03. Tugas Pribadi dari Seorang Bos Dingin
Sudah tiga hari Alyssa bekerja di Maheswara Group. Tiga hari yang terasa panjang — penuh tekanan, tanggung jawab, dan tatapan dingin dari sang CEO yang entah kenapa selalu bisa membuatnya gugup.
Namun anehnya, di balik dinginnya suasana kantor, ada hal yang membuatnya betah: rasa ingin membuktikan diri. Ia ingin menunjukkan bahwa ia bukan sekadar gadis ceroboh yang menumpahkan kopi pada bosnya. Ia ingin diakui karena kerja kerasnya.
Pagi itu, ia tiba lebih awal dari karyawan lain. Cahaya matahari baru menembus jendela besar di lantai 25, memantul di layar komputer yang baru saja ia nyalakan. Udara masih tenang, hanya terdengar dengung lembut pendingin ruangan.
Alyssa mengeluarkan berkas dari tasnya dan mulai merapikan meja kerja.
Ia tidak sadar bahwa seseorang memperhatikannya dari balik dinding kaca ruang CEO.
Arkan berdiri tegap dengan secangkir kopi di tangan, matanya terarah pada sosok gadis muda yang sibuk di luar sana. Pagi-pagi sekali, ia sudah datang dan bekerja — sesuatu yang jarang ia lihat dari karyawan baru. Biasanya orang-orang butuh waktu menyesuaikan diri, tapi Alyssa berbeda. Ia tampak seperti sedang berjuang, bukan sekadar bekerja.
Arkan memalingkan wajahnya, meneguk kopi. Ia tidak ingin mengakui bahwa kehadiran gadis itu mulai mencuri perhatiannya.
Beberapa jam kemudian, saat kantor mulai ramai, Alyssa sedang sibuk mengetik laporan ketika interkom di mejanya berbunyi.
“Alyssa, ke ruanganku sekarang.”
Suara berat itu langsung membuatnya membeku. Itu suara Arkan.
Ia menelan ludah, berdiri cepat, dan melangkah menuju ruang CEO. Jantungnya berdebar setiap kali melewati pintu kaca besar itu.
“Permisi, Pak. Anda memanggil saya?” ucapnya pelan sambil sedikit menunduk.
Arkan mengangkat kepalanya dari tumpukan dokumen. “Duduk.”
Alyssa duduk hati-hati di kursi depan mejanya. Ruangan itu luas dan rapi, aroma kayu mahal bercampur wangi kopi hitam. Pemandangan kota dari jendela besar tampak megah, tapi entah kenapa, atmosfernya membuat napas Alyssa terasa berat.
“Ada beberapa laporan proyek yang akan aku presentasikan besok di luar kota,” ujar Arkan sambil menyerahkan map tebal. “Kau akan menyiapkan semua datanya malam ini.”
Alyssa mengangguk. “Baik, Pak.”
“Tapi bukan itu saja,” lanjutnya. “Aku butuh seseorang yang menemaniku ke Surabaya. Asisten pribadi sedang cuti. Kau ikut.”
Alyssa terkejut. “M-maaf, Pak? Saya?”
“Ya,” jawab Arkan tanpa menatap. “Aku tidak suka menunggu jawaban lama.”
Alyssa langsung menunduk. “Saya… siap, Pak.”
Arkan baru menatapnya kali ini. “Bagus. Pesawat besok pagi pukul tujuh. Pastikan semua berkas beres malam ini. Dan ingat, tidak ada kesalahan.”
“Baik, Pak.”
Ketika ia hendak berdiri, Arkan berkata pelan, “Alyssa.”
Ia berhenti dan menoleh. “Ya, Pak?”
“Jika kau tidak yakin sanggup, katakan sekarang.”
Alyssa menatapnya dalam-dalam, kali ini dengan keberanian yang jarang muncul. “Saya sanggup, Pak. Saya akan berusaha.”
Tatapan mereka bertemu — untuk pertama kalinya, tanpa ketakutan. Ada sesuatu di mata Alyssa yang membuat Arkan diam sejenak: keyakinan, dan sedikit cahaya yang membuat hatinya bergetar samar.
“Baik. Pergi,” katanya akhirnya, pura-pura tenang.
Begitu pintu tertutup, Arkan mengembuskan napas pelan. Entah kenapa, suara dan tatapan gadis itu masih menggema di pikirannya.
---
Hari berlalu cepat. Sore menjelang malam, kantor mulai sepi. Lampu-lampu di lantai lain padam, tapi lantai 25 masih terang — hanya Alyssa dan Arkan yang tersisa.
Alyssa menatap layar komputer, jari-jarinya terus mengetik. Ia ingin memastikan semua data selesai malam ini. Setiap angka ia periksa dua kali. Sesekali ia menatap jam — sudah hampir pukul sembilan malam.
Tiba-tiba, suara pintu terbuka dari ruang CEO. Arkan keluar dengan langkah tenang, membawa dua gelas kertas berisi kopi.
“Kau belum pulang?” tanyanya datar.
Alyssa menoleh cepat. “Saya masih menyelesaikan laporan, Pak. Hampir selesai.”
“Bagus,” ujarnya singkat sambil meletakkan satu gelas kopi di mejanya.
Alyssa menatap kopi itu, lalu menatap Arkan. “Ini… untuk saya, Pak?”
“Jangan terlalu banyak tanya,” jawabnya pelan, tapi suaranya tidak sekeras biasanya. “Kau terlihat lelah.”
Alyssa tersenyum kecil. “Terima kasih, Pak.”
Mereka terdiam sesaat. Suasana malam di kantor terasa berbeda — sepi, hanya suara mesin pendingin udara dan detak jam dinding. Arkan berdiri di samping meja Alyssa, matanya mengamati layar komputer.
“Data ini kau periksa sendiri?” tanyanya.
“Iya, Pak. Saya pastikan tidak ada kesalahan.”
Arkan menatap angka-angka di layar. “Rapimu mengingatkanku pada seseorang.”
Alyssa menoleh. “Seseorang?”
“Dulu, sekretarisku. Tapi dia berhenti setelah menikah,” jawab Arkan datar.
“Oh… saya mengerti.”
Keheningan kembali turun. Tapi bagi Alyssa, keheningan itu bukan menakutkan — justru menenangkan. Ia bisa merasakan bahwa di balik sikap dingin pria itu, ada sisi manusiawi yang jarang terlihat.
Arkan melangkah pelan ke arah jendela, menatap lampu kota di bawah sana. “Kau tahu, Alyssa, dunia ini tidak ramah. Orang baik sering kalah.”
Alyssa menatapnya dengan hati-hati. “Mungkin, Pak. Tapi kalau berhenti jadi baik, apa bedanya kita dengan mereka?”
Arkan menoleh pelan, menatapnya dari balik bahu. Tatapan itu tajam, tapi kali ini ada sesuatu yang berubah. “Kau berani bicara begitu padaku?”
Alyssa tersenyum samar. “Saya hanya jujur, Pak.”
Untuk pertama kalinya, Arkan tersenyum tipis. Hanya sekelebat, tapi cukup untuk membuat Alyssa terdiam. Senyum itu menghapus kesan dingin di wajahnya, memperlihatkan sosok pria yang sebenarnya… hangat.
“Sudahlah. Lanjutkan pekerjaanmu,” katanya akhirnya sambil kembali ke ruangannya.
Alyssa hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Suara langkah itu, wangi kopi, dan cara pria itu berbicara… semuanya perlahan menorehkan sesuatu di hatinya. Ia tak mengerti kenapa, tapi setiap kali Arkan menatapnya, ia merasa seperti ada dinding tebal di sekeliling pria itu — dinding yang ia ingin pahami, tapi tak tahu bagaimana menembusnya.
---
Malam semakin larut. Setelah semua laporan selesai, Alyssa menutup komputer dan merapikan meja. Ia keluar dari kantor sambil menghela napas panjang — lega sekaligus bingung.
Mengapa pria itu bisa membuat hatinya berdebar hanya karena hal sederhana?
Sementara di ruang kerjanya, Arkan masih duduk sendiri. Ia menatap berkas, tapi pikirannya melayang. Bayangan wajah Alyssa muncul lagi.
Senyum itu. Tatapan jujur itu.
Mengapa sulit dilupakan?
Ia mengusap pelipisnya pelan. “Ini tidak boleh terjadi,” gumamnya. “Dia karyawanku. Aku tidak boleh melihatnya… seperti itu.”
Tapi perasaan bukan sesuatu yang bisa ia kendalikan.
Malam itu, Arkan menatap keluar jendela. Dari ketinggian, lampu kota berkelip seperti bintang. Dan di balik cahaya itu, pikirannya hanya dipenuhi satu nama.
Alyssa.
---
Keesokan harinya, sebelum fajar, Alyssa sudah bersiap di bandara. Ia mengenakan blazer hitam dan rok panjang, rambutnya diikat rendah. Ia masih tidak percaya harus bepergian dengan CEO besar sekelas Arkan Maheswara.
Di ruang tunggu bandara, Arkan datang dengan setelan abu-abu gelap dan kacamata hitam. Semua orang memandangnya — wibawa dan karisma pria itu sulit diabaikan.
“Pagi, Pak,” sapa Alyssa sopan.
Arkan menatap jam tangannya. “Kau datang tepat waktu. Bagus.”
Mereka berjalan beriringan menuju pesawat. Tak banyak bicara. Tapi di antara langkah-langkah itu, Alyssa merasakan sesuatu yang aneh — setiap kali ia berada di dekat Arkan, udara seakan berubah. Suhu ruangan berbeda, detak jantungnya tak menentu.
Dan ia tidak tahu… bahwa perjalanan ini bukan sekadar urusan kerja.
Ini adalah awal dari sesuatu yang perlahan akan mengikat mereka — antara rasa, luka, dan rahasia yang tak bisa dihindari.
---
To be continued…