura menghela napas sejenak. "Sekarang saya harus jujur pada, Mas. Sebenarnya saya punya kekasih. Kami sudah berhubungan selama tiga tahun. Sebelunya saya berniat untuk memperkenalkannya pada ayah. Tapi, pacar saya masih bertugas di papua. Dan dia juga belum siap menikah untuk sekarang ini."

Pernyataan Noura akhirnya membuat Prawira menoleh. Haruskah wanita itu sejujur ini?

Perasaan terluka serta merta Prawira rasakan. Walau sekarang dia belum mempunyai perasaan apa pun pada wanita di depan ini. Namun, hati pria itu pernah sedikit tersentuh pada Noura sebelum menjadi istrinya. Seorang wanita yang pantang menyerah, Prawira dapat menilai dengan pengamatannya selama satu Minggu ini. Sepertinya perjuangan Noura mencapai titik sekarang tidaklah mudah.

Prawira mengepalkan tangan menekan pahanya. Entah kenapa sakit, begitu mendengar penuturan yang sangat jujur dari istri sahnya tersebut. Mungkin karena merasa dia yang lebih berhak akan Noura, dari segi hukum maupun agama. Seharusnya Prawira tak dapat dibandingkan dengan pria manapun di luar sana.

"Poin keempat yang tertulis di sini. Saya harap Mas Prawira tidak mencampuri urusan pribadi dengan kekasih saya." Lanjut Noura menjelaskan. Namun, dia tak melihat reaksi pada pria itu. "Mas … Pra?"

Senyum kecut pria sematkan. "Saya paham … tapi saya harap kamu tau batasan. Sebab, apa pun yang dilakukan seorang istri, suami yang akan bertanggung jawab. Baik di hadapan ayah kamu juga dihadapan Allah, saya yang akan menanggungnya," ucap Prawira datar. Dia sebenarnya ingin merubah keadaan, tapi sepertinya belum bisa.

Noura terhenyak. "Iya, Mas … saya tau.”

Awal pertemuannya dengan Noura sudah buruk. Kini dengan status mereka sekarang, Prawira ingin lebih dekat lagi dengan wanita itu. Tetapi, Cara Noura ini … ya sudahlah.

Kemudian suasana hening. Dalam beberapa saat tak ada dari mereka yang ingin melanjutkan pembicaraan, tak memandang satu sama lain. Lalu, terdengar helaan napas kecil Prawira. Dia berdiri, mendekati tempat tidur dan mengambil satu bantal.

"Kamu masih ada selimut lain?" tanya pria itu kemudian.

"Hah? Selimut?"

"Iya, saya mau tidur di bawah. Atau kamu mau saya tidur di atas kasur sama kamu?" tunjuknya pada tempat tidur dan bawah bergantian. Tatapannya datar pada wanita itu, yang seketika membuat Noura gelagapan.

"Ehh … iya, sebentar, Mas." Noura lalu mengambil selimut ekstra di lemari. Lalu memberikan pada Prawira yang telah berdiri di sisi kiri ranjang.

Selimut itu dia ambil dan mengibaskan pada karpet, kemudian menata bantal, lalu dia pun berbaring. "Selamat malam, Noura," ucap Prawira sebelum memejamkan mata.

"Iya, Mas. Selamat malam," balas Noura. Dia juga kembali naik ke tempat tidur.

Prawira memiringkan tubuhnya membelakangi ranjang. Dia kembali membuka mata, tampaknya tengah memikirkan tentang kehidupan yang dia jalani beberapa bulan ini. Hidupnya yang terlalu rumit, terlalu banyak keadaan yang sulit. Hingga kini dia bertemu dengan Noura. Selama ini yidak ada wanita manapun yang pernah membuatnya tertarik.

Semula Prawira pikir, keadaan tidak akan seperti ini. Apakah tadi saat akad pria itu salah melihat? Ketika detik pertama setelah dia mengecup kening Noura, Prawira yakin wanita itu tersenyum. Bukan senyuman yang terpaksa. Tergambar keridhaan dalam raut wajah wanita itu, terlihat teduh dan aura kecantikan benar-benar muncul dari sana.

"Hah … sepertinya aku salah," batinnya. Prawira sekali lagi menghela napas, dia pun memejamkan mata, tak ingin terlalu larut memikirkan yang akan terjadi.

Sama halnya dengan Noura. Mata wanita itu juga masih belum bisa terpejam. Banyak hal yang berputar dalam pikirannya kini. Tentang bagaimana dia menjalani pernikahan palsu ini. Bagaimana caranya dia menghadapi kekasihnya nanti. Cara apa yang harus dia gunakan untuk mengakhiri semua ini.

“Mas Pra.”

Wanita itu mencoba membuka suara. Entah karena keheningan ini atau karena dia juga merasa pria yang tengah berbaring di bawah juga belum terlelap. Namun, panggilannya tidak mendapat jawaban.

“Mas Prawira ... sudah tidur?” Dia mencoba sekali lagi.

“Ada apa?” jawab pria itu masih diam dalam posisi tidurnya. Ingin terus diam, tapi hatinya tergerak untuk menjawab.

“Mas sama sekali tidak ingat di mana keluarga Mas? Apa Mas sudah pernah mencoba mengingat?”

Pertanyaan Noura sontak membuat pria itu mengubah posisinya hingga telentang. "Saya sudah coba mengingat, tapi tidak bisa."

Noura pun kembali duduk, menggeser posisi mendekat. Membuat pria itu juga ikut bangkit karena merasakan gerakan Noura.

“Di KTP alamat Mas juga di kota, bukan? Sudah hilang selama beberapa bulan, mungkin saja keluarga Mas sudah melapor.”

“Mungkin saja.”

“Mau saya bantu mencari keluarga, Mas?”

“Bagaimana?”

“Besok kita ke kantor polisi.”

Prawira lantas terdiam, enggan untuk melanjutkan pembicaraan. “Sebaiknya kita tidur dulu. Sudah lelah seharian ini. Masalah ini bisa dibahas lain kali lagi.” Dan dia kembali ke posisi tidur.

Rasa penasaran Noura semakin besar. Seperti ada yang ditutupi oleh pria itu. Setidaknya saat ini dia tau apa yang dilakukan selanjutnya. Jika Prawira tidak mau bekerjasama, dia akan melakukan pencarian sendiri.

“Apa yang sedang kamu sembunyikan, Mas? Apa kamu benar-benar amnesia?”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel