05. Antara rahasia dan rasa
Hari pertama setelah perjalanan dinas ke Surabaya terasa berbeda.
Alyssa melangkah ke dalam kantor dengan napas pelan, mencoba menenangkan dirinya. Suara langkah sepatu haknya terdengar lembut di lantai marmer. Tapi setiap detik yang lewat, ada rasa gugup yang tak bisa ia jelaskan — rasa yang muncul setiap kali mengingat tatapan mata Arkan malam itu di teras hotel.
Ia berusaha fokus. Ia tidak mau orang lain membaca pikirannya, apalagi mengira yang tidak-tidak.
“Pagi, Alyssa!” sapa Rena, rekan satu divisi yang selalu ceria.
“Pagi, Ren,” jawabnya tersenyum.
“Gimana perjalanan dinasnya? Dengar-dengar kamu satu pesawat sama Pak Arkan?” goda Rena dengan nada menggoda.
Alyssa sedikit tersedak air minum. “Hah? I-itu memang tugas kantor, Ren. Aku cuma bantu presentasi.”
Rena terkekeh. “Ya ampun, santai aja. Aku cuma bercanda. Tapi hati-hati, ya. Katanya Pak Arkan itu super galak sama bawahan, tapi kalo udah suka, bisa lembut banget.”
Alyssa memaksakan tawa kecil. “Kayaknya nggak mungkin deh.”
Namun di dalam hatinya, kalimat itu mengguncang sesuatu yang tak ia ingin akui.
Ia tahu Arkan memang keras, tapi… ia juga tahu sisi lembutnya yang tersembunyi di balik wajah dingin itu.
---
Beberapa jam kemudian, Arkan datang. Aura tegasnya langsung memenuhi ruangan. Semua orang yang tadinya tertawa mendadak hening dan kembali bekerja. Langkahnya pasti, jas hitamnya sempurna tanpa satu pun lipatan.
Alyssa menunduk, berpura-pura sibuk di depan komputer, tapi jantungnya berdetak cepat.
Ketika Arkan berjalan melewati meja sekretaris menuju ruangannya, pandangannya sempat berhenti di meja Alyssa — hanya sekejap, tapi cukup untuk membuat gadis itu menahan napas.
Ia membuka pintu ruangannya tanpa berkata apa-apa. Namun beberapa menit kemudian, suara interkom di meja Alyssa berbunyi.
“Alyssa, ke ruangan saya.”
Suara itu dalam, tenang, tapi cukup membuatnya panik. Ia berdiri, merapikan rok, lalu melangkah masuk dengan hati-hati.
“Permisi, Pak.”
Arkan menatapnya dari balik meja. “Duduk.”
Alyssa menurut. Tangannya menggenggam buku catatan erat-erat, berusaha menjaga ekspresi agar tetap profesional.
“Aku ingin laporan tertulis mengenai perjalanan dinas kemarin. Detail, termasuk pertemuan dengan investor.”
“Sudah saya siapkan, Pak. Ini,” ucapnya sambil menyerahkan map.
Arkan mengambilnya, membolak-balik lembaran, lalu berhenti. “Kau menulis ini sendiri?”
“Iya, Pak.”
“Rapi. Lebih baik dari yang kubayangkan.”
Alyssa menatapnya pelan. “Terima kasih, Pak.”
“Jangan berterima kasih dulu. Aku belum memutuskan apakah kau pantas bertahan lama di sini,” katanya datar.
Alyssa menunduk. “Saya akan terus berusaha.”
Arkan terdiam sejenak. Ada ketegangan yang sulit dijelaskan di udara.
Ia meletakkan map itu, lalu bersandar di kursi. “Alyssa.”
“Ya, Pak?”
“Aku tidak suka orang yang bekerja dengan emosi. Tapi aku juga tidak suka orang yang terlalu menahan diri.”
Alyssa menatapnya bingung. “Maksud Bapak?”
Arkan mencondongkan tubuh sedikit. “Kau terlalu berusaha terlihat kuat. Tapi aku tahu, ada sesuatu yang sedang kau sembunyikan.”
Alyssa menelan ludah. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tatapan pria itu tajam, seperti menembus pikirannya.
“Saya hanya ingin melakukan yang terbaik, Pak,” jawabnya pelan.
Arkan mengangguk kecil. “Dan kau sudah melakukannya.”
Suasana hening beberapa detik.
Kemudian Arkan berdiri, berjalan ke arah jendela. “Aku ingin kau tahu, Alyssa. Dunia ini akan mengujimu. Kadang bukan dengan masalah besar, tapi dengan perasaan.”
Alyssa mengerutkan kening. “Perasaan?”
Arkan menatap pantulan dirinya di kaca. “Ya. Rasa yang muncul di waktu dan tempat yang salah.”
Alyssa terdiam. Kata-kata itu terasa seperti peringatan, tapi juga seperti pengakuan samar.
Ia tidak tahu harus bagaimana — apakah harus menjawab, atau pura-pura tidak paham.
Arkan berbalik menatapnya. “Kau boleh pergi.”
Alyssa berdiri perlahan. “Baik, Pak.”
Tapi saat ia berbalik, suara Arkan kembali terdengar — lembut, nyaris seperti bisikan.
“Dan Alyssa… jangan biarkan dunia tahu isi hatimu terlalu cepat.”
Langkahnya terhenti. Ia tidak menoleh. “Baik, Pak.”
Ia melangkah keluar dengan jantung berdebar, menutup pintu perlahan. Di luar, ia menarik napas panjang. Kata-kata itu terasa aneh. Tapi di balik ketegangan, ada sesuatu yang hangat menyusup ke dalam hatinya — perhatian yang tidak seharusnya datang dari seorang atasan.
---
Hari demi hari berlalu.
Kedekatan mereka mulai terlihat, meski tanpa disadari. Alyssa sering dipanggil Arkan lebih sering dari karyawan lain. Kadang hanya untuk meninjau laporan yang bisa dilakukan siapa saja. Kadang, bahkan hanya untuk mendengar pendapatnya.
Namun di mata orang lain, semua itu tampak berbeda.
Bisikan mulai terdengar di lorong kantor.
“Eh, si Alyssa tuh sekarang deket banget sama Pak Arkan ya?”
“Iya, kemarin aja makan siang bareng di ruangannya.”
“Gila, baru kerja berapa minggu udah bisa sedekat itu.”
Alyssa mendengarnya — setiap bisikan, setiap lirikan tajam yang menilai. Ia pura-pura tidak peduli, tapi di dalam hati, rasa takut mulai muncul.
Takut kehilangan pekerjaan, takut salah paham, takut… kehilangan kendali atas perasaannya sendiri.
Suatu sore, ia memutuskan pulang lebih lambat dari biasanya, berharap suasana kantor sudah sepi. Tapi saat lift terbuka di lantai bawah, suara berat yang familiar terdengar di belakangnya.
“Kau masih di sini?”
Alyssa menoleh. Arkan berdiri dengan jas tergantung di bahunya, dasi sedikit longgar. Wajahnya terlihat lelah tapi tetap menawan dalam balutan senja yang memantul di dinding kaca.
“Saya baru saja menyelesaikan laporan, Pak,” jawab Alyssa gugup.
“Sudah malam. Aku antar pulang,” katanya tegas.
Alyssa kaget. “T-tidak usah, Pak. Saya bisa naik taksi.”
“Aku tidak sedang menawarkan. Aku menyuruh,” ucapnya tanpa memberi ruang bantahan.
Mereka turun ke parkiran. Mobil hitam Arkan terparkir di sudut. Alyssa duduk di kursi penumpang, mencoba menjaga jarak sejauh mungkin. Namun suasana di dalam mobil terasa… aneh. Tenang, tapi tegang.
Di tengah perjalanan, Arkan membuka percakapan.
“Kau tahu kenapa aku mempercayaimu untuk ikut perjalanan dinas itu?”
Alyssa menatapnya sekilas. “Karena saya bekerja dengan baik, Pak?”
Arkan menggeleng. “Karena aku ingin melihat apakah kau berbeda dari yang lain.”
“Berbeda bagaimana, Pak?”
“Sebagian besar orang di sekelilingku hanya datang karena ambisi. Tapi kau…” Ia berhenti sejenak, lalu menatap ke depan. “Kau bekerja dengan hati.”
Alyssa terdiam. Kata itu — dengan hati — terasa menembus dinding yang selama ini ia bangun.
Ia menunduk, mencoba menyembunyikan wajah yang mulai memanas. “Terima kasih, Pak. Saya hanya melakukan yang seharusnya.”
Arkan tersenyum samar. “Dan itu yang membuatmu berbahaya.”
Alyssa menoleh cepat. “Berbahaya?”
Arkan menatap jalanan malam yang dipenuhi lampu. “Karena tanpa sadar, kau bisa membuat orang yang salah… mulai merasakan sesuatu.”
Mobil berhenti di depan rumah kontrakan kecil Alyssa. Ia menatap ke luar jendela, tak berani menatap Arkan.
“Terima kasih sudah mengantar, Pak,” ucapnya pelan.
“Besok pagi datang lebih awal. Kita ada rapat internal,” kata Arkan, suaranya kembali dingin, seolah membentengi dirinya sendiri.
Alyssa mengangguk dan turun. Tapi sebelum ia menutup pintu, Arkan menambahkan, “Dan Alyssa…”
Ia menoleh.
“Jangan terlalu percaya pada semua yang terlihat di sekelilingmu. Dunia kantor penuh mata.”
Alyssa hanya bisa menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menutup pintu dan melangkah pergi.
Namun langkahnya berat, seolah sebagian dari dirinya masih tertinggal di mobil itu — bersama pria yang membuat hidupnya berubah tanpa ia sadari.
---
Malam itu, Arkan duduk lama di dalam mobil. Ia menatap kursi kosong di sampingnya, lalu memejamkan mata.
“Berhenti, Arkan…” gumamnya. “Jangan ulangi kesalahan yang sama.”
Tapi bayangan wajah Alyssa terus menghantui, seperti mimpi yang enggan pergi.
Dan jauh di dalam dirinya, ia tahu… ia sudah terlalu terlambat.
---
To be continued…