PELINDUNG
Hari kedua praktek lapangan berlangsung. Setelah kejadian kemarin, Christel baru sadar jika Dion benar-benar memanfaatkannya.
Kalo dia baik, dia gak bakal jadiin lo babu.
Kembali hari ini, semua pekerjaan tertimbun di bahu cewek mini itu. Namun dia juga tidak bisa menolak, karena merasa bertanggung jawab dengan para juniornya. Jadilah dia kembali begitu sibuk.
Berkali-kali cewek dengan dress setengah tiang dengan lengan pendek dan boots hitam mengedar pandangan. Tapi lagi-lagi, cowok kulkas itu tidak terlihat.
Kemana lagi tuh bocah? Christel kembali berkutat dengan kesibukkannya.
“Del.” Panggilan itu membuatnya menoleh. Orang itu satu-satunya yang memanggil Christel dengan sebutan Delana setelah para dosen. Dan sepertinya orang itu sedang tidak dalam suasana yang baik.
“Iya, Bang.”
Tumpukkan kertas berhambur di depan Christel yang benar-benar terkejut. “Beresin! Kerjaan lo gak ada yang bener.”
Christel mengerut. Inikah Dion yang sebenarnya?
Tanpa berkata apa-apa lagi, Dion pergi. Membiarkan kertas itu berserakan. Christel mengumpat sambil memberesi kertas-kertas itu.
Dion kembali dengan sebuah meja kerja kecil yang diletakkannya berdekatan dengan Christel yang kembali terdiam dengan tangan yang masih sibuk dengan kertas. Beberapa kamera bertengger rapi di atas meja itu.
Christel benar-benar menahan amarahnya sekarang. Dia hanya bertekad untuk tidak kalah dengan cowok yang dulu sangat digilai-nya.
Dulu? Iya, untuk saat ini dia benar sudah muak dengan perlakuan Dion. Dan mulai sejak sekarang, perasaan yang sempat membuat Christel menyukai pria itu menguap begitu saja.
Kreak!
Bunyi itu membuat Christel bergeming diposisi setengah berdiri. Suara itu membuatnya tertegun sesaat, lalu segera melihat yang terjadi. Christel membelalak melihat sobekkan didressnya. Cukup lebar, dan cukup untuk membuat beberapa orang yang lewat menyembunyikan tawa karna robekkan itu.
“Lo sengaja ngebuat dress lo sobek deket meja ini, biar kameranya pada jatoh?” Christel menggeleng menahan genangan dipelupuk matanya.
Kenapa laki-laki ini berubah terlalu drastis?
“Alah! Bilang aja iya. Kerjaan lo emang gak ada yang bener. Nyesel gue ngasih kepercayaan penuh ke lo.” Masih dengan tangan memegang robekkan didressnya, agar tidak terlalu terbuka, Christel kembali menggeleng pelan.
Lidahnya kelu, sehingga sedikit pun tak ada kata yang keluar. Gadis itu benar-benar lelah hari ini. Dan itu juga karena pria yang saat ini sedang membentaknya.
Entah karena sebuah bentakkan atau memang kecewa sebab sangkaan kebaikan tentang pria itu sama sekali salah. Christel tak lagi bisa menahan air matanya saat melihat Dion pergi dengan tatapan tak suka.
Senggukan Christel mereda saat merasakan sebuah tangan melingkarkan sesuatu dipinggangnya. Gadis itu menoleh, mendapati wajah yang sudah tidak asing sedang menutupi sobekkan dress-nya dengan jaket. Dan tangan itu kembali menggenggam sebelum sempat Christel mengatakan apa pun.
***
Usapan tangan mungil itu berakhir dengan tatapan ke arah cowok yang kini duduk dengan rokok terselip di jarinya.
“Makasih, ya.” Dengan masih terisak, Christel terus memandangnya.
Cowok itu membuang puntung rokok yang langsung menginjak agar api rokok padam. “Udah?” Christel hanya mengerutkan dahi. “Nangisnya udah?” Dan gadis itu hanya mengangguk. Nada dari pria kulkas ini sama dinginnya dengan bentakkan Dion tadi. Tapi entah mengapa rasanya berbeda.
“Cengeng banget, ya? Pantes bego.” Alis Christel bertaut dengan kerucutan bibirnya. “Gue tinggal. Jangan nangis cuman gara-gara rok sobek.”
“Nggak kok. Gue cuma sebel aja dituduh-tuduh sama bang Dion kayak gitu,” cicitan Christel membuat pria kulkas yang sudah beranjak kembali melihatnya.
“Gue tahu. Dan ini kali kedua Dion buat lo susah. See? Cowok BAIK lo itu perlu dikasih pelajaran.” Dengan penuh penekanan dalam kata ‘baik’, Alta menunggu jawaban gadis itu.
“Lo gak berpikir buat ngeluarin dia dari kampuskan, Al?”
Senyuman miring terbit dari bibir cipokable tuan kulkas itu.
“Soal pendidikan dia itu bukan urusan gue. Kampus ini juga punya bokap gue kok, gue gak punya hak buat hal-hal semacam itu. Lagian, ngeluarin dia dari kampus itu hukuman paling mudah, kan? Dan gue gak suka sama sesuatu yang terlalu mudah.”
Christel hanya diam menggenggam jaket pria kulkas yang masih melingkar di pinggangnya. Sobekan yang disebabkan Dion tertutup sempurna karena jaket itu.
“Alta,” panggilan Christel membuat Alta kembali menoleh. “Kenapa lo selalu ngelindungi gue?”
“Anggap aja gue emang ngelindungi lo. Jadi jangan sungkan nekan panel hijau di handphone lo kalo butuh gue.”
***
Christel berjalan santai menuju kantin kantor. Kinan yang masih asik dengan gadget-nya, mengekor. Hari terakhir praktek, tak ada salahnya dia memanjakan diri makan di kantin kantor ini, bukan?
“Mau makan apa, Kin?” mereka sudah bediri di depan meja pesanan.
“Ikut aja.” Kinan masih sibuk dengan benda pipih berlogo apel tergigit itu.
Christel hanya menggeleng dan menghela napas. “Dua porsi makan siang paket sedang, ya, mbak.”
“Mbak yang namanya Delana Christel, ya?” pertanyaan asisten koki itu membuat Christel mengangguk canggung. Ah benar. Mereka memakai nametag yang menunjukkan mereka mahasiswa praktek lapangan.
“Mbak pesen aja apa yang mbak mau. Temennya juga bebas milih apa aja. Mas Alta udah pesen kalo apa pun yang mbak pesen dia yang bayarin.”
Senyuman di wajah petugas perempuan itu membuat Christel semakin kebingungan. Alta, memberi makanan enak di kantor ini cuma-cuma untuknya?
“Asiik, makan enak dan gratis.” Kinan tersenyum sumringah. Langsung mengambil kertas menu dengan semangat.
“Kin, lo gak tau malu banget, ih,” hardik Christel.
“Bodo. Emang lo rela makanan gratis ini lewat gitu aja? Sayangkan? Lagian biasanya kalo makanan gratis itu, nikmatnya beda.”
Christel menyipitkan matanya kesal.
Seseorang melintas di seberang kantin, membuat gadis itu hendak memanggil. Tapi sepertinya Alta terburu-buru. Dia berjalan tergesa dengan handphone di telinga.
Ah, nanti ditelpon aja.
Christel tidak bisa menyembunyikan kegelisahaannya selama menyantap makan siang. Entah kenapa, perasaannya jadi tidak enak setelah melihat wajah terburu-buru Alta.
***
Gadis mini itu meletakkan camilan yang sudah habis setengah. Sepertinya dia perlu makanan berat untuk mengisi perutnya yang masih lapar.
Sepi. Dan Christel sangat lelah. Sebenarnya dia memang orang yang tidak terlalu suka kramai. Dia lebih suka menghabiskan waktu sendiri dengan segala kegiatan yang tidak harus menghadirkan banyak orang. Namun kecintaannya pada pertelevisian membuat jiwa penyendirinya terkubur.
Demi sesuatu yang penting untuk hidupnya, Christel tidak bisa terus bersikap tertutup. Jika terus seperti itu, siapa yang bisa merubah siapa selain dirinya sendiri?
“Minion.” Christel berhenti di kaki. Terkejut dengan suara serak dari luar. Matanya membuka lebar.
Siapa? Kuntilbapak? Suaranya serak-serak becek gitu. Christel bergidik dan berusaha menghiraukan.
Tok.... tok.... tok.... Kini pintu rumahnya terketuk. Christel kembali menoleh. Bergegas berjalan menuju pintu. Tunggu dulu. Suara laki-laki dan memanggilnya dengan sebutan Minion? Mungkinkah?
Mata Christel membelalak sesaat melihat seseorang di hadapannya. Mulutnya terbuka tanpa suara. Seseorang di depannya bernapas dengan terengah. Wajah cowok itu terlihat sangat.... mengerikan. Darah berada di sudut bibir, pipi dan pelipisnya. Serta lebam yang memenuhi wajah.
Telapak tangannya penuh dengan luka. Christel tidak bisa mengatakan apa pun. Tapi pria itu justru tersenyum kecil saat melihat Christel. Sampai kakinya tak lagi bisa menumpu, membuat tubuhnya ambruk begitu saja.
“ALTA!”
***