Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 - Penunggu Pintu

Sebuah senyuman senantiasa masih bersemayam di bibir Aurora. Dengan pengakuan Al kepada media tadi tentang pernikahan mereka, Aurora merasa dunianya sedikit berbeda. Entahlah, dia tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata.

Aurora duduk di pinggir ranjang, di dalam sebuah kamar yang telah disulap dengan sangat sempurna. Kamar yang bernuansa biru yang telah dipenuhi dengan peralatan bayi. Al dan Aurora sengaja tidak ingin mengetahui jenis kelamin bayi mereka, karena Al ingin biar itu jadi kejutan untuk mereka nantinya. Untuk itulah mereka memilih warna kamar itu dengan warna yang natural. 

Aurora sangat suka menghabiskan waktunya di kamar ini jika Al sedang bekerja. Membaca buku yang telah disediakan tentang kehamilan maupun tentang cara mengasuh anak nantinya. 

"Sebentar lagi, kau akan lahir sayang." Aurora mengelus perut buncitnya. "Kau akan membawa kebahagiaan untuk keluarga ini," sambungnya lagi. 

Tangan Aurora terulur mengelus box kecil disana. Membayangkan jika bayinya nanti terbaring di sana dengan sangat lucu. 

Setelah puas mengamati isi kamar itu, Aurora memilih duduk bersandar di kepala ranjang dan meluruskan kakinya, meraih buku yang ada disana masih seputar kehamilan dan anak.

Sementara di tempat lain

Al yang telah menyelesaikan tugasnya di acara peresmian hotel terbarunya, kini memilih untuk langsung pulang ke rumahnya. Ia sudah tak sabar ingin melihat seperti apa tanggapan Istrinya tentang pengakuannya tadi. Apakah Istrinya akan terharu sampai menangis? Apakah ia akan dapat pelukan? Ciuman? Atau lebih dari itu? Al tak sabar dengan itu. 

"Kau juga pulanglah setelah ini, istirahat. Besok saja baru ke kantor. Biarkan sekretarismu yang urus pekerjaanmu," titah Al kepada Jason. Karena ia cukup tahu, bahwa temannya itu butuh istirahat setelah kemarin sibuk mempersiapkan acara peresmian yang berjalan sangat lancar hari ini. 

"Baik tuan. Terima kasih!" jawab Jason. Bersorak dalam hati, karena sejujurnya ia memang lelah, dan yang paling penting ia bisa menghabiskan waktunya bersama Istri tercintanya. Sedangkan Wawan hanya diam saja sembari menyetir dengan baik. 

Sesampainya di rumah, Al berjalan cepat masuk. 

"Istri Al di mana mi?" tanya Al begitu melihat Dewi di ruang tamu.

"Ada di kamar si baby." 

Tanpa menjawab Al langsung berlari, namun langkahnya terhenti saat Dewi kembali bersuara. 

"Al, kamu sangat keren tadi." Dewi mengacungkan kedua jempolnya membuat Al tersenyum.

"Tentu saja, kan anaknya Mami." ucapnya bangga, dimana hal itu membuat Dewi tersenyum senang.

"Ya sudah, sana temui Istrimu."

Al kemudian melanjutkan langkahnya setelah menjawab ucapan maminya. 

Al membuka pintu kamar calon buah hati mereka dengan sangat pelan. Dia dapat melihat Istrinya yang tersenyum dengan buku di tangannya. 

"Ehem." Suara deheman itu membuat Aurora seketika menoleh. 

"Sayang," panggilnya cepat lalu menutup buku yang ia baca. Al melangkah cepat dan duduk di samping Aurora. Merentangkan kedua tangannya. "Sini peluk." Aurora dengan senang hati memeluk tubuh kekar suaminya, tempat sandarannya yang paling ternyaman. 

"Terima kasih Sayang!" ujar Aurora. 

Al melerai pelukannya, memicingkan matanya. "Hmm, terima kasih untuk apa yah?" tanya Al yang berpura-pura tidak tahu. Ia ingin membuat bumil itu kesal. 

"Untuk yang tadi, di TV." Aurora menjawab lembut meski wajahnya sudah merenggut, sedikit kesal, karena merasa suaminya keterlaluan. Baru tadi ia sangat romantis di TV, sekarang berulah lagi. 

"Memangnya tadi di TV aku bilang apa yah?" Al memegang dagunya, melihat ke atas seakan sedang berpikir, membuat bibir Aurora mengerucut gemas. 

"Aku mencintaimu Daddy Al." Mengerjapkan matanya berulang kali, memasang wajah yang sangat imut. 

Al tak bisa menahan tawanya melihat keimutan sang Istri. Dengan gerakan cepat Al menangkup wajah Istrinya dan  mengecup seluruh wajah wanita itu. Lalu menyatukan kening mereka. "Aku juga mencintaimu Mommy Aura. Sangat, sangat mencintaimu." Al menggesekkan hidungnya ke hidung Aurora seraya merekakan bibirnya.

"Apa kamu bahagia?" tanya Al masih dengan posisi yang sama. 

"Sangat. Aura merasa sangat bahagia. Terima kasih karena mas sudah mau melakukannya. Well, semua orang akan tahu jika sang penguasa ini adalah milik Aurora. Sekarang dan selamanya." Menggesek kembali hidungnya ke hidung Al, lalu melabuhkan bibirnya ke milik Al. Melakukan gerakan lembut hingga daging itu tak hanya menempel. Al membalas gerakan Aurora tatkala lembutnya, hingga tanpa menunggu lama lidah itu saling bertautan, berlomba menciptakan kenikmatan bersama. 

Aurora melerai bibirnya saat di rasa paru-parunya membutuhkan asupan oksigen. Mata mereka masih terkunci satu sama lain. Pertemuan bibir itu telah memantik gairah dalam diri Al, bukti gairahnya telah berdiri kokoh. 

"Sayang, kau harus memberikan aku hadiah." Meski dengan nada lembut namun nyatanya kata itu terdengar tak bisa di bantah. 

"Apapun yang Daddy inginkan!" Aurora bergerak pelan duduk dipangkuan Al, mengalungkan kedua tangannya di leher Al. 

"Serius?" tanyanya dengan nada serak sedangkan  tangannya telah bergerilya menyentuh titik sensitif atas Aurora. 

"Helmmm… Apapun!" ucap pasti Aurora dengan setengah mengeluarkan suara merintih karena Al meremas benda kenyalnya. 

"Kalau begitu, puaskan aku!" Tanpa menunggu jawaban Aurora, Al melepaskan kain yang melekat di tubuh Istrinya, begitu pula dengan dirinya. 

Tak mengenal waktu, entah di malam ataupun siang hari seperti saat ini jika mereka menginginkannya, mereka akan melakukannya dan saat ini kedua manusia yang sebentar lagi berubah status mereka menjadi orang tua kini melakukan olahraga siang mereka di kamar calon baby mereka.

*****

Putri berdiri di depan pintu kamar calon keponakannya. Raut wajahnya terlihat bingung, pasalnya sedari dia berdiri di sana ia seperti mendengar sesuatu yang aneh yang berasal dari dalam sana dan itu terdengar seperti suara kakak iparnya. 

"Apa kak Al memukul kakak ipar?" Menggelengkan kepalanya.

"Akhh itu tidak mungkin." Ia membuang jauh-jauh pikirannya itu. Karena tidak mungkin kakaknya memukul istrinya, apalagi dalam keadaan hamil seperti itu. 

Karena rasa penasarannya, ia sudah tidak tahan untuk mengetuk pintu itu namun gerakannya tertahan oleh sebuah tangan besar. 

"Jangan nona!" pinta Wawan dengan wajah datarnya. Wawan yang memang tak pernah begitu jauh dari Al, bergerak cepat.

"Kenapa? Putri penasaran! Kakak dengar deh." Putri menempelkan daun telinganya ke pintu sembari memegang tangan Wawan. "Itu suara Kakak ipar kan? Sepertinya Kakak ipar sedang kesakitan."

"Nyonya baik-baik saja nona," jelas Wawan. 

'Aku yang sedang tidak baik-baik saja nona, karena tangan anda,' batin Wawan. 

"Tapi suaranya?" Putri menarik Wawan agar ikut menempelkan telinganya. "Kak Wawan dengar sendiri kan?" 

'Iya nona saya mendengarnya, itu bukan suara kesakitan tapi suara — akhh… Bisa-bisanya mereka melakukannya di siang bolong begini.'

Meski Wawan sangat minim ilmu mengenai hal yang berbau tentang wanita, ataupun tentang gaya pacaran atau lainnya, tapi ia sangat tahu jenis suara itu. Karena  terkadang ia ikut menonton jika Hans sedang memutar adegan 21+ seperti itu. 

"Nyonya Aura baik-baik saja nona. Lebih baik nona pergi saja." 

'Sebelum otakku traveling ke mana-mana karena anda nona.'

"Dari mana kak Wawan tahu kalau kakak ipar baik-baik saja? Kan kita sama-sama disini," tanya Putri heran. Apa pengawal Kakaknya ini punya ilmu tembus pandang. Hingga dia bisa melihat apa yang terjadi di balik benda padat ini.

"Ya, pokoknya nyonya baik-baik saja." Hanya kata itu yang bisa Wawan berikan. Ia tak mungkin mengatakan jika tuan dan Istrinya sedang bercinta kan? Urusannya bisa tambah panjang. Mengingat gadis di depannya adalah gadis polos yang belum mengenal tentang cinta apalagi tentang seks. 

"Ikh kak Wawan ngeselin!" Putri menabok lengan Wawan, namun manusia kaku itu tetap bergeming. Ia berdiri di depan pintu menghalangi Putri untuk mengetuk pintunya. Bisa-bisa ia kena hukuman jika ada yang mengganggu kegiatan panas yang sedang berlangsung di dalam sana. 

"Lebih baik nona pergi saja. Biar saya yang menjaga di sini." 

"Tidak mau!" Putri melipat kedua tangannya di dada seraya merenggut kesal. Bibirnya telah hampir menyentuh  hidungnya saking kesalnya dengan patung manekin di depannya. "Putri juga mau di sini," ujarnya tak mau kalah. 

'Berhenti bertingkah nona. Anda sangat menggemaskan!'

Wawan menghela nafas pelan. "Terserah Nona saja." 

'Aku malah senang, aku bisa melihatmu dari jarak sangat dekat seperti ini nona.'

Pada akhirnya, kedua orang itu berdiri di depan pintu, menunggu keluarnya penghuni sementara kamar itu. Sesekali Putri berceloteh ataupun bertanya mengenai pekerjaan dan tentang asmara Wawan yang hanya dibalas 'hem' oleh Wawan, hingga membuat Putri naik pitam. Tak ayal, ia melayangkan pukulan di tubuh Wawan dan lelaki itu hanya diam menikmati sentuhan itu. 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel