02. Hari Pertama dan Tatapan yang Tak Bisa Dilupakan
Pagi itu langit Jakarta masih diselimuti kabut tipis. Jalanan dipenuhi suara klakson, namun di antara kebisingan kota, Alyssa berjalan cepat sambil menggenggam tas kerja barunya. Detak jantungnya berdegup kencang — hari ini hari pertama ia bekerja di Maheswara Group.
Setiap langkah terasa berarti. Ia mengenakan kemeja putih sederhana dan rok pensil hitam, rambutnya diikat rapi ke belakang. Penampilannya mungkin tidak semewah karyawan lain, tapi baginya, ini sudah yang terbaik.
“Semoga hari ini lancar,” gumamnya pelan sambil menarik napas panjang di depan gedung tinggi yang menjulang megah. Logo Maheswara Group terpampang di depan pintu kaca, berkilau diterpa cahaya matahari pagi.
Begitu memasuki lobi, suasana kantor terasa berbeda dari tempat kerja mana pun yang pernah ia lihat. Setiap orang berjalan cepat dengan berkas di tangan, mata mereka fokus ke depan. Tidak ada yang bersantai. Semuanya terlihat sibuk — teratur, efisien, dan dingin.
“Selamat pagi. Anda karyawan baru?” tanya petugas resepsionis dengan ramah.
“Iya, saya Alyssa Ratna. Saya diminta hadir jam delapan,” jawabnya sopan.
“Silakan naik ke lantai dua puluh lima. Tim administrasi sudah menunggu,” ucap petugas itu sambil menunjuk ke arah lift di sisi kanan.
Alyssa mengangguk dan melangkah ke lift. Tangannya sempat sedikit gemetar saat menekan tombol angka 25. Di dalam lift, ia sempat melihat bayangan wajahnya di pintu logam yang memantul samar — mata bulatnya tampak sedikit cemas, tapi ada semangat yang menyala.
“Ini awal baru,” bisiknya. “Alyssa, kamu harus kuat.”
---
Suara ting lembut menandai pintu lift terbuka. Lantai 25 terlihat luas, berkilau, dengan dinding kaca bening yang memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian. Setiap meja dipenuhi komputer dan berkas, sementara karyawan berpakaian formal mengetik tanpa banyak bicara.
Seorang wanita muda dengan rambut pendek menyapanya, “Kamu Alyssa, ya? Karyawan baru?”
“Iya, Mbak,” jawab Alyssa tersenyum.
“Nama aku Nanda, aku di bagian HRD. Aku yang bakal bantu kamu orientasi hari ini,” kata Nanda ramah sambil mengulurkan tangan. “Ikut aku, ya.”
Mereka berjalan melewati deretan meja. Nanda menjelaskan singkat tentang struktur perusahaan, jam kerja, dan aturan dasar. Namun Alyssa hanya bisa berusaha menyimak sambil menahan rasa gugup. Ia merasa seperti masuk ke dunia yang sama sekali asing.
Saat tiba di meja kerjanya, Nanda berkata, “Kamu akan bantu bagian administrasi proyek. Tapi kadang, kamu juga bisa dapat tugas langsung dari Pak Arkan. Kalau itu terjadi, pastikan kamu perfect. Bos kita terkenal detail banget.”
Nama itu membuat jantung Alyssa bergetar tanpa sadar.
“P-pak Arkan?” ulangnya lirih.
Nanda terkekeh kecil. “Iya. CEO kita. Kamu udah tahu dia kan? Semua orang di sini segan banget sama dia. Jarang senyum, tapi kalau dia udah kasih kepercayaan, berarti kamu orang yang spesial.”
Alyssa hanya mengangguk. Ia tidak bisa menceritakan kejadian kemarin — bagaimana ia menumpahkan kopi panas ke jas pria yang kini menjadi atasannya.
Tak lama, suara langkah sepatu terdengar mendekat dari ujung lorong. Suara itu berat dan tegas, ritmenya pasti. Semua orang yang semula berbicara pelan tiba-tiba berhenti. Beberapa langsung menunduk dan kembali bekerja.
Alyssa menoleh perlahan.
Di ujung ruangan, seorang pria berjalan masuk dengan jas hitam, kemeja putih, dan dasi perak. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya tanpa ekspresi. Tatapannya lurus ke depan, tapi setiap kali matanya bergerak, semua orang seperti menahan napas.
Arkan Maheswara.
Ia berjalan melewati meja-meja dengan langkah penuh wibawa. Tak ada satu pun yang berani menyapanya. Saat melintasi meja Alyssa, langkahnya terhenti sesaat. Tatapan mata dingin itu menatap langsung ke arahnya.
Alyssa membeku. Ia menunduk cepat, berharap pria itu tidak mengingat kejadian memalukan kemarin.
Namun, Arkan hanya menatapnya sekilas, lalu kembali melangkah ke ruangannya.
Hening.
Setelah pintu ruang CEO tertutup, suara di ruangan perlahan kembali terdengar. Beberapa karyawan saling berbisik lega.
Nanda menepuk bahu Alyssa pelan. “Itu dia, Pak Arkan. Dingin, kan? Tapi jangan takut. Selama kamu kerja bener, dia nggak akan ganggu.”
Alyssa tersenyum kaku. “Iya… dingin banget.”
Yang tak ia tahu, dari balik pintu kaca ruangannya, Arkan sempat memperhatikan dirinya beberapa detik — tanpa alasan yang ia pahami sendiri.
---
Siang hari, Alyssa mulai terbiasa dengan tumpukan berkas di mejanya. Ia teliti, mencatat setiap detail dengan rapi. Tangannya lincah menulis, matanya fokus pada layar komputer.
Namun ketika sedang mengetik laporan, suara berat yang familiar terdengar di belakangnya. “Kau Alyssa?”
Alyssa menoleh cepat. Arkan berdiri di belakangnya, tangannya menyelip di saku celana, menatapnya dengan sorot mata tajam tapi tenang.
“Y-ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya gugup.
Arkan meletakkan sebuah berkas di mejanya. “Data keuangan proyek bulan lalu. Periksa ulang sebelum sore ini. Aku tidak mau ada satu pun angka yang salah.”
Alyssa mengangguk cepat. “Siap, Pak.”
Pria itu masih menatapnya sesaat, lalu berkata pelan, “Kau terlihat lebih tenang hari ini. Tidak seperti kemarin.”
Alyssa tersenyum canggung. “Kemarin… saya memang agak gugup, Pak. Sekarang sudah lebih siap.”
“Bagus.” Arkan menatapnya dalam beberapa detik sebelum berbalik dan pergi.
Tatapan itu… lagi-lagi meninggalkan bekas yang aneh di dada Alyssa — bukan sekadar takut, tapi sesuatu yang membuatnya sulit bernapas.
Sore menjelang, Alyssa menyerahkan berkas yang sudah ia periksa. Arkan menerimanya tanpa banyak bicara. Ia duduk di balik meja besar dari kayu mahoni, menatap lembaran-lembaran itu dengan seksama. Setiap kali ia menunduk membaca, lampu di ruangannya memantulkan bayangan wajahnya di kaca — tegas, dewasa, tapi menyimpan sesuatu yang tak bisa ditebak.
“Bagus,” katanya akhirnya. “Tidak ada kesalahan. Aku suka cara kerjamu.”
Alyssa hampir tidak percaya dengan pujian itu. “T-terima kasih, Pak.”
Arkan menatapnya. “Jangan cepat senang. Ini baru awal. Di sini, satu kesalahan kecil bisa menghapus semua hasil kerja kerasmu.”
Alyssa menelan ludah. “Saya akan ingat, Pak.”
Senyum samar muncul di sudut bibir Arkan, meski cepat menghilang. “Kau boleh pulang lebih dulu.”
Saat Alyssa hendak melangkah keluar, Arkan memanggilnya lagi, suaranya lebih pelan.
“Alyssa.”
Ia menoleh. “Ya, Pak?”
“Untuk kejadian kemarin…” Arkan menatapnya dalam. “Lupakan saja. Aku sudah tidak marah.”
Alyssa sedikit terkejut. “Terima kasih, Pak. Saya benar-benar tidak bermaksud—”
“Aku tahu,” potongnya lembut. “Sekarang fokuslah bekerja.”
Nada suaranya kali ini berbeda. Masih dingin, tapi ada sesuatu yang hangat, samar, tersembunyi di balik ketegasannya.
Alyssa menunduk. “Baik, Pak. Selamat sore.”
Begitu pintu tertutup, Arkan bersandar di kursinya. Ia tak tahu kenapa ia memperhatikan gadis itu lebih dari karyawan lain. Ada sesuatu di mata Alyssa — kejujuran, ketulusan, dan mungkin… sedikit luka.
Ia memejamkan mata sejenak. “Jangan bodoh, Arkan,” gumamnya pada diri sendiri. “Dia hanya karyawan.”
Namun jauh di lubuk hatinya, ada perasaan aneh yang tak mau pergi. Perasaan yang sama sekali tak ia harapkan muncul lagi dalam hidupnya.
---
Di bus menuju rumah, Alyssa bersandar di jendela, membiarkan hembusan angin sore menyentuh wajahnya. Ia menatap keluar — kota berwarna jingga keemasan, lampu-lampu mulai menyala. Dalam pikirannya, suara Arkan terus terngiang.
“Kau terlihat lebih tenang hari ini.”
“Aku suka cara kerjamu.”
Entah kenapa, kata-kata itu membuat dadanya hangat. Padahal ia tahu, pria seperti Arkan Maheswara terlalu jauh untuk ia bayangkan. Ia hanya karyawan biasa, sementara dia… pria yang memegang kendali seluruh gedung yang tadi ia masuki.
Tapi hati kadang tak bisa diatur.
Dan tanpa ia sadari, benih kecil mulai tumbuh — benih rasa yang muncul dari tatapan, dari kata singkat, dari pertemuan yang tak seharusnya berarti apa-apa.
Sementara di lantai 25, Arkan masih duduk di ruangannya, memandangi jendela kaca yang memperlihatkan langit malam. Tangannya memegang pena, tapi pikirannya melayang entah ke mana.
Gadis itu…
Alyssa Ratna.
Kenapa senyumnya masih terbayang bahkan setelah ia berusaha melupakannya?
---
Hari pertama Alyssa berakhir tanpa kesalahan besar. Tapi takdir sudah menulis jalan lain.
Mulai hari itu, langkah kecil yang tampak biasa akan membawa keduanya ke dalam kisah besar — kisah tentang cinta yang datang di waktu yang salah, di tempat yang tak seharusnya, dan di hati yang awalnya tertutup rapat.
Namun seperti yang akan mereka pelajari nanti, cinta tak pernah menunggu izin. Ia datang begitu saja… bahkan kepada mereka yang paling berusaha menolaknya.
---
To be continued…
