PRAKTIK LAPANGAN
Tak ada waktu untuk bisa berada di samping Alta saat ini, seperti apa yang cowok kulkas itu mau. Christel terlalu sibuk membantu Dion mengurus duapuluh junior lainnya.
Bukan dia melupakan soal betapa inginnya memiliki kontak pribadi dari Rana Putri Prasiarkana, tapi Dion tidak memberinya waktu untuk bersantai. Jadilah Christel hanya menengok ke arah Alta sejenak. Ada rasa bahagia bisa dekat dengan Dion, namun hatinya terasa gelisah saat Alta tak bisa dijangkau dalam penglihatan.
Khawatir? Ah, tidak mungkin. Untuk apa khawatir pada anak pemilik kampus dan perusahaan televisi yang selalu dijadikan tempat praktek mereka ini?
Dia tidak mungkin tersesat di gedung televisi milik ayahnya sendiri, bukan?
Christel kembali berkutat dengan jadwal untuk para juniornya. Sesekali memberi instruksi pada junior lainnya. Gadis itu berdiri di antara peralatan telivisi di ruang penyiaran. Beberapa juniornya berlalu lalang. Christel menyeka keringat yang sudah memenuhi wajahnya.
“Del, ke sini bentar. Kasih instruksi ke junior yang di sini dulu.”
Christel tersenyum dan mengangguk pelan, meng-iya-kan instruksi Dion. Tubuh Christel sudah lemas, perutnya hanya terisi segelas susu yang dibuat ibunya tadi pagi. Kinan terlalu awal menjemput, dan sekarang dia tidak bertemu dengan temannya itu hanya untuk sekedar meminta tolong membelikan roti.
Kinan juga pasti sibuk dengan timnya.
Christel melangkahkan kaki gontai. Sehingga tanpa sadar kaki gadis itu terlilit di antara kabel yang bertebaran di lantai. Mulut Christel tak sempat berteriak karena terlalu kaget, sampai sebuah lengan merangkum tubuh kecilnya.
Perlahan Christel membuka mata. Merasa bahwa bukan lantai yang menerima tubuhnya. Mata itu menatapnya teduh. Christel benar-benar terkejut dengan tatapan itu. Rasanya aneh dan sulit dipercaya jika manusia kulkas di depannya ini menatap dengan lembut.
“Heh! Dion Adiputra!” Suaranya menggema setelah membenarkan posisi Christel berdiri sempurna dengan tangan masih menggenggam sebelah lengan Christel. Dion menoleh, mendapati wajah Alta yang tak bersahabat ke arahnya. “Lo mikir nggak sih ini udah jam berapa? Lo ketuanya di sini, tapi lo nggak ngerjain apa-apa. Semuanya lo serahin ke cewek minion ini. Kalo emang lo nggak bisa jadi ketua tim, jangan sok lah.” Semua menatap ke arah Dion dan Alta bergantian.
Dion mendekati Alta dengan langkah lebar, mencoba memperpendek jarak mereka secepat mungkin. “Kamu bisa nggak ngomong baik-baik? Jangan pikir karena kamu anak pemilik kampus dan gedung televisi ini, kamu bisa seenaknya ngomong sama senior kayak gitu.”
“Senior bego yang cuman bisa ngelimpahin kerjaannya ke orang lain kayak lo, nggak bakal dibutuhin di mana pun.”
Rahang Dion mengeras. Merasa benar-benar dilecehkan di depan banyak junior yang sekarang memfokuskan mata ke arah mereka sambil berbisik-bisik, membenarkan ucapan Alta.
Dion terlalu ingin dipandang baik oleh dosen, sehingga sangat egois membiarkan para junior kelaparan dijam makan siang yang dipaksanya untuk tetap melakukan sesuatu. Sehingga timnya akan dipandang baik karena begitu giat dalam praktek lapangan.
Christel hanya diam. Tubuhnya benar-benar kehabisan tenaga. Wajahnya mulai memucat dengan bibir yang juga kering. Untung tangan lebar itu masih dengan setia melingkar di lengannya.
“Lo semua, bubar! Ini jam istirahat. Nggak ada untungnya ngikutin instruksi senior yang mau terlihat baik buat dirinya sendiri.” Nada sarkas dari Alta berhasil membuat wajah Dion memerah. Antara menahan malu dan menahan emosinya.
Sementara yang lain mulai berpencar mengikuti perintah Alta, segera cowok kulkas itu menarik tangan Christel yang hanya pasrah mengikuti. Tanpa mempedulikan Dion yang terlihat semakin marah.
***
“Ah...” Christel menyeka air dari atas bibirnya, namun sesaat kembali bungkam karena pria di sampingnya menatap dingin dengan tangan terlipat di depan dada.
“Ternyata, makanan di kantin kantor ini enak-enak, ya. Harganya juga terjangkau.” Dengan berhati-hati Christel memecah keheningan. Namun pria itu masih saja melihatnya tanpa suara. “Seru kan praktek lapangannya? Makanya deh gue pengen banget kerja di perusahaan televisi, dan karena itu juga gue masuk ke universitas bapak lo.”
“Seru yang gimana yang lo maksud? Seru lo ngebabu sama Dion?” pertanyaan Alta telak membuat gadis itu menghela, menunduk guna menyembunyikan kelelahannya karena Dion.
Harusnya Christel marah dengan pertanyaan Alta yang terkesan menjelek-jelekkan Dion, tapi dia tidak bisa mengelak bahwa Dion memang membuatnya bekerja terlalu banyak.
“Lo suka sama dia?” Christel mendongak. Kembali menghadapi mata dingin pria itu. “Bego nggak usah kelewatan deh. Dia itu cuman manfaatin lo. Dan lo nggak tahu siapa dia sebenernya.”
Christel hanya diam. Mencari jawaban dari hatinya sendiri. Benarkah dia sebegitu menyukai Dion? Sampai tidak sadar bahwa hanya dimanfaatkan oleh Dion?
“Dia ganteng, ngomongnya lembut. Dia juga baik.”
Tuan kulkas itu hanya berdecih mendengar penuturan Christel yang terlihat begitu lugu menyukai orang seperti Dion.
“Baik? Itu karena lo udah buta sama kegantengan dia yang dipuja-puja sama banyak cewek. Mikir. Perlakuan dia baik lo bilang, tapi lo jadi pesuruh dia. Apa itu yang namanya baik?”
Christel hanya menatap mata di wajah dingin itu. Ada kelembutan yang Christel dapatkan dari tatapan itu, meski sangat sedikit.
“Lo suka sama gue?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Christel, membuat sudut bibir Alta terangkat sebelah.
“Jangan ngarep. Gue cuma nggak mau cewek mini kayak lo sakit gara-gara patah hati doang.”
Christel menghempaskan punggungnya di sandaran kursi. “Gue juga nggak suka kok sama lo.” Dan hanya decihan yang Christel dapatkan.
***
Christel melirik ibunya yang mondar-mandir memberesi pakaian ke dalam koper. Ayah yang jarang di rumah hari ini sudah duduk cantik di depan televisi. Berkali-kali Christel menghela.
“Kalo kamu takut di rumah sendirian, ajakin Kinan nginep sini, ya. Kalo males masak, beli aja di luar. Jangan lupa pasang alarm tiap malem, entar kamu gak kebangun kuliah lagi.”
Christel hanya diam. Besok ibunya harus ikut dengan ayah yang bekerja menjadi kontraktor. Kejadian dia harus ditinggal beberapa tahun lalu kini terulang.
Saat SMA, Christel harus berada di Bogor sampai menyelesaikan sekolahnya sendirian. Karena ayahnya bekerja di Jakarta dan ibu pasti harus ikut. Dan sekarang, setelah Christel menyusul mereka ke Jakarta dan kuliah, orang tuanya kembali berpindah. Kota Jambi. Bukankah itu terlalu jauh dari Jakarta?
Karena pekerjaan yang berpindah-pindah membuat ayah Christel membangun rumah yang tidak terlalu besar. Hanya ruang tamu yang bercampur dengan ruang keluarga, dan lorong kecil yang terhubung ke dapur. Serta kedua kamar yang dibuat bersebelahan.
Kali ini, ibu memang benar-benar harus ikut karena di sana neneknya tinggal sendirian. Dan sangat tepat bagi ibu untuk bisa merawat nenek yang sudah renta.
“Christel beneran nggak boleh ikut, Yah?” Gadis mungil itu bergelayut di lengan ayahnya yang tersenyum hangat.
“Kamu kan harus kuliah. Emang kamu mau pindah tempat kuliah dan ngulang dari awal? Juga nggak bakal ada Universitas broadcasting di Jambi.”
Christel tersungut. Benar. Dia bahkan sangat mencintai kampusnya. Gadis ini begitu tergila-gila dengan dunia pertelevisian.
“Kamu kan udah biasa juga ditinggal.”
“Tapi nggak selama ini, Bu. Aku baru semester empat loh. Dua tahun lagi dan harus sendirian.”
“Belajar mandiri. Selama ini kamu apa-apa sama ibu dan ayah. Sekarang kamu harus bisa ngatur semuanya sendiri karna kamu udah gede. Dulu jaman SMA juga kan kamu apa-apa dibantuin sama bibi-mu. Sekarang kamu beneran sendirian, dan kamu harus bisa.”
Christel hanya terdiam mendengar balasan panjang dari ibunya. Benar juga, dia harus bisa lebih mandiri. Mengingat umurnya yang dua tahun lagi akan menginjak angka kembar, dua puluh dua tahun.
***