Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 - Putri Menjahili Wawan

"Putri.. Putri…," teriak Wawan frustasi.

Wawan telah berdiri di dekat tempat dimana Putri tadi berenang. Dia tersentak saat ada kedua tangan yang muncul dari air. Tanpa berpikir panjang Wawan terjun ke dalam air dan meraih tubuh Putri.

Nafas Wawan tak beraturan. Ia membawa tubuh Putri sedikit menjauh dari air dan duduk di batu yang cukup besar dengan Putri berada di pangkuannya.

"Putri, are you okay?" Wawan merapikan rambut Putri agar bisa melihat jelas wajah itu, jemarinya memegang dagu Putri agar menatapnya. "Putri..." Wawan menepuk pelan pipi Putri. "Putri, bangun Putri."

"Buahaaaahhha.." Putri tertawa terbahak-bahak dengan sedikit terbatuk, hingga membuat gerakan Wawan terhenti. Ia terpaku menatap gadis tersebut.

"Apa dia sedang mengerjaiku? Oh, sialan!' gumamnya dalam hati.

Putri tertawa seraya menatap Wawan yang membatu. "Oh Ya Tuhan, Kak Wawan, kau lucu sekali." Putri terbatuk di sela-sela tawanya. Ia bahkan tidak sadar jika posisi keduanya saat ini terlihat sangat intim. Apalagi tangannya sebelah mengalung di leher Wawan.

"Apa yang kau lakukan?" geram Wawan tertahan. Ia bahkan sudah tak menggunakan lagi bahasa formalnya. Bagaimana bisa gadis ini tertawa senang di saat dirinya sedang ketakutan.

"Aku sedang mengerjai kak Wawan," jawabnya polos lengkap dengan senyuman.

"Apa kau tahu kalau itu sangat berbahaya?"

"Berbahaya apanya? Putri kan hanya menahan nafas sebentar terus memainkan tangan Putri. Itu saja, apanya yang berbahaya."

"Putri!" geram Wawan.

"Ikh, Kak Wawan kenapa sih marah-marah. Apa kak Wawan takut dimarahi sama Papi kalau Putri kenapa-kenapa?" tanya Putri memasang wajah polosnya.

'Aku tidak takut itu. Aku hanya takut kalau kau sampai terluka dan itu terjadi saat kau bersamaku, bagaimana aku bisa memaafkan diriku!'

Wawan menjatuhkan kepalanya di bahu Putri tanpa menjawab pertanyaannya. Menghembuskan napas perlahan. Ketakutan yang tadi ia rasakan kini perlahan mulai memudar setelah melihat gadis itu cerewet kembali.

Entah sengaja atau tidak, tangan Putri terulur mengelus rambut hitam Wawan dengan wajah polosnya ia bertanya. "Kak Wawan kenapa?"

Deg

Wawan membatu. Darahnya berdesir hebat, jantungnya memompa sepuluh kali lebih cepat saat merasakan elusan lembut di rambutnya. Dia menggeram tertahan karena perlakuan Putri yang tak kunjung berhenti. Sedangkan Putri, ia hanya tersenyum senang karena sudah berhasil membuat Wawan khawatir mencarinya.

Wawan masih terdiam, ia ingin mengangkat kepalanya namun sungguh kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali. Tapi, jika ini berlangsung lama, ia takut jika tidak dapat menahan diri. Hingga kemudian, dia menangkap tangan Putri, lalu mengangkat kepalanya. Tatapan keduanya saling terkunci, cukup lama.

"Jangan mengulanginya lagi. Itu sangat berbahaya. Sekarang kita pulang," ucapnya masih dengan memangku tubuh mungil Putri.

"Nggak mau. Putri masih mau berenang dan kali ini sama kak Wawan deh yah! Kita main air dulu." pintanya manja.

"Nggak!"

"Ya, ya, kan udah basah juga bajunya." Putri segera turun dari pangkuan Wawan sebelum pria itu kembali menolak, lalu menarik tubuh kekar itu dengan susah payah menuju ke dalam air.

Wawan menghembuskan napas kasar, ia tak dapat menolak ajakan itu, toh sekarang dia bisa sepuasnya bermain dan menghabiskan waktu bersama sweetie pienya. Bukankah itu memang tujuannya? Alih alih menjaga, tapi menghabiskan waktu berdua bersama dengan sangat dekat seperti ini adalah yang sebenarnya.

Keduanya pun berenang bersama, sesekali saling melempar air dan berlomba menahan nafas dalam air, tentu saja dalam hal itu Putri selalu kalah, hingga membuatnya kesal dan Wawan sangat menikmati wajah kesal itu.

*****

"Selamat sore tuan besar. Anda mencari saya?" Pak Dimas saat ini sudah berada dalam ruang kerja Ricolas.

"Iya Dim. Duduk dulu," ujar Ricolas mempersilahkan mantan pengawalnya itu untuk duduk di sofa.

Pak Dimas merasa harap-harap cemas. Apakah ada sesuatu yang salah? Apa ada pekerjaannya yang tidak beres? Tapi sejauh ini dia merasa semua pekerjaannya aman. Ada apakah gerangan?

"Maaf Tuan besar, ada apa Tuan memanggil saya?"

"Ini tentang putramu," jawab singkat Ricolas membuat Dimas tambah cemas lagi.

'Ada apa dengan Wawan?'

"Apa Wawan melakukan kesalahan Tuan?"

"Ya dan dia sudah sangat lancang!" Ricolas memasang ekspresi seperti biasanya saat ia berhadapan dengan pengawalnya.

"Maaf sebelumnya Tuan besar. Saya akan menegurnya nanti dan kalau memang perlu saya akan menghukumnya. Tapi kalau boleh tau apa kesalahannya tuan besar?" tanya Pak Dimas dengan suara yang sedikit pelan.

Sedari dulu Wawan selalu melakukan tugasnya dengan sangat baik, bahkan bisa dibilang ia nyaris tidak pernah melakukan kesalahan dalam urusan pekerjaannya. Wawan adalah orang yang disiplin dan bertanggung jawab, sebab memang sedari kecil Pak Dimas telah melatih putranya demikian. Meski Wawan tumbuh dengan sifat yang dingin, tapi Pak Dimas tahu putranya bisa bersikap hangat pada orang tertentu.

Ricolas menatap Pak Dimas tanpa bersuara, hingga membuat Pak Dim seolah tak mampu berkata-kata lagi.

"Wawan menyukai Putri!"

"Apa?" Suara Pak Dim tenggelam dengan keterkejutannya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Wawan dengan lancangnya menyukai anak majikannya itu? Kenapa dia tidak menyukai wanita lain saja? Kenapa harus Putri?

*****

Malam harinya…

"Sayang, aku semakin berisi yah?" ujar Aurora. Ia telah berdiri di depan meja riasnya. Membolak balikkan badannya ke kiri dan ke kanan, memperhatikan postur tubuh yang sudah sedikit berbeda dari dulu.

Al yang awalnya fokus pada ponselnya, kini mengalihkan pandangannya, memperhatikan sang Istri, lalu kemudian tersenyum.

"Ya… sedikit," godanya, ia ingin membuat Istrinya mengomel dan benar saja lima detik kemudian, Aurora berbalik menatapnya tajam tapi tidak mengatakan apapun, hanya matanya saja yang melotot menatapnya dan itu sangat menghibur bagi Al. Melihat Istrinya kesal itu sangat menggemaskan.

Tawa Al pecah seketika, segera ia beranjak dan memeluk Istrinya sebelum wanita itu benar-benar marah dan berakhir ia tidur dengan tidak mendapatkan jatah. Ya, selama ini Al tidak pernah absen meminta jatahnya, apalagi setelah mendengar penjelasan dokter yang mengatakan bahwa dianjurkan untuk melakukan penyatuan lebih sering di usia kandungannya istrinya saat ini. Ia pun gencar menjadikan itu sebagai alasan jika Aurora terlihat ingin menolak, ya meski sebenarnya ibu hamil itu pun menginginkannya, mungkin dia hanya malu saja.

"Sayang," Al melerai pelukan itu, lalu memegang kedua bahu Aurora, menundukkan sedikit kepalanya agar sejajar dengan kepala Aurora yang memang sedikit pendek ketimbang dirinya. "Dengar yah, sekalipun kau berubah menjadi drum sekalipun–"

"Drum?" Aurora menyela. "Itu terlalu besar, apa tidak ada benda lain yang bisa dibandingkan denganku? Kenapa harus drum?"

Al menengadahkan wajahnya, berkacak pinggang lalu tertawa lebar, hal itu membuat ia mendapat hadiah pukulan dari Aurora. "Aku lagi serius Sayang, kenapa tertawa?"

"Apapun lah itu Sayang, mau kau sebesar apapun aku akan tetap sayang dan cinta padamu. Kau hanya perlu ingat itu, hmm?" tutur Al serius, menatap Aurora dengan tatapannya yang hangat dan lembut.

"Hmm apa kamu yakin? Kamu tidak akan mencari wanita lain yang lebih seksi?" Aurora sering memikirkan hal itu.

Al menarik tubuh Aurora, membimbingnya mendekat ke ranjang dan menyuruh Istrinya duduk di pangkuannya. Aurora mengalungkan kedua tangannya di leher Al, menelisik wajah tampan suaminya.

"Sayang, aku tahu dulu aku menikahimu dengan status masih beristri, aku tidak menyalahkanmu jika kau belum percaya padaku. Tapi ingat, kau berbeda dengan wanita itu. Kau memperhatikan ku sedangkan dia tidak. Kau memenuhi semua kebutuhanku sedangkan dia tidak. Kau menghormatiku sebagai Suamimu sedangkan dia tidak. Kau disukai orang tuaku sedangkan ia tidak. Ya meski aku akui soal paras dan body dia memang lebih unggul darimu, tapi menurutmu apa itu semua penting, jika yang semua aku mau sudah aku dapatkan darimu? Aku ini pintar loh sayang? Aku tidak mungkin menyia-nyiakan orang sesempurna ini hanya untuk mencari wanita yang hanya mengandalkan kecantikan di luar sana."

"Bermain mungkin?" tanya Aurora.

"Sayang, umurku bukan untuk bermain lagi. Aku ingin seperti dengan teman teman kuliahku yang lainnya, menggendong anak, mengasuh anak, bermain dengan anakku. Aku iri jika melihat mereka memamerkan hal itu padaku," ucap Al dengan tangan terulur mengelus pipi Aurora.

"Aku mencintaimu Aurora, sangat, sangat mencintaimu. Kau adalah separuh jiwaku. Jangan pernah memikirkan bahwa aku akan meninggalkan mu karena itu tidak akan terjadi dan sekalipun kau yang ingin lari dariku, jangan harap! Apapun akan aku lakukan agar kau dan anak-anakku nantinya tetap berada disini bersamaku. Sekalipun harus memaksamu." Al semakin merapatkan tubuh Aurora ke dirinya dan meraih tengkuk Aurora setelah melabuhkan bibirnya ke benda kenyal Aurora. Mengecap dan meresapi kenikmatan yang tercipta.

"Aku juga mencintaimu Alvaro. Kau adalah pria pertama dan terakhir di hidupku." Keduanya tersenyum lalu menyatukan kening mereka. Tersenyum dalam diam.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel