01. Tumpahan kopi dan tatapan yang membekas
Udara pagi di Jakarta terasa sesak, bercampur bau aspal basah dan hiruk-pikuk kendaraan yang tak pernah berhenti. Di tengah deru mesin dan langkah terburu, Alyssa Ratna berdiri di depan gedung tinggi berlapis kaca biru itu — tempat di mana nasibnya mungkin akan berubah.
Ia menggenggam map cokelat yang isinya surat lamaran kerja. Tangannya sedikit gemetar. “Tenang, Alyssa… kamu bisa. Ini cuma wawancara,” gumamnya pada diri sendiri, mencoba menenangkan detak jantung yang berdegup terlalu cepat.
Setelah berbulan-bulan mencari pekerjaan, hari ini adalah kesempatan terakhirnya. Tabungan hampir habis, ibunya sakit-sakitan, dan tagihan terus menumpuk. Jika gagal lagi, ia tak tahu harus berbuat apa.
Lobi hotel tempat wawancara berlangsung terasa begitu megah. Lampu kristal menggantung tinggi di langit-langit, memantulkan cahaya lembut di marmer putih. Para tamu lalu lalang dengan setelan rapi, sementara suara sepatu beradu dengan lantai menciptakan irama yang membuat Alyssa semakin gugup.
Ia menarik napas panjang dan melangkah ke arah meja resepsionis.
“Permisi, saya Alyssa Ratna. Saya dijadwalkan wawancara kerja pukul sembilan untuk posisi administrasi Maheswara Group.”
Resepsionis tersenyum sopan. “Silakan tunggu sebentar, Mbak Alyssa. Pihak HRD sedang dalam perjalanan ke sini.”
Alyssa mengangguk pelan, lalu memilih duduk di salah satu sofa dekat kafe kecil di pojok lobi. Aroma kopi menyeruak lembut, membuatnya tergoda memesan secangkir latte untuk menenangkan diri. Ia memutuskan berjalan ke kafe, mencoba mengalihkan rasa gugup.
Beberapa menit kemudian, ia keluar sambil membawa gelas kertas berisi kopi panas. Ia menatap arlojinya — 08.47. Masih ada waktu.
Namun takdir seolah punya cara sendiri untuk mempermainkan manusia.
Saat ia berbalik, seseorang melangkah cepat dari arah berlawanan. Gerakan mereka terlalu mendadak. Dan dalam sepersekian detik, gelas di tangan Alyssa terguncang hebat, kopi panas itu tumpah ke arah jas hitam mahal yang dipakai pria itu.
“Astaga!” Alyssa terbelalak. “Maaf! Maaf sekali, saya tidak sengaja—”
Pria itu berhenti, menatap ke bawah pada noda cokelat di jas armaninya. Wajahnya dingin, rahangnya mengeras. Tatapan matanya tajam, menusuk seperti pisau.
Alyssa menelan ludah, panik. “Saya benar-benar minta maaf! Saya akan bersihkan—”
“Berhenti.” Suaranya dalam, tegas, dan tanpa emosi. “Kau tahu berapa harga jas ini?”
Alyssa membeku. Ia tahu jas itu pasti mahal, tapi… cara pria itu menatapnya membuat tubuhnya kaku. Matanya, tajam berwarna abu kehitaman, menyorot seperti sedang menilai seberapa besar kesalahannya. Tatapan yang membuat jantungnya berdebar aneh — antara takut dan terpesona.
“S-saya akan ganti, Pak… Saya tidak sengaja,” ucapnya dengan nada bergetar.
Pria itu menghela napas, melepas jasnya perlahan sambil berkata dingin, “Kau tidak sanggup menggantinya.”
Ucapan itu menusuk harga diri Alyssa. Tapi ia menunduk, menahan diri. Ia sadar posisinya. “Saya tahu saya salah. Tolong beri saya kesempatan untuk minta maaf dengan layak.”
Pria itu menatapnya sesaat, lalu membuang pandang. “Tidak perlu. Hanya saja, lain kali, perhatikan arah langkahmu.”
Alyssa ingin membalas, tapi bibirnya kelu. Ia hanya bisa memandangi punggung tegap pria itu yang melangkah menjauh. Sosoknya begitu berwibawa, setiap gerakannya teratur, penuh kendali. Ada sesuatu dalam caranya berjalan — dingin, tapi memikat.
Sebelum menghilang ke arah lift, pria itu sempat berhenti sejenak dan menatapnya sekali lagi. “Kopi panas bisa membuat luka. Tapi kau beruntung aku sedang tak punya waktu untuk marah.”
Alyssa membeku. Suara bariton itu terngiang lama di telinganya, bahkan ketika pria itu sudah menghilang di balik pintu lift.
---
Waktu berjalan cepat. Lima belas menit kemudian, petugas HRD memanggil namanya untuk masuk ke ruang wawancara. Alyssa berusaha menenangkan diri, tapi bayangan tatapan dingin pria tadi masih membayangi pikirannya.
Saat pintu ruang wawancara terbuka, matanya membulat. Di balik meja panjang itu, duduk pria yang sama — dengan jas yang kini telah diganti.
Arkan Maheswara.
CEO Maheswara Group.
Alyssa hampir kehilangan kata-kata. Dunia seakan berhenti berputar.
Pria itu menatapnya sekilas tanpa ekspresi, lalu menurunkan pandangannya ke berkas lamaran. “Alyssa Ratna?”
“Y-ya, Pak,” suaranya nyaris tak terdengar.
Arkan menyilangkan tangan, menatapnya lekat-lekat. “Kau yang menumpahkan kopi padaku tadi pagi, bukan?”
Wajah Alyssa memanas. “Iya, Pak. Saya… sungguh minta maaf. Saya tidak tahu kalau Bapak—”
“Cukup,” potongnya cepat. “Aku tidak peduli alasanmu. Sekarang, aku ingin tahu, apa alasanmu melamar di perusahaanku?”
Alyssa menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. Ia tak mau kesempatan ini hilang hanya karena kesalahan konyol. “Saya… ingin bekerja dengan sungguh-sungguh, Pak. Saya butuh pekerjaan ini.”
“Kenapa?” tanyanya singkat.
“Karena saya ingin membahagiakan ibu saya,” jawab Alyssa dengan jujur. “Sejak ayah meninggal, saya harus bekerja keras. Saya percaya kemampuan saya bisa berguna di perusahaan Bapak.”
Arkan menatapnya lama. Tatapan itu membuat Alyssa tak sanggup menatap balik. Ia merasa seperti sedang dihakimi, namun entah mengapa, ada sesuatu di balik dinginnya sorot mata pria itu — seolah ia sedang menilai sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kesalahan kecil.
Setelah beberapa detik sunyi, Arkan berkata pelan, “Kejujuranmu menarik.”
Alyssa mengangkat kepala, sedikit terkejut.
“Tapi dunia kerja tidak hanya butuh orang jujur. Butuh yang kuat, tahan banting, dan mampu menahan tekanan,” lanjut Arkan. “Apakah kau salah satunya?”
Alyssa menelan ludah. “Saya tidak sempurna, Pak. Tapi saya selalu berusaha. Saya percaya kegigihan bisa menggantikan segalanya.”
Senyum tipis nyaris tak terlihat muncul di sudut bibir Arkan — hanya sekelebat, lalu menghilang lagi. Ia menutup map lamaran itu perlahan.
“Baiklah. Aku akan pertimbangkan,” katanya datar. “Kau boleh pergi.”
Alyssa sempat ingin berkata sesuatu, tapi mengurungkan niat. Ia hanya menunduk hormat, lalu melangkah keluar dengan dada berdebar. Ia tak tahu apakah wawancaranya berhasil atau justru gagal total.
Namun saat pintu tertutup di belakangnya, Arkan masih menatap map berisi lamaran Alyssa. Namanya tertera rapi di halaman depan.
“Alyssa Ratna…” gumamnya pelan.
Entah kenapa, nama itu terasa… berbeda.
---
Hari berganti senja. Langit oranye meredup perlahan di balik gedung-gedung tinggi. Alyssa melangkah keluar dari gedung dengan langkah lelah tapi lega. Setidaknya, ia sudah berusaha. Jika gagal, itu takdir.
Ia hendak menyebrang jalan ketika ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal.
“Hallo?”
“Apakah ini Nona Alyssa Ratna?” suara formal di seberang bertanya.
“Iya, benar. Siapa ini?”
“Saya dari Maheswara Group. Selamat, Anda diterima. Mulai besok, Anda diminta hadir pukul delapan pagi.”
Alyssa tertegun. “A-apa? Serius? Saya… saya diterima?”
“Benar, Nona. Tolong datang tepat waktu. Jangan terlambat.”
Telepon terputus, meninggalkan Alyssa berdiri di trotoar dengan perasaan campur aduk. Ia ingin berteriak bahagia, tapi juga bingung. Bagaimana mungkin pria dingin seperti Arkan Maheswara mau menerimanya, padahal ia baru saja menumpahkan kopi ke jasnya pagi tadi?
Ia tidak tahu — bahwa keputusan Arkan bukan tanpa alasan.
---
Di ruang kerjanya yang luas di lantai 25, Arkan menatap jendela besar yang memperlihatkan gemerlap lampu kota. Ia memutar gelas anggurnya perlahan, namun pikirannya tak fokus. Wajah gadis bernama Alyssa itu kembali terlintas.
Ada sesuatu dalam cara gadis itu menatapnya — tulus, tapi menyimpan luka.
Bukan seperti wanita lain yang sering ia temui, yang datang hanya untuk kekuasaan atau harta.
Arkan menghela napas pelan. “Kenapa aku malah memikirkannya…”
Ia menatap layar komputer, melihat data karyawan baru yang akan masuk besok. Nama “Alyssa Ratna” terpampang di sana. Dan entah mengapa, ada sesuatu dalam dirinya yang berbisik — bahwa gadis itu akan mengubah hidupnya, meski ia sendiri belum tahu bagaimana.
Sementara di luar sana, Alyssa berjalan pulang dengan hati yang campur aduk — bahagia, gugup, dan sedikit takut. Ia tidak tahu bahwa pria yang hari ini menatapnya dingin… suatu hari nanti akan menjadi suaminya.
Suami yang awalnya hanya ingin mempermainkan takdir, tapi justru jatuh di dalamnya.
Dan tanpa keduanya sadari, hari itu adalah awal dari cerita yang tak akan mudah — kisah cinta yang tumbuh dari luka, dari keterpaksaan, dan dari pertemuan yang tak disengaja.
---
To be continued…
