MR. KULKAS
‘Hey, you little punk. I don’t wanna love you. Get out of my way.~ Alta Prasiarkana’
Christel melihat ke sekeliling gedung jurusan Director. Dijurusan ini, seluruh hal tentang director seperti art director, floor director dan sebagainya menjadi hal utama yang dipelajari. Gedung jurusan Christel, broadcaster, berada sedikit jauh dari gedung ini.
“Lo harus deketin Alta kalo emang lo pengen tahu kontak kakaknya.”
“Caranya?”
“Ya apa kek, dateng ke gedungnya kek. Ajakin makan atau jalan-jalan. Ya ngobrol lah pokoknya, sampe lo dapet nomor kakaknya itu.”
Dan berakhirlah Christel di gedung ini. Siang ini sedikit terik, cukup untuk mengeringkan ikan asin belasan baris. Sesekali Christel menyeka keringat dari dahi dan hidungnya.
Christel berdiri bersandar di dinding dengan tank top berwarna maroon, dilapisi kemeja biru tosca kesukaannya, jeans hitam, sneakers oranye menyala serta rambut sebahu yang dicepol sembarangan dan tas hijau lumutnya.
Sungguh tabrak warna yang benar-benar hancur. Tidak. Christel hanya menyukai apa yang dia pakai tanpa mencocokkan warnanya.
Wajah Christel tiba-tiba berseri setelah melihat seseorang yang berjalan ke arahnya.
“Hai, Alta.” Dengan semangat Christel melambaikan tangannya dan tersenyum lebar. Tapi keberadaannya seolah tidak terlihat oleh orang yang disapa.
Alta berlalu begitu saja dengan wajah dinginnya. Tidak menoleh atau hanya sekedar melirik. Gadis itu menganga kesal. Menggumamkan semua umpatan yang dia tahu dalam berbagai bahasa.
Sabar Christel. Kejar dia sekarang, atau lo nggak bakal dapet kontak idola lo.
“Lo mau ke kantin bareng gue nggak? Gue yang traktir deh.” Christel akhirnya bisa menjajari langkah pria tinggi itu. “Atau lo mau jalan-jalan? Gue jadi supir lo nggak papa deh. Gue bisa kok naik motor.”
Masih belum ada respon dari Alta. Christel menahan napas dalam-dalam, meredam kekesalan yang mulai menuju puncak gunung rinjani, gunung semeru atau gunung merapi dengan tanda sedang aktif dan akan segera meledak.
“Lo mau apa aja gue turutin deh. Apa aja asal masih batas wajar loh ya, pasti gue kabulin.” Langkah Christel semakin lebar, Alta masih tak melihatnya. “Alta, liat gue dong. Kepala gue sakit nih ngeliat lo tinggi banget.”
Christel hampir menambrak lengan pria yang sekarang tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dengan senyuman termanis, Christel mendongak untuk mencapai mata Alta yang menunduk ke arahnya tanpa senyum.
“Baju lo. Gue nggak suka!”
“Kok jadi baju gue sih?”
“Gue tahu lo bego masalah fashion. Tapi seenggaknya, jangan buat orang-orang di sekitar lo sakit mata gara-gara warna baju yang lo pakek sama kacaunya sama kelakuan lo.”
Mata gadis itu menyipit. Tidak menyangka pria itu kembali menghina penampilannya. Terus wajahnya? Bagaimana bisa cowok tinggi ini mencela dengan wajah dingin tanpa dosa?
Tanpa menunggu balasan Christel, Alta kembali berlalu dengan kedua tangan terbenam di saku celana.
“Dasar kulkas. Nggak ada perasaan banget. Sok kegantengan!” Teriakkan Christel membuat beberapa mahasiswa yang lewat menoleh dan berbisik tak jelas. “Apa?! Mentang-mentang anak director lo pada!”
Kekesalan Christel benar-benar meluap. Napasnya naik turun. Sampai sebuah suara membuat Christel menoleh.
“Ngapain di sini, Del?” tanya orang itu kemudian.
Gadis mood swings itu langsung tersenyum manis dan lupa akan kekesalannya setelah melihat pria oriental di depannya ini. “Eh, Bang Dion. Nggak ada kok bang, cuman lewat aja tadi.”
Dion mengangguk-angguk. “Oh ya, bentar lagi kan ada praktek lapangan lagi. Delana mau masuk ke tim Abang?”
“Mau banget, Bang.” Tanpa berpikir panjang, Christel langsung menjawab cepat, membuat gadis itu meringis mendengar gelakkan dari Dion.
Praktek lapangan biasanya dilakukan satu bulan sekali, dan menggabungkan seluruh jurusan menjadi beberapa tim. Mahasiswa semester atas menjadi penanggung jawab untuk tim yang mereka pimpin.
“Gue juga masuk ke tim lo.” Suara itu membuat mata Christel membulat sempurna.
Bagaimana bisa nih bocah tiba-tiba di sini?
“Alta,” panggil Dion pada pria di depannya.
Beberapa kali Christel memandang mereka bergantian. Ah benar juga, Alta adalah anak pemilik kampus ini. Wajar jika bang Dion mengenali dia.
“Oke. Dengan senang hati aku nerima kamu di tim.” Christel menggeleng samar dengan wajah memohon, yang tidak terlihat oleh Dion, setelah mendengar jawaban Dion.
“Lo.” Christel mendongak. “Mau ngomong sama gue, kan?” Wajah gadis itu menunjukkan bahwa dia tidak mengerti sekarang. “Ikut gue.”
Dan lagi-lagi, dengan wajah dinginnya itu, Alta berlalu melewati Dion yang hanya melihatnya dengan senyum heran.
Christel tampak kebingungan. Mana yang harus dipilih? Bersama Dion, pria yang dia sukai atau mengikuti Alta dan mendapat nomor handphone idolanya?
***
Dan di sinilah Christel duduk. Ada danau buatan di belakang kampus dengan suasana asri dan banyak kursi di pinggirnya. Christel tahu tempat ini, tapi tidak pernah berkunjung karena tak berminat. Tempat ini biasanya digunakan untuk istirahat, atau lokasi untuk mengambil gambar oleh anak Pengarah Kamera dan ke-presenteran.
“Jadi gini, Al. Gue mau minta nomor handphone-nya kak Rana.” Hening. Tak ada balasan dari orang di sampingnya, yang hanya asyik dengan kamera kecil yang dibawa. Christel menghempas napas kuat. “Kalo lo di sini cuman mau diem aja, gue pergi. Gue bisa minta nomor kak Rana pas kuliah umum nanti. Dasar, Kulkas.”
Christel meraih tasnya dan beranjak pergi. “Lo beneran nggak mau nomor handphone kakak gue?” Suara itu berhasil membuat Christel menghentikan langkahnya.
Sebuah kertas terulur dari tangan pria kulkas itu, saat Christel memutuskan untuk menoleh. Benarkah semudah ini?
***
Beberapa kali Christel memutari kamarnya yang tak seberapa. Sesekali diliriknya kertas yang dengan mudahnya diberikan oleh pria kulkas itu. Meski awalnya Christel sempat bahagia, namun kini dia terlihat ragu.
Apa harus dicoba?
Tentu saja. Siapa yang mengira jika sebenarnya pria kulkas itu sebaik ini? Dan Christel memutuskan untuk menghubungi nomor yang tertera di sana. Beberapa kali terdengar nada tut tut... , dan...
“Hallo,” sapa Christel setelah merasa jika seseorang di seberang sana mengangkat teleponnya.
“Lo harus selalu di samping gue selama praktek lapangan. Dan gue nggak mau lo deket-deket sama senior yang lo ganjenin tadi siang.” Christel membulatkan matanya.
Kenapa suara pria kulkas ini? Di mana Rana?
Christel mengumpat tanpa suara. “Kok elo sih?” Dan pertanyaan itu tidak lagi bisa ditahan olehnya.
“Soal tawaran lo ngabulin apa pun yang gue minta, gue terima. Setelah itu, gue bakal kasih nomor kakak gue.”
“Shit!” umpatan itu meluncur begitu saja.
“Apa lo bilang?” Suara itu kembali menyadarkan Christel yang hanya berdehem.
“Itu permintaan pertama gue. Gue gak minta banyak kok, karena lo mirip jin yang datengnya tiba-tiba, gue minta tiga permintaan yang harus lo turutin.”
Klik.
Sambungan telepon tertutup sebelum Christel sempat mengeluarkan suaranya. Gadis itu memukul-mukul bantalnya untuk melampiaskan kekesalan.
“Cowok kulkas sialan. Baru nemu manusia kayak tuh orang.”
***
Tank top hitam, jeans dan sneakers hitam serta kemeja biru langit menjadi paduan paling normal sepanjang sejarah fashion dari seorang Delana Christel.
Jangan pakek baju yang mencolok. Lo mau praktek lapangan, bukan mau pawai.
Pesan itu menjadi faktor utama Christel memilih warna paling netral di antara semua warna yang pernah disakitinya dengan menyatukan mereka meski tak serasi. Segala yang disatukan tanpa keserasian akan berakibat buruk, bukan? (Sa ae, ah).
“Lo keliatan terlalu normal hari ini, Tel.” Kinan tak bisa menyembunyikan senyum di balik kemudi mobil.
“Udah deh. Ini juga gara-gara lo, tauk?”
“Kok gue sih? Eh, by the way, gimana? Udah dapet belum nomornya kak Rana itu?”
“Iya, ini semua gara-gara ide lo soal dapetin nomornya kak Rana dengan bantuan adeknya yang kayak kulkas itu.” Kinan berkerut. Sesaat kemudian, tawa Kinan menggema kuat. Christel mendengus dan kembali melihat ke arah jalan dengan tangan terlipat di dada.
“Lagian lo mau-an aja nurutin junior kayak gitu.” Kinan menoleh sejenak dengan sisa tawanya.
“Lo nggak tahu seberapa pedesnya mulut tuh bocah, Kin. Gue masih punya malu kalo dia ngehina gue di depan orang banyak.” Kinan hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Buat saat ini, gue bakal turutin apa maunya dia. Siapa tahu gue juga bisa tau alamatnya dia, kan? Jadi gue bisa ketemu sama kak Rana sepuasnya.”
Kinan hanya mencebik membalas ucapan temannya yang tersenyum penuh kepercayaan diri. Tekad gadis itu terlihat terlalu besar.
***