PERTEMUAN DAN KEDEKATAN PERTAMA
‘Mengerti seberapa banyak rintikkan hujan? Mungkin seperti itu kamu. Kecil, tapi mampu membasahiku dengan derasnya rindu. ~ Alta Prasiarkana.’
“Anjing!”
Alta memegang kepalanya yang terasa berdenyut. Seseorang baru saja melempar sesuatu di atas kepalanya. Benar saja. Seruan itu membuatnya berdiri dan mendongak untuk menangkap basah siapa pelaku pelemparan itu.
“Ngapain di situ? Mau maling?” Alta mengerutkan dahi. Maling? Di tempat seperti ini? Dia bukan orang gila yang akan melakukan aksi maling-memaling di tempat yang disebut dengan kampus.
Gadis itu sudah berada di depannya sebelum Alta sempat menjawab. Melalui jendela, tempat di mana dia melempar penghapus papan tulis tepat di kepala Alta, gadis itu meloncat dan menatap Alta judes.
Heh! Siapa yang harus disebut maling di sini?
“Lo peserta PKK, kan?” Suara yang terdengar sangat mengganggu di telinga Alta kembali terdengar. Terkesan cempreng dan fals.
“Iya.”
“Terus ngapain di sini? Acaranya baru mulai, kan? Ini belum waktunya isoma.” Gadis itu melirik jam tangannya sejenak. Memastikan bahwa belum waktunya untuk istirahat, solat dan makan.
“Gue males ikut begituan. Nggak penting banget. Acara kayak gitu nggak sama sekali ngebantu mahasiswa baru kenal sama kehidupan kampus, tapi cuma buat ajang mahasiswa tua buat nge-ganjenin junior.”
“Kalo ngomong suka bener lo, ya.” Dia memukul kepalanya sendiri dan menggeleng cepat. Tersadar dengan ucapan yang salah untuk membalas perkataan mahasiswa baru di hadapannya ini. “Maksud gue, lo harus balik ke tempat acara. Ikut gue!”
Alta berdecih sambil tersenyum sinis. Dilihatnya gadis yang sekarang menautkan alis karena heran dengan sikapnya. Alta memandangnya dari atas sampai ke bawah.
Badan yang cuma segede pohon kacang begini beneran udah senior? Sok banget lagi mau ngelawan sama cowok yang tingginya dua kali lipat dibanding dia.
Gadis itu terlihat berani menantang dengan almamater hitam dengan beberapa garis putih dan birunya itu.
“Ngapain lo ngeliatin gue? Jatuh cinta? Entar aja jatuh cintanya, habis PKK selesai.” Gadis itu meraih tangan Alta yang langsung ditepis kasar.
“Gue nggak mau!”
“Ayok!” Dan terjadilah aksi saling tarik menarik di antara mereka.
“Lo tuh, ya. Maksa banget. Lo nggak tahu siapa gue?”
“Emang lo siapa? Anak rektor? Justru, ya, karena kalo emang lo anak rektor, lo harus bisa bersikap baik dengan ngikutin kegiatan di kampus ini. Mau malu-maluin bapak lo yang buat kebijakannya? Mikir dong.”
Alta tertegun mendengar jawaban gadis mini yang sekarang menariknya untuk kembali ke acara yang mereka sebut, PKK (dulu namanya OSPEK). Ingin rasanya Alta bernyanyi, kuingin marah... melampiaskan. Paan sih, ngaco!
Mata Alta tak bisa lepas dari gadis yang sekarang tertawa dengan riang di depan sana, bersama teman sebayanya dan sekitar 200 mahasiswa baru di jurusan penyiaran ini. Gadis yang dengan berani menariknya untuk mengikuti kegiatan yang menurut Alta bukan gayanya. Gadis dengan tubuh yang bisa disamakan dengan penggaris panjang yang sering dibawa oleh guru BK di SMA-nya dulu. Gadis yang... siapa tadi namanya? Delana Christel?
Perkenalan Kehidupan Kampus? Cih, untuk apa berkenalan dengan kampus milik ayahnya sendiri?
***
Suasana ramai memenuhi aula yang beberapa hari ini dipakai untuk acara PKK. Malam ini menjadi malam keakraban setelah melakukan PKK. Meski tak berniat untuk ikut, tapi Alta berada di aula itu sekarang. Gadis mungil yang selama acara PKK menarik hampir seluruh perhatiannya, membuat dia memutuskan untuk berangkat ke acara keakraban yang mereka sebut, Welcome Party.
“Gue mau nyanyi.”
Alta mengedarkan pandangan. Mencari suara yang sejak tadi ditunggu. Gadis itu tersenyum riang seraya naik ke panggung kecil-kecilan yang mereka buat untuk hiburan malam ini.
“Kevin. Gitarin dong,” rengeknya seraya menarik teman yang meskipun menggeleng tapi tetap menurut.
Alta melihat dari seberang pentas dengan lemon tea hangat di tangan.
Ngomong aja fals, apalagi nyanyi. Kepedean banget mau nyanyi.
Alta tersenyum sinis melihat gadis yang masih dengan riangnya duduk dengan mic di tangan. Dan senyum sinis itu pudar, Alta tertegun. Menatap gadis yang tiba-tiba juga melihat ke arahnya dengan senyum yang mengembang sempurna sambil menyanyikan lagu Perfect milik Ed Shareen.
Alta mengusap dadanya yang terasa sesak. Tubuhnya tiba-tiba panas. Suara gadis itu, di luar dugaannya.
***
Rahang tegas dan sedikit rambut, yang selalu di cukur menyisakan warna biru, memenuhi setengah wajahnya. Tubuh tinggi dengan kulit putih bersih. Alis tebal dan rambut yang sedikit pirang asli tanpa disemir membuatnya terlihat begitu tampan.
Senyum yang jarang sekali ditunjukkan justru membuat banyak wanita semakin tergila dengannya. Tak bisa dipungkiri banyak yang mencoba menarik perhatiannya. Namun putra Gian Prasiarkana ini, tidak terlalu tertarik dengan wanita yang memakai pakaian kekurangan bahan dengan wajah bertumpuk make-up.
Mereka yang mendekatinya terlalu mudah untuk disentuh dan terlalu berbaik hati memperlihatkan segala yang ada di tubuh mereka hanya karena wajah tampan Alta Prasiarkana. Sehingga, tak ada lagi ketertarikan bagi Alta untuk mereka yang segalanya sudah terlihat dengan jelas.
Ayahnya, Gian prasiarkana, pemilik perusahaan tv swasta terbesar dan bergengsi di Jakarta. Beberapa yayasan sosial dan pendidikan juga berdiri tegak dengan nama ayahnya sebagai pemilik. Termasuk kampus yang sekarang dipilih untuk melanjutkan pendidikan. Alta tidak pernah kekurangan apa pun.
Tapi apa memang sudah takdir? Kebanyakan keturunan konglomerat sepertinya selalu punya tabiat yang tidak terlalu baik. Bukan. Memang tidak baik untuk dicontoh.
Alta Prasiarkana yang sudah punya usaha sendiri, sebuah klub, membuatnya tidak lagi tergantung dengan orang tua. Sehingga Alta tidak bisa menghindari kegiatan malam yang memaksanya, tidak, maksudnya membuatnya lebih bahagia bisa menikmati minuman alkohol dan rokok tanpa perlu mendengar omelan sang ibu.
Hubungan dengan orang tuanya sangat baik. Tapi jiwa muda dan arogan dalam diri Alta tidak bisa dielak sehingga membuat orang tuanya hanya membiarkan segala hal yang Alta lakukan selama tidak membuatnya mati seketika.
Alta bahkan sangat menjaga keluarganya. Termasuk kakak perempuan yang sekarang sudah menjadi sutradara terkenal, Rana Putri Prasiarkana. Dia anak yang baik untuk keluarga. Tapi orang yang sangat menakutkan untuk mereka yang mengenalnya di luar sana.
***
Setelah beberapa kali menolak untuk diantar, akhirnya Alta duduk di mobil ini. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Alta benar-benar mengabulkan permintaan sang ibu.
“Mama cuman nggak mau kamu kehujanan. Nggak papa, ya, dianter sama pak Albert aja?”
“Ma, kan aku juga punya mobil sendiri. Ngapain juga harus dianterin?”
“Alta. Inikan hari pertama kamu ke kampus. Kamu pasti belum hapal deh sama jalan, mana sekarang lagi ujan. Jadi biar nggak nyasar.”
Alta menghela, mengerti benar jika itu hanyalah alasan dari sang mama. Alta bukan anak kecil yang tersesat hanya karena berangkat ke kampus milik keluarganya sendiri. Akan terdengar konyol jika benar itu terjadi.
Ditatap wanita paruh baya yang masih sangat cantik ini. Wajah timur mamanya membuat banyak orang akan terkecoh dengan usia yang sebenarnya. Bahkan tak jarang, orang-orang akan menyangka bahwa Alta membawa kekasihnya jika dia berjalan dengan mamanya itu.
“Sekali aja turutin maunya mama, bisa kan?”
Dan percakapan pagi ini dimenangkan ibunya. Dengan kaos abu-abu berbalut jaket denim dan celana hitam serta sepatu sneaker senada, Alta duduk di bangku penumpang dengan santai memainkan gawainya. Sesekali, dilirik tetesan hujan yang belum berniat untuk berhenti jatuh.
“Pak, pelanin mobilnya, deh.” Sebuah siluet terlihat oleh Alta di balik hujan yang masih deras.
“Kenapa, den?” tanya Pak Albert, supir di rumahnya, yang meskipun tidak tahu apa-apa segera mengurangi kecepatan mobil. Daripada harus mendengar bentakkan dari aden-nya ini.
“Gue turun di sini aja.” Alta meraih tasnya.
“Tapi den-”
“Bilang aja sama mama kalo gue sampe ke tujuan dalam keadaan sehat walafiat tanpa kekurangan suatu apa pun.”
“Tapi saya nggak bisa bohong sama ibu, den.” Alta mengusap wajahnya kasar. Jika bukan pak Albert, mungkin dia sudah menendangnya sejak tadi. “Serah lo deh, pak.”
Tanpa mendengarkan keluhan supirnya, Alta turun. Berlari dengan tangan menghalangi hujan. Dan seseorang dibuat terkejut dengan kedatangan Alta yang tiba-tiba. Tanpa senyum, tapi dengan santai memayungi tubuh dipayungnya.
“Elo!” Suara gadis itu terdengar nyaring, takut jika suaranya tidak terdengar karena hujan.
“Nggak usah teriak. Gue nggak budeg.”
“Ngapain?”
“Bisa nggak, pertanyaan ngapain lo itu diilangin? Bosen dengernya,” ketus Alta
Gadis itu mendengus. Meninggikan posisi payungnya karena postur tubuh Alta yang jelas lebih tinggi darinya.
“Gue ikut lo ke kampus. Hujan. Gue nggak bawa payung.”
“Lo pikir gue ‘kang payung?”
Alta menarik payung gadis itu dan memegang untuknya. “Brisik! Jalan aja.”
Dan gadis itu tertegun sesaat Alta melingkarkan lengan merangkul tubuhnya. “Nggak usah norak deh. Sok kaget gitu. Baru sekali dirangkul cowok ganteng kayak gue, Delana Christel?”
Christel memutar bola matanya kesal. Dan mencoba memberontak dengan akhir badannya terkena hujan. Tapi tangan itu segera meraihnya kembali dinaungan payung.
Cerita klise. Mereka saling tatap beberapa detik.
Cantik.
Alta mengalihkan pandangan untuk mengurangi sesakkan di dada kirinya dan meminimalisir tubuhnya yang tiba-tiba menghangat. Tidak lucu kalo dia berkeringat saat tetesan hujan bahkan masih berburu untuk turun, kan?
“Jangan banyak gerak, lo itu kecil. Payung ini juga kecil, dan kita berdua. Jadi jangan salah paham, gue cuma nggak mau lo kebasahan.”
Christel mengerjap. Membiarkan Alta tetap merangkulnya dan berjalan bersama menuju kampus.
***
“Lo kenapa sih, Tel? Dari tadi diem aja.”
Christel menoleh ke arah Kinan yang kembali menyuap bakso. Haruskah dia bercerita pada Kinan soal pria yang berjalan bersamanya dalam satu payung tadi pagi? Christel bahkan tidak tahu siapa dia.
Ya. Christel tidak mengenali anak itu. Christel hanya ingat bahwa dia adalah anak yang kabur saat acara PKK berlangsung. Dan pertemuan itu tidak menyisakan kesan baik. Lemparan penghapus papan tulis yang berakhir dengan paksaan Christel membawa anak itu kembali ke acara PKK.
Tunggu dulu. Terus, dari mana dia tahu nama gue? Christel baru sadar bahwa anak itu sempat menyebut namanya.
“Tuh kan, diem lagi.” Kinan nampak semakin bingung dengan diamnya Christel. Tidak biasanya gadis itu bersikap terlalu pasif seperti sekarang.
“Kin, gue mau tanya deh.”
“Paan?”
“Lo ingetkan gue pernah cerita soal mahasiswa baru yang kepergok kabur dari acara PKK?” Kinan hanya mengangguk menanggapi ucapan Christel. “Lo tahu nggak siapa tuh bocah?”
“Ampun deh, Christel. Lo nggak tahu siapa dia? Kurang piknik banget lo, ya.”
“Emang siapa? Anak rektor, ya?”
“Alta Prasiarkana putra dari Bapak Gian Prasiarkana pemilik kampus ini.”
Mulut Christel membuka lebar. “Mampus gue. Lo kenapa nggak bilang, sih?”
“Ya gue kira lo udah tahu tuh bocah siapa. Eh tapi nggak papa sih, Tel. Jarang-jarang ada yang berani sama anak pemilik kampus. Nggak ada malah kecuali lo.” Kinan terkekeh.
“Harus nggak gue jambak lo sekarang?” Tawa Kinan semakin menjadi.
“Tapi beneran deh. Ada apa sama tuh bocah sampe lo nanyain?” Christel melirik Kinan yang menunggu jawabannya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, sedikit ragu menceritakan kejadian tadi pagi pada Kinan. “Elah malah diem. Cerita ke gue aja sampe mikir dulu.”
Benar. Bukankah selama ini dia menceritakan segalanya pada Kinan? “Tadi pagi dia ngerangkul-rangkul gue.” Mata Kinan membulat dan tersedak. Christel menyodorkan segelas mineral pada Kinan yang terlihat shock.
“Wagelasih, Tel. Dapet wangsit apa sampe lo bisa dirangkul sama anak konglomerat kayak Alta? Beruntung bangeeet.” Kinan mengepalkan tangannya dengan senyuman aneh.
Christel berkerut dengan mulut menganga. Tidak menyangka dengan respon Kinan yang terlihat iri. “Respon lo aneh deh.” Christel terlihat jengah dengan sikap drama Kinan.
Kinan menutup mulut menyamarkan kekehannya. “Iya deh, iya. Terus gimana ceritanya si Alta bisa ngerangkul-rangkul lo?”
Christel menceritakan kejadian mengejutkan dan tiba-tiba bersama Alta tadi pagi. Kinan hanya manggut-manggut dengan wajah yang dibuat-buat.
“Itu mah dia gak dengan sengaja ngerangkul lo kali, Tel. Karena hujan aja dan payung yang lo bawa itu kecil. Jadi dari pada kebasahankan mending mepet-mepet, kan.”
Christel mencebik, tidak setuju dengan ucapan Kinan. “Terus dia tahu nama gue dari mana?”
“Dia sampe tahu nama lo?” Christel mengangguk membuat Kinan mengerutkan keningnya, berpikir.
“Waktu itu lo jadi panitia PKK, kan?” Lagi, Christel mengangguk. “Terang aja dia tahu, Christel. Kan lo pake kokarde kepanitiaan. Nama lo terpampang nyata di kokarde pasti.”
Christel merapatkan bibirnya. Melihat Kinan yang kembali dengan baksonya. Benar juga, Christel tidak terpikir dengan kokarde yang dia pakai saat acara PKK berlangsung.
Mikir lo kejauhan deh, Tel.
“Eh tapi, Tel,” Christel melihat Kinan yang tersenyum mencurigakan. “Gimana rasanya dirangkul sama Alta? Pasti dadanya pelukable banget, ya?” Kinan menaik turunkan alisnya, terlihat sangat menyebalkan di mata Christel.
Satu bulat bakso mendarat di mulut Kinan yang langsung mengunyah. “Habisin tuh bakso. Dari pada pikiran lo makin gak jelas.”
***
“Lo buka socmed segitu amat. Tumbenan.”
Segera Alta menutup handphone-nya. Menoleh ke arah gadis yang sekarang duduk di kursi sebelahnya dengan secangkir kopi.
“Di rumah lo, Bu Sut?”
Gadis itu hanya mengangguk, menyesap kopi hangatnya. Rana Putri Prasiarkana. Kakak perempuan yang sangat disayangi Alta. Kakak beradik itu duduk di kursi pinggir kolam renang.
“Lo yang tumben di rumah.”
“Lagi males keluar.” Alta merebahkan kepalanya disandaran kursi. Menutup matanya rapat menikmati udara yang sedikit dingin karena hujan tadi pagi.
“Ngaku deh. Lo lagi jatuh cinta, kan?”
“Paan sih, kak? Suka ngarang cerita deh. Mentang-mentang sutradara lo.” Senyum tipis itu muncul di sudut bibir Alta, hal yang jarang sekali terjadi.
“Terus tuh cewek siapa?” Alta menoleh ke arah Rana yang tersenyum jahil. “Yang lo kepoin instagramnya.” Rana meyakinkan Alta yang semakin terlihat salah tingkah. Alta berdehem, membenarkan posisi duduknya dan menghadap ke arah Rana yang masih dengan setia tersenyum mengejek.
“Emang, lo percaya sama cinta pada pandangan pertama?”
Rana memutar bola matanya, berpikir. “Tergantung sih. Orang banyak yang gak percaya karna kebanyakan gagal sama yang namanya cinta pada pandangan pertama. Sama kayak cinta pertama gitu. Tapi untuk beberapa orang lainnya bisa jadi jawabannya percaya. Karna gak semua yang pertama itu adalah sebuah kesalahan. Bisa jadi malah yang terbaik. Kalo lo emang udah ngerasa aneh di deket tuh cewek, ya kemungkinan besar lo jatuh cinta sama dia. Kalo gue pribadi sih, percaya banget. Gue sering kok ketemu sama aktor-aktor ganteng dipembuatan film. Tapi gue deg-degannya pas deket sama Dokter Abid. Makanya gue selalu ikut lo check up.”
Alta mendengus mendengar kalimat terakhir Rana, gadis itu hanya tertawa kecil melihat perubahan air muka adik semata wayangnya ini.
“Aneh yang gimana?” Rana semakin melebarkan senyumnya setelah mendapatkan pertanyaan lain dari Alta.
“Ya kayak tiba-tiba lo pengen loncat dari monas karena kesenengan liat tuh cewek. Atau rasanya pengen nyelem ke laut sangking gak pengennya tuh cewek tahu kalo kuping lo merah pas deket sama dia. Atau-“
“Oke. Perumpamaan lo kayak nyuruh gue mati lebih cepet.”
Rana tertawa melihat Alta yang kembali merebahkan tubuhnya dengan wajah kesal. “Kalo suka di deketin. Jangan sampe lo nyesel dia diambil sama orang.”
Alta tidak benar-benar jatuh cinta pada gadis mini pengganggu itu kan? Dia bahkan tidak percaya hal semacam itu.
***