Bab 5 - Bersama Di Air Terjun
Wawan meneguk air dingin, dengan satu kali tegukan, isi botol itu sudah tak terlihat. Ia berkacak pinggang, seraya mengatur pernafasannya. "Ya Tuhan! Aku bisa gila."
"Kenapa kamu?" tegur Hans yang kebetulan juga ingin mengambil air dingin untuk melegakan tenggorokannya.
"Tidak papa." Wawan beranjak meninggalkan Hans yang hanya mengangkat bahu saja, karena memang ia tahu watak temannya itu. Dia menuju ke halaman rumah mereka di bagian belakang, dimana dia sering menghabiskan waktunya jika sedang tak bekerja.
Rumah utama terpisah dengan rumah para pengawal dan pelayan, namun masih satu lingkup. Jaraknya pun tak jauh. Fasilitas rumah itu pun tatkala mewahnya dengan rumah utama. Ricolas ingin agar semua pekerjanya tetap merasa nyaman. Mereka diliburkan secara bergantian, untuk mengunjungi keluarga mereka ataupun jika ada hal penting lainnya. Siapa yang mengaturnya? Tentu saja Pak Dimas, ex pengawal pribadinya yang merupakan salah satu orang kepercayaan Ricolas dan tak lain adalah ayah Wawan.
Wawan memilih membaringkan tubuhnya di kursi panjang dengan lengannya sebagai bantal. Ia menatap langit di sela-sela dedaunan. Suara burung serta gesekan dedaunan yang terkena angin sangat nyaman di indera pendengaran Wawan. Damai, itulah yang dirasakan Wawan saat ini.
Wawan tersenyum, menertawai dirinya di peristiwa beberapa jam yang lalu, dimana ia bersama dengan sweeti pienya yang polos namun menggemaskan. Pertanyaan yang kerap kali diucapkan Putri terdengar seperti lantunan lagu yang begitu merdu di telinga Wawan.
Ya Tuhan! Dia pasti sudah gila. Ya, gila. Gila karena jatuh cinta dan lebih gilanya lagi dia jatuh cinta dengan majikannya. Sungguh, dirinya tidak tertolong lagi. Apa yang harus ia katakan pada Ayahnya nanti?
Wawan memilih memejamkan matanya, urusan dengan Ayahnya dia akan pikirkan nanti. Toh tidak banyak yang tahu jika dirinya menyukai anak majikannya tersebut. Namun Wawan lupa, majikannya siapa. Ricolas, tentu saja dengan otak cerdas dan mata tajam yang ia punya, info seperti itu sudah pasti bisa ia tahu. Tapi, ia lebih memilih diam dan menyaksikan. Akan ada saatnya.
*****
Putri berjalan pelan menuju ke rumah belakang. Ia membawa keranjang rotan kecil yang telah penuh dengan minuman serta makanan ringan. Tapi bukan jajanan yah. Minuman dan makanan sehat itu dibuat sendiri oleh koki mereka.
"Nona mau kemana?"
"Eh Pak Dimas! Itu Pak, Putri mau ke belakang, di air terjun."
"Jangan pergi sendiri nona, nanti tersesat," pinta Pak Dimas, sebab rute ke air terjun memang cukup sulit.
"Untuk itu saya mencari kak Hans Pak. Apa Bapak lihat?"
"Hans sedang ijin keluar sebentar Nona."
"Yah..." Kedua bahu Putri menurun. "Terus Putri pergi sama siapa?" Baru Pak Dimas ingin menjawab, terdengar suara menyela.
"Biar saya yang antar." Putri dan Pak Dim menoleh ke belakang.
"Ya benar, Putri perginya sama Wawan saja," pinta Pak Dim, tapi tatapannya seperti meminta penjelasan kepada putranya itu. Tapi Wawan ya Wawan, dia hanya diam, berlalu dengan seringai tipisnya saat melewati sang Ayah.
"Apa maksud senyumannya itu? Bukankah tadi dia ingin keluar?" Pak Dimas masih memandang Wawan dan Putri yang perlahan semakin menjauh. "Putraku susah di tebak." Pak Dim pun berlalu, melangkah ke rumah utama karena mendapat perintah dari tuan besarnya.
*****
"Ngapain kak Wawan berdiri disitu?" Putri memicingkan matanya. Ia telah duduk di bebatuan besar di kawasan air terjun. Meski jaraknya terbilang cukup jauh dari rumah utama, namun kawasan itu tetap terjaga dan bersih. Karena Ricolas dan Dewi sendiri sangat suka bermain di sana, untuk itu tim kebersihan pun selalu membersihkan area kesana sekali seminggu.
Wawan yang berdiri di belakang Putri hanya menjawab. "Jagain nona."
"Ya tahu kalau kak Wawan jagain Putri. Tapi bukan berarti harus berdiri di belakang situ juga kan? Kak Hans kalau nemenin Putri ke sini selalu duduk di sebelah Putri," cerocosnya polos tanpa memperhatikan lawan bicaranya yang rahangnga telah mengeras.
'Sialan kamu Hans! Jadi selama ini kamu ngambil kesempatan,' batin Wawan.
Tanpa di minta dua kali, Wawan telah duduk tepat di samping Putri dengan keranjang kecil berada di tengah-tengah mereka. Wawan menarik lengan sweeternya hingga siku, kebiasaan yang selalu ia lakukan jika memakai lengan panjang. Ya, Wawan saat ini hanya menggunakan pakaian santainya, kaos oblong putih yang tertutupi sweater dan celana jeans pendek.
Rencana tadi pria itu ingin keluar rumah untuk membeli sesuatu, namun begitu mendengar Putri akan bermain dan Hans tidak ada, bukankah lebih baik menemani sweetie pienya? Kapan lagi, pikirnya. Mungkin ia harus berterima kasih pada Hans karena telah izin tadi. Tapi mengingat jika Hans selalu dekat dengan Putri membuat rahang lelaki itu kembali mengeras.
"Kak Wawan kenapa? Apa kak Wawan marah, Putri suruh duduk di sini?"
Wawan seketika menoleh, keduanya saling bertatapan. "Tidak nona.," jawabnya singkat.
"Kak Wawan ini kaku banget sih. Enggak seperti kak Hans yang cerewet."
'Hans lagi!' geram Wawan dalam hati. Sepertinya ia akan memberikan pelajaran untuk temannya itu. Tapi kenapa? Ya siapa suruh dia berbeda dengannya, jadinya kan sweetie pienya selalu membandingkan dengannya. Lucu memang!
Mata tajam Wawan memperhatikan apa yang dilakukan wanita impiannya itu. Kaki putihnya yang menginjak bebatuan dalam genangan air membuat Wawan menarik nafas dalam-dalam. Seketika otak gilanya bekerja, mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu, saat dia menggendong Putri dan berakhir mencium kening gadis itu.
"Hati-hati nona," ujar Wawan.
"Tahu!" jawabnya ketus.
'Kenapa dia marah? Apa karena aku tak ikut juga ke sana? Apa Hans juga mengikutinya sampai turun ke air? Argghh... Hans… Awas kau!'
Wawan membuka sweeternya dan mengikuti Putri dari belakang. "Hati-hati nona."
Putri berbalik berkacang pinggang. "Ya Tuhan, Kak Wawan. Kakak sudah mengucapkan itu berulang kali. Apa tidak ada kata lain yang bisa Kakak ucapkan?"
'Ada, tentu saja ada. Misalnya, aku menyukaimu sweetie pie.' Tentu saja kata itu hanya terucap dalam hati, Wawan tidak mungkin dengan lancang mengatakannya langsung. Apalagi ia sangat tahu, ketidakpekaan gadis ini dalam hal pria. Hanya satu saja yang dianggap pria yaitu Jason, cinta monyetnya.
Merasa tak ada tanggapan, Putri melanjutkan langkahnya seraya merenggut kesal.
"Dia sangat kaku. Tidak bisa diajak bercanda, tidak seperti kak Hans." Tapi kemudian, gadis itu menyunggingkan bibirnya, seakan menemukan ide.
"Kak Wawan, Putri mau turun yah, mau main air."
"Silahkan Nona." Wawan memilih duduk di bebatuan yang tak jauh dari tempat Putri yang telah berendam di dalam air.
"Uhh dingin," ujar Putri saat tubuhnya sudah basah sepenuhnya. Tadi dia hanya ingin duduk saja bermain air dengan kakinya, namun rencananya berubah karena patung manekin yang saat ini sedang menatapnya dengan kaku. Tak ada senyuman sedikit pun di wajah itu.
"Apa dia selalu seperti itu?... Kaku? Tak berekspresi?... Mana ada wanita yang mau dengan pria modelan begitu? Aku mah ogah," gerutunya pelan sembari memainkan kakinya di dalam air. Tak lama ia berenang kesana kemari. Merasakan sensasi dingin yang menguar dari air terjun tersebut.
Tak hanya itu, Putri juga terkadang naik ke batu yang lebih tinggi, hingga air yang terjun bebas dari atas sana menerjang tubuhnya dan itu sukses membuat ia tertawa senang.
"Cantik sekali," ujar Wawan melihat ponselnya, dimana ia telah berhasil mengambil beberapa gambar saat Putri bermain dengan air. Ia meletakkan ponselnya kembali, lalu mengedarkan pandangannya. Ia berdiri seketika saat objek yang dicarinya tak tampak.
"Putri… Putri." Tanpa sadar Wawan telah memanggil nama Putri tanpa embel nona. Wawan mencari sekelilingnya tapi gadis itu tak ada. Seketika dia diliputi rasa takut.
'Ya Tuhan, kemana dia? Apa dia tenggelam? Wawan, kamu ceroboh! Kalau dia sampai kenapa-kenapa aku tidak akan memafkaan diriku sendiri.'