Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

04. Di Balik Perjalanan Itu

Langit Surabaya masih pucat ketika pesawat mereka mendarat. Angin pagi berembus lembut saat Alyssa melangkah keluar dari kabin, menenteng tas kerja yang hampir seberat dirinya.

Arkan berjalan di depan, langkahnya tegap, dengan aura yang membuat beberapa penumpang menoleh kagum. Ia tampak seperti pria yang tahu ke mana hidupnya menuju. Sedangkan Alyssa, masih berusaha menyeimbangkan langkah sambil menahan debar yang tak wajar setiap kali berada di dekatnya.

Mereka dijemput mobil perusahaan menuju hotel tempat pertemuan akan berlangsung. Di sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil senyap. Hanya suara roda menyentuh aspal dan gumaman lembut radio yang terdengar.

Alyssa duduk di sisi jendela, sesekali melirik Arkan yang sedang membaca dokumen di pangkuannya. Tatapannya fokus, rahangnya tegas, seolah dunia luar tak ada artinya selain berkas di tangannya.

“Pak…” panggil Alyssa ragu.

Arkan menoleh tanpa ekspresi. “Ada apa?”

“Saya ingin memastikan, untuk rapat nanti, apakah saya perlu menyiapkan salinan tambahan untuk tim investor?” tanyanya sopan.

“Sudah aku siapkan,” jawab Arkan singkat.

“Oh, baik, Pak.”

Keheningan kembali. Tapi kali ini bukan keheningan canggung — ada sesuatu yang samar, seperti ketenangan yang membuat Alyssa nyaman tanpa alasan. Ia memperhatikan jari Arkan yang memegang pena, lalu segera memalingkan wajah.

Astaga, kenapa aku memperhatikan hal-hal kecil seperti itu? pikirnya, menegur diri sendiri.

Setibanya di hotel, mereka langsung disambut staf yang sudah menunggu. Ruangan Arkan terletak di lantai 15, sementara Alyssa di lantai 12. Setelah menaruh barang, mereka langsung bersiap menuju ruang konferensi.

---

Rapat berjalan panjang, nyaris tanpa jeda. Alyssa duduk di samping Arkan, menulis catatan cepat setiap kali pria itu berbicara. Ia memperhatikan cara Arkan bernegosiasi — dingin, tegas, tapi tetap elegan. Tak ada satu pun kata keluar tanpa perhitungan.

Bahkan ketika lawan bicara mulai menekan, Arkan tetap tenang.

Alyssa belajar banyak hari itu. Ia menyadari, di balik sikap kerasnya, Arkan adalah sosok yang tak hanya pintar — tapi juga kuat menahan emosi.

Rapat berakhir menjelang sore. Saat peserta lain meninggalkan ruangan, Alyssa merapikan dokumen sementara Arkan duduk memijit pelipis.

“Capek, Pak?” tanyanya pelan.

Arkan membuka mata, menatapnya sebentar. “Kau tidak?”

Alyssa tersenyum. “Saya terbiasa lembur. Tapi Bapak sepertinya jarang istirahat.”

“Kau selalu memperhatikan?” tanyanya dengan nada ambigu.

Alyssa langsung menunduk. “M-maaf, Pak. Saya tidak bermaksud—”

Arkan mengangkat tangan kecil. “Santai. Aku hanya bertanya.”

Ada senyum samar di ujung bibirnya. Senyum yang jarang muncul, dan entah kenapa, membuat jantung Alyssa berdetak cepat.

“Ambilkan air,” katanya kemudian.

Alyssa segera berdiri, mengambil air mineral dan menyerahkannya. Saat tangannya tanpa sengaja bersentuhan dengan jari Arkan, sesuatu menggetar di dada keduanya. Alyssa cepat menarik tangannya, tapi Arkan menatapnya — bukan dengan dingin, tapi seolah ada sesuatu yang baru ia sadari.

“Terima kasih,” ucapnya singkat.

“S-sama-sama, Pak.”

---

Malamnya, setelah pekerjaan selesai, Arkan mengajak Alyssa makan malam di restoran hotel.

Bukan karena ingin bersikap manis, tapi karena ia tahu Alyssa belum makan sejak pagi.

Atau setidaknya, itu alasan yang ia katakan pada dirinya sendiri.

Restoran itu tak terlalu ramai, hanya diisi suara piano lembut dan cahaya lilin kecil di setiap meja. Alyssa duduk berhadapan dengan Arkan, merasa kikuk mengenakan blouse putih sederhana di tempat semewah itu.

“Kenapa diam?” tanya Arkan tanpa menatap, menelusuri menu.

“Saya tidak terbiasa makan di tempat seperti ini, Pak,” jawab Alyssa jujur.

Arkan mendongak. “Kau pikir aku terbiasa?”

Alyssa menatapnya heran. “Tapi Bapak kan…”

“Punya uang? Iya,” potong Arkan cepat. “Tapi tidak berarti aku menikmatinya.”

Senyum kecil muncul di wajah Alyssa. Ia baru tahu, pria ini bisa berbicara tanpa formalitas.

Ada sisi manusia di balik dinding kaca dingin yang selama ini ia lihat.

“Apa yang membuat Bapak tidak menikmati semua ini?” tanyanya pelan.

Arkan menatapnya cukup lama sebelum menjawab. “Karena tidak semua yang berkilau itu bahagia, Alyssa.”

Kalimat itu menggema di telinganya.

Suara Arkan terdengar berat, seperti membawa sesuatu dari masa lalu. Alyssa ingin bertanya lebih, tapi ia menahan diri. Ia tahu, ada batas yang tak boleh ia lewati.

Namun di sisi lain, hatinya mulai tertarik pada misteri di balik sosok pria itu. Siapa sebenarnya Arkan Maheswara? Mengapa sorot matanya sering terlihat seolah sedang menahan sesuatu?

---

Setelah makan malam, mereka berjalan keluar restoran. Angin malam membawa aroma laut dari kejauhan. Alyssa berjalan di samping Arkan di teras hotel, memandangi lampu-lampu kota Surabaya yang berkelip.

“Surabaya cantik juga, ya,” gumam Alyssa pelan.

Arkan menoleh sekilas. “Kau suka tempat seperti ini?”

“Saya suka yang tenang,” jawabnya sambil tersenyum. “Bukan karena mewah, tapi karena bisa mendengar suara hati sendiri.”

“Suara hati?” Arkan menaikkan alis.

Alyssa menatapnya. “Kadang, kita terlalu sibuk mendengar dunia, sampai lupa mendengar diri sendiri.”

Arkan menatapnya cukup lama, seolah kalimat itu menusuk sesuatu dalam dirinya. Ia tak menjawab, hanya berdiri di sana, memandangi kota bersama gadis yang mulai ia lihat dengan cara berbeda.

Sesaat, waktu seolah berhenti.

Di bawah cahaya lampu kota, dua dunia berbeda berdiri berdampingan. Satu penuh ambisi dan luka, satu lagi penuh ketulusan dan mimpi.

Dan perlahan, jarak di antara keduanya mulai memudar.

---

Kembali ke kamar, Alyssa menatap cermin. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya berbinar — seperti seseorang yang baru saja menemukan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Ia menyentuh dadanya. “Kenapa jantungku berdetak secepat ini…?”

Ia tahu ini salah. Ia tahu batas antara atasan dan bawahan. Tapi perasaannya tumbuh seperti benih di tanah yang tak sengaja terpercik hujan. Tak bisa dihentikan.

Sementara di kamar lain, Arkan berdiri di balkon, menatap langit. Angin malam berhembus lembut, tapi pikirannya bergejolak.

“Aku tidak boleh memikirkan dia,” gumamnya pelan. “Aku sudah terlalu jauh…”

Namun bayangan wajah Alyssa terus menghantui. Senyum itu, cara dia menatapnya dengan jujur, semua terasa nyata.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Arkan merasa… hidup.

Ia menghela napas panjang, memejamkan mata. Dalam keheningan itu, hanya satu nama bergema di pikirannya —

Alyssa.

---

Keesokan paginya, mereka harus menghadiri pertemuan penandatanganan kontrak. Arkan tampil dengan setelan hitam elegan, sementara Alyssa mengenakan kemeja putih dan rok pensil gelap. Ia tampak anggun — dan untuk sesaat, Arkan nyaris kehilangan fokus.

Saat Arkan berbicara di depan investor, Alyssa memperhatikan cara pria itu berdiri, berbicara, dan memimpin ruangan. Ia menyadari sesuatu: kekuatan Arkan bukan hanya karena uang atau jabatan, tapi karena kepercayaan diri dan luka yang pernah menempanya.

Dan tanpa sadar, ia semakin ingin mengenal pria itu lebih dalam.

---

Siang menjelang sore, kontrak berhasil ditandatangani. Proyek besar resmi dimulai. Arkan menerima banyak ucapan selamat, tapi pikirannya tak sepenuhnya di sana. Setiap kali menoleh, matanya selalu mencari sosok Alyssa.

Dan ketika tatapan mereka akhirnya bertemu di tengah ruangan — sekejap saja, tapi cukup lama untuk menggetarkan hati — keduanya tahu, sesuatu sedang tumbuh.

Perasaan yang tak seharusnya ada.

Namun hati tak bisa diatur.

Dan tanpa mereka sadari, perjalanan dinas itu menjadi awal dari perjalanan hati — yang takkan mudah untuk diakhiri.

---

To be continued…
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel